Gyuhao AU: Canon compliant, At My Worst by Pink Sweat$
I need somebody who can love me at my worst
Know I’m not perfect but I hope you see my worth
Pertama, tatapan mata itu.
Mengekori. Mengawasi. Menjaga, agar tak ada setitik pun kesedihan nampak di wajahnya. Memastikan, bahwa ia bahagia, bahwa ia tertawa, bahwa ia tersenyum. Bahwa ia tak ingin melihatnya bersedih lagi. Agar Xu Minghao selalu tersenyum. Hanya itu.
Kedua, cemburu.
Angkara terbakar dalam dada. Ia acuhkan. Ia acuhkan, acuhkan. Namun, namun,
sulit.
Saat Seokmin tidur merangkulnya. Wajah berdekatan. Tangan dan kaki saling menggamit kencang.
Sulit.
Saat Hansol merasakan kepala berambut hitam yang indah itu di bantal pahanya.
Sulit.
Saat ia menggesekkan bahu, menawarkan diri untuk menjadi pemanas pribadi Minghao yang menggigil kedinginan, tetapi lelaki itu malah menyusruk manja ke Soonyoung, yang menarik jaketnya tanpa maksud selain menolong temannya itu.
Sulit. Sulit.
Ia benci dirinya yang seperti ini.
Maka, sisa sesi pemotretan hari itu, Mingyu diam seribu bahasa. Soonyoung dan Hansol yang merasakan betapa berat udara yang menggantung di antara mereka pun akhirnya mengusulkan agar Mingyu pulang duluan ketika bagiannya sudah selesai. Mingyu menurut. Ia ingin berjalan menantang angin segar. Tak ingin terkukung dalam mobil yang menyesakkan.
Maka, satu, dua, langkah berirama. Ia bermain melodi tanpa aturan dalam hatinya, mencoba menghibur diri sendiri. Lama kelamaan, melodi menguap ke tenggorokan, mematerikan diri menjadi dendang tanpa lirik. Tak sadar, ia, ketika seseorang mendampingi dendangnya dengan nada lebih tinggi darinya.
Mingyu menoleh.
Xu Minghao.
“Kenapa kamu di sini?”
Senyuman, saat tatapan Minghao bertemu matanya, “Nemenin kamu.”
Ada beban di ulu hatinya, “Nggak usah. Balik sana.”
“Mingyu.”
Jantungnya berdegup.
“Kamu kenapa hari ini, kok aneh?”
“Nggak apa.”
“Mingyu.”
“Minghao.”
Semakin dan semakin dekat.
Jangan dekatkan wajahmu.
Jangan dekatkan wajahmu.
Jangan dekatkan wajahmu.
Jangan—
Sentuhan jari-jemari di pipinya. Lembut. Amat lembut…
“Mingyu…?”
Ia hampir menangis tepat di situ.
“…napa…”
“Apa?” Minghao mengerutkan alis, mencoba menangkap ucapannya lebih jelas.
“…Kenapa bukan aku yang kamu pelok, tapi Soonie?”
Bola mata Minghao melebar.
“Padahal kan…aku udah bisikin kamu tadi…kenapa kamu…”
Kemudian hening.
“Mingyu, lihat sini.”
“Apa sih-“
Minghao tidak menyerah. Ia tangkup dan putar wajah Mingyu sampai lelaki itu mau menatapnya. Benar-benar menatapnya.
“…Oh.”
“A-apa-“
“Jadi ini maksudnya Jun selama ini,” Minghao tertawa. “Arti mata kamu tiap kamu lihat aku.”
Pipi Mingyu memerah semakin jadi. Ingin ia bersembunyi tetapi sayangnya tidak bisa.
“Kamu selalu lihat ke arah aku, kan?”
“A-aku-“
“Kamu selalu lihat aku dengan tatapan kayak gini, kan?”
Berdusta kini pun tiada gunanya.
“………iya…”
Senyuman Minghao semakin lebar. Ia pun merangkul leher Mingyu, menyentuhkan pipinya ke bahu lelaki itu. Jantung Mingyu bagai siap meledak kapan saja.
“Maaf ya, aku baru sadar.”
“…Emm.”
“Terus lihat aku kayak gini ya, Gyu?”
Apa kalimat itu bahkan diperlukan?
Selalu. Selamanya. Seumur hidupnya.
Mingyu menaikkan tangannya untuk merangkul balik pinggang Minghao.
“…iya.”
Hangat. Hangat. Angin bertiup kencang, menggigilkan badan, namun mereka sama sekali tak merasakan.
Mungkin, mungkin,
suatu hari,
akan ia bisikkan kata-kata cinta pada angin, agar ia menyampaikannya pada kekasih hatinya.
Agar Xu Minghao selalu tersenyum bahagia.
‘Cause it’s only you, nobody new, I put you first