Gyuhao Office AU Omake
Brak! Bruk! Tap, tap, tap!
“Waaaaahh!!”
“Kim Jieun!”
Ia tersenyum mendengar keributan itu. Tentunya bunyi tapak kecil terburu-buru menuruni tangga (Oh, ia harap tapak kecil itu tidak bergegas begitu, takut terjatuh) menyusul tak lama kemudian, tepat sebelum pintu depan menjeblak terbuka dan wajah mungil berambut hitam acak-acakan tersenyum lebar padanya.
“PAPA!”
Minghao tertawa. Segera, lengannya mengangkat anak perempuan pemilik nama Kim Jieun itu ke dalam gendongan. Nama yang mereka pilih dengan hati-hati dan berisikan doa kedua orangtua adopsinya ketika ia masih bayi merah.
“Papa, papa, hari ini Ayah bikin makanan gosong lagi~ \( ö )/”
“Oh ya?”
“Enak aja, itu kan karena Jieun ganggu Ayah masak!”
“Eh sembarangan~” ckckck, anak itu menggoyangkan telunjuknya sambil memonyongkan bibir dan menggelengkan kepala, memaksa ayahnya memutar bola mata. Benar-benar persis papanya.
Minghao terkekeh. Sambil mengecupi pipi putrinya, ia mendekati sang suami.
“Met dateng, Hao,” kecupan lembut pada bibir.
“Aku pulang, Gyu…”
Ketika kecupan tidak berhenti, Jieun memutar bola mata (nah kalau ini, persis ayahnya), lalu berontak minta diturunkan. Minghao pun menuruti permintaannya.
“Doyun udah bangun tuh,” kecupan terakhir dari Mingyu membuat Minghao bergumam, masih memeluk leher suaminya.
“Udah minum susu?”
“Lagi kuangetin.”
“Aku aja yang ngasih, tapi aku ganti baju dulu.”
“Nggak mandi sekalian?”
“Kamu udah mandi abis pulang kantor tadi?”
Mingyu menggeleng.
“Ntar aja kalo gitu. Bareng.”
Sebuah seringai muncul di wajah suaminya. “Boleh,” dibisikkannya di telinga, sambil meremas bokong suaminya. Minghao memukul bahunya secara spontan, meski ia ikut tertawa.
“Ayah! Ayah! Jieun bantuin nata piring!”
“Tuh dipanggil anak kamu.”
“Bener-bener dia mirip kamu. Bawelnya.”
Minghao mengerutkan kening. “Aku kan nggak bawel?” malah bertanya balik.
“Bawel ah. Di kasur.”
Lagi, geplakan di bahu. Mingyu tertawa, mencium bibirnya dan menuju ruang makan dimana putri mereka berada, sementara Minghao masuk ke kamar bayi. Melihat kedatangan orangtuanya, Doyun mengulurkan kedua lengan mungilnya, mata bulat memandang rindu.
“Sayang, kangen Papa? Hmm? Doyun laper? Bentar ya, Papa ganti baju dulu. Biar Doyun tetep bersih~”
“Aa…aa…”
Lelah berdiri, anak itu kembali duduk dalam boksnya. Menunggu dengan sabar. Sampai Minghao selesai berganti baju, mencuci tangan dan muka, lalu menggendongnya turun ke ruang makan.
“Papa! Dedek! Ayo makan! Makan!” Jieun mengetuk-ngetukkan sendok dan garpu kecilnya.
“Hao, sini,” Mingyu mengulurkan sebotol susu bayi hangat, tersenyum padanya.
Dan Minghao, dengan putranya dalam gendongan, balas tersenyum, menatap keluarga yang ia bangun bersama cinta dalam hidupnya.
Di hadapannya, ada dirinya sendiri, berjongkok mengenaskan di penyebrangan jalan, menangis tersedu-sedu. Menangisi seluruh kemalangan, seluruh sakit yang ia pendam. Seluruh pedih ketika mantan kekasihnya menghancurkan hidupnya. Minghao, tersenyum, ikut berjongkok dan memeluk erat kepala anak itu. Anak yang masih belum tahu bahwa, beberapa tahun kemudian, orang yang membawa kebahagiaannya akan datang kepadanya.
“It’s okay…it’s okay…kamu kuat…”
Bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan melebihi apa yang makhluk-Nya sanggup hadapi.
“You will be fine, it’s okay…”
And everything is okay, in the end.