Minwon AU for FFFL Project: Office AU, Slice of Life, Fluff, Romance, Established relationship, Songfic based on Painkiller by Ruel
“Kim Mingyu.”
“Ya, Pak?”
“Coba ke sini sebentar.”
Looking for heartbreaks, headaches
The doctor says I’m diagnosed with
Shit days, mistakes
Fast forward, satu jam kemudian, Kim Mingyu keluar dari ruang rapat dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. Amarah yang dia coba tahan meletup-letup di balik permukaan yang tenang. Ketika ditanya salah satu sahabat sekaligus rekan kerjanya, Minghao, kenapa rautnya nampak masam sekali, Kim Mingyu hanya memberinya senyuman maklum tanpa berkata apapun. Meski masih bertanya-tanya, dengan alis berkerut, Minghao mengangkat bahu sambil lalu dan kembali bekerja seperti biasa.
Mingyu mengambil napas dalam-dalam. Jam di dinding bercat tembok putih itu jarum panjangnya di angka 2, sedangkan jarum pendeknya di angka 9. Napas, sempat tertahan, dihembuskan dengan berisik. Masih pagi, batinnya. Jam pulang masih lama banget…
Ia kira kesialan akan berhenti setelah itu. Betapa salahnya ia.
Ketika ia sadar sudah waktunya makan siang, Minghao dan Seokmin sudah meninggalkannya pergi makan, padahal Mingyu meminta mereka untuk mengajaknya kalau mau turun. Setidaknya, ia ingin makan sepiring daging panggang yang lezat sambil ghibah bareng untuk mengembalikan mood. Semakin memuncak kekesalannya karena rencananya berantakan, ia pun melipir sendirian ke restoran yang terbilang cukup mewah, terletak dua gedung dari kantornya.
Ternyata siang itu, restorannya penuh. Makanan yang ia pesan keluar lebih lama daripada makanan tamu lainnya. Dibandingkan harganya yang tidak bisa dibilang murah, rasanya pun biasa saja, cenderung hambar. Pelayanan juga seadanya.
Sudah kecewa, ketika Mingyu mau kembali, hujan turun.
Habis jatuh, tertimpa tangga.
But I’ll be fine
Ia sudah tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Maka, Kim Mingyu terkekeh geli. Orang-orang di sekelilingnya melirik ngeri padanya, tengah mencurigai apakah pemuda tinggi dan tampan itu kehilangan sebuah sekrup dari kepalanya. Otomatis, mereka bergeser beberapa langkah, meninggalkan hanya satu orang yang masih berdiri persis di sebelah Mingyu.
Orang itu tidak menjauh karena ia tengah membaca buku dengan khusuknya. Santai, jarinya membalik halaman, tak awas dengan keadaan di sekitarnya. Orang itu berambut hitam dengan potongan pada umumnya dan berkacamata bulat. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Mingyu walau terbilang sama-sama tinggi. Ia memakai kemeja putih yang kebesaran sedikit. Bagian bawah kemejanya dimasukkan dengan rapi ke celana jins pas badan, membuatnya semakin terlihat jangkung karena kakinya yang jenjang ditonjolkan.
Berbeda dari orang itu, Mingyu menyadari keberadaannya. Ia menoleh, memerhatikan wajah yang begitu serius membaca. Tidak menegur. Tidak bersuara. Ia hanya menatapnya dalam diam.
Sampai hujan pun mereda.
Blugh!
Tiba-tiba, orang itu menutup bukunya. Ia mendongak untuk memastikan apakah hujan benar-benar sudah cukup reda untuk diterjang. Setelah itu, dikepitnya buku di dada, melindunginya dari sisa tetes tangis awan kelabu, dan ia berlalu begitu saja.
Namun, orang itu juga tidak lupa untuk meninggalkan sesuatu di kenangan Kim Mingyu yang membuat lelaki itu membelalak, menarik napas mendadak, dan, dengan cepat, menoleh, memandangi punggung yang kian mengecil di antara kerumunan orang yang mulai tumpah ke jalanan.
“Duluan ya.”
Napas tercekat. Ia sadar. Bahwa Kim Mingyu menatapnya tanpa putus dalam diam. Ia sadar dan ia tidak bereaksi apapun, membiarkan Mingyu memandanginya sepuas yang diinginkan.
Sepanjang sisa hari itu, batin Mingyu terusik. Siapa orang itu? Kenapa dia nggak marah diliatin begitu? dan berbagai pertanyaan lain berputar tanpa henti di dalam otaknya, membuatnya menumpahkan kopi ke meja dan bajunya, juga salah mencetak surat formal di kertas biasa. Ia tak peduli Bang Seungcheol, seniornya di divisi yang sama, memarahi keteledorannya. Yang ia pedulikan hanya sosok berkacamata itu.
Enam bulan adalah waktu yang pas untuk melupakan seseorang. Tidak lama, tapi juga tidak sesingkat kedengarannya.
Dalam enam bulan, banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Minghao dan Seokmin mengundurkan diri untuk membangun perusahaan startup bersama-sama. Mereka mengajak Mingyu untuk ikut, tetapi lelaki itu meminta waktu untuk berpikir. Bang Seungcheol, seniornya, dipromosikan menjadi manajer di divisi lain. Divisi Mingyu sudah berbeda dari sebelumnya. Yang tertinggal hanyalah dirinya, bersama orang-orang baru yang masuk menggantikan orang-orang lama.
Tergantikan, kita semua, pada suatu titik tertentu.
Kim Mingyu menghirup secangkir cokelat panas di balkon unit apartemennya di lantai 27. Dari sini, kota ramai Jakarta hanya berupakan puncak gedung tinggi dan permainan warna lampu. Angin dingin bertiup, menandakan pergantian siang ke malam. Senja yang lebih banyak gelap kemerahan daripada jingga benderang menjadi pemandangan yang ia nikmati hari itu. Akhir minggu telah berlalu satu. Masih ada sisa satu hari lagi.
“Mingyu, dingin ah. Tutup.”
Tidak menjawab, ia hanya mendongak. Bagian belakang kepalanya bersandar pada kursi balkon, memandang penghuni lain di apartemen itu. Merasa geli, orang itu menunduk, mencium santai bibir Mingyu.
“…Mikir lagi?”
Kim Mingyu masih diam. Selenting senyum lemah menghias wajah.
“Kalo kamu mau resign, ya resign aja. Aku yakin Hao sama Seok bisa jadi partner bisnis yang baik. Tapi, sekali lagi, itu pilihan kamu, Gyu,” diciumnya lagi bibir lelaki itu. “Aku cuma bisa kasih kamu opini orang luar.”
“Kamu bukan orang luar.”
“Aku kan nggak kerja di kantor kamu,” kekehnya. Ia beranjak, melepas kemeja kerjanya, menyisakan singlet putih dan jins. Kaus kakinya gambar kucing warna biru. Kekanakan.
Menggemaskan, koreksi Mingyu dalam hati.
“Gimana toko kamu?”
“Kayak biasa aja,” ia mengambil sebotol kecil soda dari kulkas. “Rame enggak, sepi juga enggak. Oh ya, aku libur besok.”
“Tumben?”
“Bosen kerja mulu ah,” ringisnya. “Mau pacaran sehari aja masa nggak boleh.” Lalu, ia meneguk soda itu. Sendawa pun terdengar.
“Ati-ati lambung.”
“Bacot.”
Mingyu menghela napas. Kembali ia menatap langit senja. Hitam mulai menelan keseluruhan kota. Sebentar lagi, ia akan menjadi warna satu-satunya yang menumpahi gedung-gedung pencakar langit, sementara di bawah, pijar merah lampu belakang mobil berkerlap-kerlip di antara lautan warna kuning. Sang Hitam akan memegang dunia seolah ia rajanya.
Cause you’re my painkiller
When my brain gets bitter
“…Aku takut.”
Gumaman pelan.
“Kalo aku keluar, terus join mereka, tetau malah nggak cocok kerja bareng terus rusak hubungan lah, ato nggak sukses dan saling nyalahin lah…”
Hidup tidak semata laba dan rugi. Dalam bisnis, terkadang, persahabatan adalah buah simalakama yang bisa dipilih untuk ditelan atau dibuang.
“…Takut…“
Digenggamnya tangan sendiri. Kim Mingyu berpikir dan berpikir. Seminggu, ia berpikir. Ia sudah yakin 98% untuk hengkang, namun ia perlu satu alasan lagi saja. Satu faktor pendorong untuknya mengambil keputusan. Ia butuh satu hal itu saja.
Dan siapa yang bisa memberikan jawaban terbaik selain kekasihnya?
“Mingyu…,” oh, kedua lengannya di leher dan dada Mingyu amat menenangkan. Napas hangat di rambut Mingyu mampu melegakan gundah gulana seketika itu juga. Entah bagaimana caranya kekasihnya itu sanggup membuatnya tentram hanya dengan memanggil namanya. “Ingat nggak, pas kamu nanyain nama aku, kamu juga ketakutan?”
Mingyu tertawa pelan. Bagaimana ia bisa lupa? 164 hari yang lalu, dan ia ingat bagai kemarin saja.
“Kamu bilang kamu takut bikin aku kabur karena mendadak ditanyain nama sama orang nggak dikenal. Kamu bilang kamu takut kalo aku bakal teriak dan satpam gedung denger, terus gebukin kamu. Goblok banget, sumpah.”
Rona merah di pipi Mingyu menjalar karena malu akan kepolosan (baca: ketololan) dirinya. Banyak sekali sisi memalukan yang ia perlihatkan sejak sebelum mereka menjalin hubungan. Terkadang, menilik dari kelakuannya pada saat PDKT dahulu kala, ia heran kenapa kekasihnya mau menjadi kekasihnya.
“Kamu takut. Kamu cemas. Tapi, Mingyu, nyatanya aku sekarang ada di sini kan? Sama kamu. Berdua,” kecupan datang di puncak kepala Mingyu. “Kalo kamu mau, lakuin aja. Masa depan itu nggak ada yang tau, Gyu. Yang penting itu hati kamu. Kamu sekarang tutup mata. Jangan mikirin apa-apa.”
Ia menurut, melakukan apa yang disuruh.
“Sekarang, kamu jawab pertanyaan aku. Kamu mau resign?”
Ya.
And it takes forever
to let my brain gest better
You keep me close
Kim Mingyu membuka mata. Di depannya, ada wajah tersenyum yang paling indah milik Jeon Wonwoo seorang. Kekasihnya. Pencuri hatinya di suatu siang penuh kesialan saat berteduh dari hujan.
Katanya, kesialan diberikan beruntun bagai hujan deras itu karena ia menyembunyikan harta di kaki pelangi yang timbul setelahnya.
“Udah ketemu jawabannya?”
Hartanya.
“Udah.”
Wonwoo tersenyum. Mata mereka bertemu sejenak, sebelum kepala keduanya bergerak maju, menemukan bibir satu sama lain. Lagi dan lagi. Tanpa terburu-buru, hanya perasaan penuh kenyamanan dan kasih sayang tanpa paksaan.
Enam bulan adalah waktu yang singkat, namun cukup bagi Kim Mingyu untuk menemukan cinta.
“Nanya,” di sela-sela ciuman. “Kalo kamu sadar aku liatin pas itu, kenapa kamu nggak bilang apa-apa?”
Jeon Wonwoo meringis. Bola mata hitamnya berkilat jahil.
“Kalo nggak gitu, kamu nggak penasaran sama aku, kan?”
Ha.
Haha.
Jadi dari awal, dia adalah kerbau yang dicucuk hidungnya.
Kalah.
“Aku kalah deh, Won.”
Dengan senyuman di bibir, mereka berciuman lagi. Lengan saling merangkul. Bibir saling melekat. Dalam balutan pelukan yang hangat, Kim Mingyu merasa bersyukur pada seluruh kesialan dalam hidupnya. Ketika ayahnya meninggalkan keluarga. Ketika pacarnya pas SMA dulu selingkuh darinya. Ketika ia dimarahi bosnya. Ketika orang-orang yang disayanginya pergi. Ketika seluruh dunia seolah merintangi hidupnya.
Ia bersyukur, karena akumulasi kesialan itu mendatangkan satu keberuntungan terbesar dalam hidupnya.
“Won.”
“Hmm?”
“Nggak ninggalin aku, kan?”
“Hmm.”
“Forever?”
Wonwoo tertawa.
“Iya, bawel.”
Please, never leave me
’cause I’m barely holdin’ on