For Gyuhao Day 2023 from Soonwoo Dead People AU: Major Character Death, Past Junhao, Murder, Blood, Crime Scene, Murder Mystery, Supernatural, Based on True Story, Breathe Your Name by Sixpence None The Richer
“Xu Minghao, 22. Meninggal dunia pada 13 Mei, jam 22:17 malam.”
Suara goresan pena terdengar jelas bahkan di antara hiruk pikuk kesatuan polisi yang berkumpul di situs berkemah tersebut. Jauh di dalam hutan, di rute perjalanan yang biasanya digunakan para pendaki gunung amatiran karena lebih aman dari rute yang lain, tersembunyi seonggok jenasah di balik pohon yang diselimuti oleh sebuah kantung tidur besar. Kedua matanya yang masih terbuka telah ditutup oleh petugas senior sambil mengecek jam tangannya, memastikan waktu tewas sang korban, meski hasil autopsi akan mengetahuinya dengan lebih akurat. Sebagai yang pertama menemukan jenasah tersebut, mereka harus mengikuti prosedur dengan benar.
“Benar-benar sesuai dengan ucapan pacarnya…”
“Bagaimana keadaan pacarnya, Kapten?” Kim Mingyu, petugas polisi yang baru enam bulan dipindah ke area ini, mendongak dari buku notesnya untuk menatap langsung wajah pria paruh baya di hadapannya. Wajah yang tua dan letih oleh saking banyaknya asam garam yang telah ia makan.
“Buruk. Lima tembakan di titik-titik penting. Wajah, kepala, leher, bahu. Ketika dia datang, darah berceceran dimana-mana. Tapi, dengan keadaan seperti itu, dia masih bisa menceritakan semuanya pada kita, bahkan sempat menolak dilarikan ke rumah sakit sebelum pacarnya ditemukan…”
Mingyu menunduk, memetakan pandangan ke jenasah itu. “Menyedihkan sekali…,” gumamnya.
“Aku tidak tahu orang gila mana yang melakukan ini, tapi kuharap kita bisa segera menemukannya sebelum dia mengincar pekemah tak berdosa lainnya,” dengan helaan napas berat, sang kapten berkacak pinggang. “Ditembaki bak binatang seperti ini…”
“Kapten!”
“Ah?”
“Di sini terlalu gelap. Kita tidak bisa menemukan banyak bukti. Kita harus kembali dan membawa peralatan serta tambahan orang yang memadai. Senter kita dan tim kita sekarang tidak cukup besar untuk menyusuri hutan ini!”
“Hmm, begitu,” sang kapten mengelus dagu, memerhatikan kondisi di sekeliling mereka. Tentu masuk akal juga perkataan anak buahnya. Mereka sudah berhasil menemukan pacar pemuda bernama Wen Junhui yang ia tinggalkan demi mencari pertolongan, meskipun nyawa telah berhembus keluar dari tubuh pemuda malang itu jauh sebelum kedatangan mereka. “Baiklah. Tapi, agar tidak ada yang merusak TKP, aku minta satu-dua orang untuk tinggal menjaga jenasah ini. Siapa yang kira-kira bersedia—”
“Biar saya yang menjaganya, Kapten.”
“Mingyu,” ia mengangguk. “Dan Jinhwan.”
“Siap, Kapten!”
“Kalian berdua jaga tempat dan jenasah ini. Kami akan segera kembali.”
Kedua petugas polisi itu mengangkat tangan di depan topinya membentuk gestur hormat. Tidak memerlukan waktu lama bagi rekan-rekan mereka untuk beranjak kembali ke jalanan besar dan mengusahakan bala bantuan dari markas kepolisian sekitar agar mereka bisa segera mengumpulkan petunjuk akan siapa pelaku kebejatan ini.
“Poor lad.”
Mingyu diam atas pernyataan itu. Rekannya mengambil tempat duduk di rerumputan agak jauh dari jenasah tersebut, merasa tidak nyaman terlalu dekat dengan orang mati dalam waktu yang cukup lama. Sebaliknya, Mingyu masih berdiri persis di atas sang jenasah, memerhatikan betapa muda wajahnya, betapa tampan…andaikan tidak ada darah mewarnai sekujur kulitnya. Wen Junhui bilang kalau tembakan yang mengenai Xu Minghao ada di 2 bagian, punggung dan belakang leher. Namun, meskipun peluru di dalam tubuhnya lebih sedikit dari peluru di dalam tubuh Wen Junhui, efeknya lebih fatal. Wen Junhui buktinya masih hidup sedangkan Xu Minghao tewas, terbaring di sini, di dekat ujung sepatu Kim Mingyu.
Menghela napas, petugas polisi berusia 27 tahun itu kemudian menyalakan senter dan berjalan sejenak di sekitar jenasah. Suara tapak sepatunya terdengar renyah tiap menginjak rerumputan bulan Mei, mencuri perhatian rekannya.
“Mingyu!” panggilnya. “Kamu sedang apa?!”
“Aku mau mengecek, siapa tahu ada bukti yang bisa kita amankan sekarang!” sahutnya balik. Selain jejak darah dan beberapa sisa benda milik kedua kekasih itu—kaus yang berlumuran darah, kantung tidur yang menutupi sang jenasah, tas mereka berdua, selimut yang sudah berantakan—tak ada lagi yang ia temukan. Mingyu tidak mengenakan sarung tangan, maka ia tidak berani menyentuh benda-benda itu, hanya mengingat posisi mereka agar bisa ia arahkan pada petugas forensik nanti.
“Jangan gegabah, Mingyu! Jangan merusak TKP dengan berjalan sendirian!”
“Baik!”
Ia sudah meniatkan untuk berhenti saat mendekati selimut, mungkin menyinari sejenak isi tas yang teronggok dengan senternya, siapa tahu ada diari atau sejenisnya, sebelum langkahnya terhenti. Ada orang yang sedang duduk di atas selimut. Bola mata Kim Mingyu bergerak dari ujung kaki, naik perlahan ke betis, lutut, paha—terus, terus, sampai ke leher dan, terakhir, wajah. Wajah yang sungguh tidak asing karena ia baru saja melihatnya.
Xu Minghao. Tanpa darah. Tanpa luka. Tanpa lubang bekas peluru di tubuhnya.
“Kamu—”
Mata mereka bertemu. Mingyu menyentak napas dan menelan ludah. Mata itu kopong. Mata yang sudah tidak lagi melihat apapun yang hidup. Mata orang mati. Sesaat, Mingyu mengintip ke balik bahunya, memastikan Jinhwan telah sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak lagi mengawasi gerak-gerik rekannya, sebelum ia kembali menatap Minghao.
“Kenapa kamu pindah ke sini? Tubuhmu di sana!” bisiknya. “Kembalilah ke tubuhmu. Jangan sampai kamu ketinggalan di sini.”
Xu Minghao masih saja menatapnya dengan tatapan kopong, seolah kata-kata Mingyu masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Ia melamun sebentar, lalu menengadah, menatap langit malam bertaburkan sungai bintang. Kim Mingyu mengikuti arah tatapannya. Di tengah hutan tanpa adanya cahaya buatan manusia seperti ini, langit nampak begitu indah. Bahkan bulan malam itu bulat sempurna, berpendar kekuningan dengan lembut.
Malam yang terlalu indah untuk mati.
Saat Mingyu tersadar, Xu Minghao telah membuka mulutnya. Ia mencoba berbicara dengan Mingyu, tetapi berbicara dengan yang sudah mati bukanlah kemampuan lelaki itu. Ia hanya bisa melihat mereka yang sudah mati.
“Maaf, aku…aku tidak bisa mendengar suaramu,” gelisah, ia berbisik lagi, lebih rendah kini karena ia tidak ingin membuat rekannya curiga. “Maka dari itu, kembalilah ke tubuhmu. Kami akan membawamu ke rumah sakit terdekat. Di sana, petugas ruang mayat kenalan kami akan membantumu. Namanya Jeon Wonwoo dan dia bisa mendengar suaramu.”
Minghao menelengkan kepala sedikit, melamun lagi. Mingyu tidak tahu apakah ia bisa memahaminya. Selama ini, orang mati yang ia temui bisa mendengar dan memahami Mingyu. Namun, tidak ada yang pasti di dunia ini, apalagi dengan entitas spiritual semacam ini. Ia ingat Dokter Jeon pernah bilang padanya kalau dulu, sebelum Mingyu datang, ia sama sekali tidak bisa mendengar suara orang mati. Justru yang bisa didengarnya adalah suara hati orang-orang yang masih hidup. Tak ayal, ia memilih bekerja menjadi petugas ruang mayat di rumah sakit karena ia bisa membaca buku dengan tenang di antara orang mati. Sampai pada suatu hari, ia bertemu satu mayat yang mengubah hidupnya dan, kini, ia bisa mendengar juga suara orang-orang mati.
Mingyu ingat ketika ia menanyakan, “Apa tidak berat, Dok? Terus mendengar suara-suara di kepalamu?”
“Bohong kalau kubilang tidak,” desahnya. “Tapi, yah, asal masih bisa mendengar suara Soonyoung, biarlah.”
Mingyu melihat sesosok lelaki muda di sisi sang dokter. Lelaki itu menatapnya dengan lembut, persis seperti tatapan Dokter Jeon padanya. Mencintai arwah yang bahkan tidak memiliki raga—entah separah apa sang dokter terkena dampak mental atas suara-suara yang tanpa henti menghantui kepalanya—
“Aku dengar itu, Kim Mingyu.”
Oh, shit.
Mingyu salah tingkah. Soonyoung meringis. Jeon Wonwoo tersenyum. Lalu, Soonyoung memeluk Wonwoo erat dan Mingyu berpikir, mungkin cinta segila ini pun eksis di dunia.
“Hei,” ia kemudian berjongkok agar pandangan mereka sejajar. “Apa kamu bisa mendengarku? Kembalilah ke tubuhmu, Xu Minghao. Kami sudah menemukan pacarmu. Dia selamat.”
Mata Minghao berkedut. Lalu, kepalanya menoleh begitu cepat. Ia melotot lebar-lebar—jujur, agak mengerikan hingga bulu kuduk di tengkuk Mingyu berdiri—dan parasnya kebingungan. Mingyu menelan ludah, lagi, dan meneruskan ucapannya. Reaksi Minghao membuktikan kalau ia bisa mendengar suaranya dengan baik.
“Dia selamat dan dirawat di rumah sakit yang kubilang tadi. Kalau kamu mau melihatnya setelah Dokter Jeon selesai bertanya padamu, aku akan mengantarmu ke ruangannya. Tapi kurasa dia akan menjalani operasi yang lumayan sulit. Asal kamu mau kembali ke tubuhmu dan ikut kami, masih ada kesempatan bagimu bertemu pacar—”
Saat Minghao mendadak memeluknya, sontak napas Mingyu terhenti. Ia tidak tahu apakah orang mati bisa menangis, namun ia bisa merasakannya. Getaran pada tubuh yang rapuh dalam pelukannya. Kencangnya gamitan jari jemari pada kemeja seragamnya. Dan, secara absurd, basah pada bagian dadanya. Atas dasar refleks belaka lah ia balas memeluk Minghao. Di dalam pelukan Mingyu, ia begitu…kecil.
“Ssh, ssh,” dielusnya rambut Minghao dengan lembut. “Jangan menangis, Minghao. Aku sudah menemukanmu. Kamu tidak akan sendirian di sini. Ssh, shh…”
Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dan tersesat di pegunungan yang sepi ini, wahai anak yang malang…
Kim Mingyu membiarkan Xu Minghao terus menangis dalam pelukannya.
Tok, tok.
“Ya?”
“Bolehkah saya masuk, Dokter Jeon?”
“Oh, Kim Mingyu. Masuklah.”
Ia tahu apa yang akan menyambutnya di balik pintu tersebut. Dokter Jeon dengan kacamatanya, rapi tanpa cela. Soonyoung, kekasihnya, berdiri di sisi sang dokter dengan tatapan iba. Dan, satu lagi, Xu Minghao, duduk di bagian kaki meja autopsi, dengan jenasahnya sendiri terbaring di sana. Mereka bertiga akan menatapnya kala ia masuk. Kim Mingyu pun menarik napas dalam-dalam.
“Saya datang dengan informasi baru, Dokter. Kami sudah menyusuri TKP dan menemukan beberapa longsong peluru. Saya ingin mencocokkannya dengan peluru yang diambil dari jenasah Xu Minghao—”
Blam.