Gyuhao Parents AU Omake: Blue Moon by Billie Holiday
Rumah berlantai dua itu dihiasi temaram lampu. Mentari telah tenggelam di ufuk Barat, membawa dengannya kegelapan bertabur bintang. Mingyu yang pertama menyadari bahwa siang telah berganti malam. Diletakkannya buku gambar penuh goresan pinsil, sketsa Minghao yang berdiri dengan kanvas di dekat kakinya. Salah satu hobi baru Mingyu adalah melukis Minghao saat suaminya itu tengah berkarya dengan cat dan imajinasinya. Di saat seperti itu, konsentrasi Minghao selalu seratus persen tertuang ke kanvas, lupa akan keberadaan Mingyu, bahkan lupa makan dan minum.
“Sayang,” gamitan Mingyu di bawah ketiaknya untuk menariknya berdiri membuat Minghao tersentak. Kaget, mendadak disadarkan dari lamunan. Ia kembali ke dunia ketika menoleh ke belakang, menemukan senyuman Mingyu di sana sebelum bibir lelaki itu mengecup bibirnya. “Makan yok? Aku laper.”
Baru terasa olehnya perut yang keroncongan berteriak minta diisi.
Minghao mengangguk. Mingyu melepaskannya dan berjalan ke arah dapur sambil mengingat ada bahan apa saja di kulkas mereka. Dengan patuh, Minghao membereskan segala kekacauan yang ia timbulkan. Cipratan cat di lantai yang tidak terlindungi tebaran koran ia lap hingga bersih. Furnitur seperti meja dan kursi sudah didorong agak jauh sebelumnya. Saat ia sudah mau selesai berbenah, wangi masakan pun tercium. Dengan perut keruyukan, Minghao menapak masuk dapur.
“Ikan?” tanyanya.
“Mm,” Mingyu membenarkan. “Kebetulan ada sepak dori tepung panir tadi. Aku goreng aja lah.” Ia melongok ke wajan, mengecek kondisi kentang gorengnya, lalu meninggalkan kompor untuk menjerang air. Minghao menyadari ada sekantung sayuran beku siap saji di dekat kompor.
“Itu mau direbus?”
“Yep.”
“Sini aku aja.”
Mingyu ketawa. “Nggak usah. Kamu mendingan pilihin minuman gih. Kamu lebih ahli soal ginian daripada aku,” ringis suaminya. Minghao hanya menaikkan bahu sambil lalu sebelum beranjak ke kabinet kayu tempat mereka menaruh bermacam-macam alkohol.
Minghao mengambil sebotol dan menaruhnya dalam kulkas. Ia menata meja makan terlebih dahulu, baru mengambil botol yang sudah dingin itu, lalu membuka dan menuangkan isinya ke dua gelas berkaki dari kristal. Mingyu menyajikan hidangannya dalam dua piring di atas meja makan, tapi Minghao punya ide lain. Ia mengajak suaminya untuk makan di balkon lantai dua.
Mingyu menurut. Dibawanya piring dan gelas bagiannya. Botol ia bawa dengan merangkulnya. Minghao menyempatkan diri untuk menyetel gramofon miliknya, memainkan La Vie en Rose keluaran tahun 1949 dalam lantunan khas suara Madame Edith Piaf. Begitu Minghao duduk di sebelahnya, Mingyu mengangkat gelasnya untuk didentingkan dengan gelas suaminya.
“Cheers.”
“Cheers,” di bawah terang bulan, senyuman Minghao indah sekali, membuat Mingyu ikut tersenyum melihatnya.
Diteguknya cairan putih berbuih tersebut.
“Enak?”
“Wow…,” reaksi Mingyu membuat Minghao tertawa geli. “Yang mana ini?”
“Mionetto.”
Mata Mingyu melebar. “Prosecco?” ia memastikan. “Berapa tahun?”
“Enam,” ia sendiri meneguknya. “Best with fried fish.”
Dan, tentu saja, suaminya itu benar. Mingyu makan sambil sesekali diseling anggur putih yang dingin itu dengan nikmat. Tanpa sadar, piring pun tandas, licin tak bersisa. Berbeda darinya yang selalu melahap makanan dalam suapan besar, Minghao menggigiti makanannya kecil-kecil, sehingga ia membutuhkan waktu lebih lama dari Mingyu. Tidak masalah. Mingyu senang memperhatikan suaminya makan semanis itu.
“Lukisan kamu udah jadi?”
Minghao menggeleng. “Konsepnya sih aku udah ada,” suapan ikan terakhir dan Minghao meletakkan piring kosong di atas piring Mingyu pada meja kecil di sana. “Tapi aku belum nemu warna yang cocok.” Diteguknya anggur dalam gelasnya.
“Hmm…”
Gramofon bergerak, berganti memutar sebuah lagu yang lebih berirama jazz. Oh. Mingyu tahu lagu ini. Billie Holiday.
“Blue Moon,” paras Mingyu menjadi ceria. Ia suka lagu ini. Minghao hanya tersenyum sebagai jawaban. Saat itulah Mingyu beranjak dari duduknya dan mengulurkan tangan pada suaminya.
“May I have this dance, Darling?”
Tertawa ringan, Minghao menyambut uluran tangan itu. “My pleasure, Dear,” ucapnya, mengikuti laju Kim Mingyu.
Mingyu membungkuk sedikit, yang dibalas Minghao dengan bungkukan serupa. Tangan Mingyu digenggamnya. Lengan Mingyu memeluk seputar pinggangnya. Denting piano, pun lantunan simbal, bass serta snare drum menemani dansa mereka di balkon malam itu. Mereka tertawa bersama, tak berhenti sampai Mingyu memutar perlahan tubuh Minghao, lalu, ketika lagu memasuki bagian tenor saxophone dan terompet, ia membawa tubuh itu ke dalam pelukannya.
Minghao tersenyum. Kepalanya ia sandarkan ke bahu suaminya. Pun Mingyu menyandarkan pipinya ke kening Minghao. Mereka bergerak perlahan, saling berpelukan, mengikuti irama santai lagu tersebut. Di atas mereka, bulan kekuningan bersinar terang, bagai tersenyum senang melihat kedua pasangan itu.
Mingyu menghela napas puas. Seperti ini. Semuanya terasa benar. Terasa pas. Ia menoleh untuk mencium lembut pipi suaminya. Kekasihnya, yang ia persembahkan hatinya bulat-bulat dua minggu yang lalu di balkon yang sama. Dalam pelukannya, adalah cinta dalam hidupnya. Ia merasakannya, entah dari mana dan bagaimana, namun ia tahu. Ia yakin bahwa inilah hidup Kim Mingyu yang seharusnya: di sisi Xu Minghao, dalam susah maupun senang.
Ia bisa saja membisikkan kata-kata cinta ke telinga Minghao, tapi, alih-alih, ia menyanyikan bait lagu yang tengah menemani dansa pelan mereka, membuat Minghao tertawa amat manis dan meluluhkan hati Mingyu seperti biasanya:
“Blue moon,
now I’m no longer alone.
Without a dream in my heart,
without a love of my own…”
Seketika itu juga, Minghao menemukan warna yang ingin ia gunakan dalam lukisannya kali ini.
“Kuning.”
“Hmm?”
“Warna lukisanku nanti,” bisiknya. “Kuning.”
Mingyu tersenyum.
“Warna yang cantik.”
Kuning. Karena ia bahagia.