Gyuhao x Mad Max Fury Road x King of Bandit Jing/Hot MV AU: Sexual Tension, Innuendo, Smut, Crime, Gun, Outlaws, Mentioned Blowjob, Madness, Attempted Murder, Choking, Breath Play, Slutty!Hao, Age Gap, HOT by Seventeen
Klek.
Mingyu mencabut silinder peluru, memastikan keamanan diri sendiri, sebelum mulai mempreteli pistol untuk membersihkannya. Pistol itu bukan barang baru. Banyak baret di badannya, menandakan telah banyak kematian yang ia sebabkan. Pistol yang diberikan Seungcheol pada Mingyu ketika lelaki itu memutuskan bahwa kehidupan lamanya tidak lebih berharga dari kemungkinan mati dicabik burung bangkai di padang gurun tak bertuan.
Kim Mingyu. Dua bulan lalu berulang tahun ke-20. Dua bulan lalu, ayah pemabuk yang selama ini memukulinya ditembak mati oleh Choi Seungcheol, orang yang poster wajahnya tertempel di kantor sheriff di desa kecilnya. Manalah Mingyu pernah membayangkan kalau wajah dalam poster tersebut akan membebaskannya dari siksaan tak berkesudahan. Manalah Mingyu pernah membayangkan dirinya akan menjadi bagian dari geng Choi, geng paling dicari seantero dunia saat ini. Dua belas—tiga belas, kini—kriminal paling gila yang membuat kekacauan di semua area yang mereka lewati.
‘Balas budi’, pikirnya, suatu hari, ketika bertanya-tanya mengapa anak desa sepertinya bisa terlibat begini. Setidaknya, Kim Mingyu tidak perlu mengotori tangannya sendiri dengan darah orangtuanya. Choi Seungcheol telah mengambil alih peran itu untuknya.
Dengan sikat kecil dan semir, ia dengan telaten membersihkan kotoran yang menempel di bagian-bagian pistol tersebut. Setiap ditembakkan, serbuk mesiu menjadi residu yang, bila tidak dibersihkan, akan menghambat aplikasi. Mengingat Seungcheol sendiri tidak pernah lupa untuk membersihkan senjatanya setiap malam, Mingyu pun mengikuti contoh ketua mereka itu. Ditemani sinar temaram lampu minyak, Mingyu menusuk larasnya beberapa kali dengan tongkat kecil khusus. Kemudian, berganti kain kecil, ia mengangkat segala kotoran dari laras dan melumasinya agar jalur keluar peluru tetap lancar. Ketika semua bagian pistol telah bersih dan berlumur pelumas, dan ia tengah menyusun lagi pistolnya, seseorang pun duduk di sisinya.
Mingyu menoleh dan menemukan Minghao. Si rambut merah tersenyum. Seketika itu juga, Mingyu membuang muka.
Xu Minghao. Lelaki yang berbahaya.
Meski Mingyu baru bergabung dua bulan lalu, lelaki yang lebih tua darinya itu langsung menempel padanya. Ia tahu tidak akan mudah membuat segerombolan kriminal percaya padanya, meski yang membawanya masuk adalah ketua mereka sendiri, tetapi Minghao mematahkan dugaan tersebut sejak hari pertama. Mingyu bertemu pandang dengan Minghao saat Seungcheol memperkenalkannya pada sebelas orang lain di sana dan, sejak saat itu, ia terperangkap.
Karena, Xu Minghao, selain berbahaya, juga sangat seksi.
Seperti mawar merah. Cantik, namun berselimutkan duri.
Mereka tenggelam dalam keheningan hingga Mingyu menyetel kembali silindernya dan memasukkan tiga selongsong peluru. Mereka berada di tempat yang tergolong cukup aman, jauh dari teritori geng lain dan bukan dirinya yang bertugas jaga di malam itu. Tiga peluru seharusnya cukup.
Yang berjaga malam ini kalau tidak salah…
“Aku bosan mengawasi sendirian,” tiba-tiba, suara di sisinya berkata. “Temani aku?”
‘Tidak.’
Itu suara hatinya. Di luar, ia hanya menatap bosan pada Minghao. Meski Minghao selalu menempel padanya, memulai pembicaraan, bahkan selalu mencari dirinya di mana pun mereka berada, Mingyu tidak mengindahkan. Ia tidak ada niat melesap sempurna dalam geng Choi. Tekadnya adalah menemukan cara untuk membangun hidup baru di tempat lain setelah semua kegilaan ini berlalu.
(“Rumah tenang di tepi pantai. Hidup bersama orang yang kucintai. Anjing yang aktif dan lucu.”)
(“Entah harus kubilang kau romantis atau gila, Kim. Pertama, tidak ada pantai di gurun pasir ini.”)
Seungcheol tertawa ketika ia pertama mendengar resolusi Mingyu dan alasannya bergabung.
(“Kedua, orang seperti kita tidak punya hak akan cinta.”)
“Ming-gu?”
Lentik kerjapan mata. Bibir merah membuka sedikit seolah ia lelaki naif yang bingung akan kebungkaman Mingyu. Sayangnya, Mingyu tahu lebih baik dari itu.
“Tidak,” ia akhirnya menjawab. Pistol kembali ke pelindungnya di pinggang. Mingyu hendak berdiri. Ia mengantuk dan ingin segera tidur. Hanya saja, Xu Minghao lebih cepat. Pun, di luar dugaan, lebih kuat. Ditariknya sisi lengan jaket Mingyu hingga ia terduduk lagi, membuyarkan pasir yang ia himpit.
Saat Mingyu menoleh dengan alis menukik kesal, wajah Minghao begitu dekat dengan wajahnya.
“Temani aku,” bisiknya.
Entah Mingyu harus melihat ke matanya yang indah atau ke bibirnya yang ranum itu.
“Tidak,” hanya secuil harga diri yang Kim Mingyu punyai untuk tidak jatuh ke perangkap manis sang mawar merah. “Mintalah pada Choi. Aku bukan mainanmu.”
Mendengar itu, Minghao mengerjap. Sekali, dua kali.
“Aku melihat kalian,” sebelum ditanya, Mingyu sudah menjelaskan. “Bukan urusanku. Tapi, kalau kau kira aku sama dengannya, kau salah besar.”
Di kejauhan, mereka mendengar seseorang batuk beberapa kali. Suara kertakan kayu dalam api unggun yang dibakar di beberapa tempat menyusul kemudian. Desir angin menyapu pasir pun menambah suara-suara malam. Napas, panas berhembus, kontras terhadap dinginnya malam di gurun.
Sedingin ini dan Xu Minghao masih mengenakan kaus tembus pandangnya yang menonjolkan put—
—you know what? Bukan urusan Mingyu lelaki itu mau pakai atau tidak pakai apa. Ia membuang pandangan dari Minghao.
Sekali lagi, Mingyu hendak beranjak.
Sekali lagi, Minghao menariknya
Terjatuh cukup keras, kali ini, membuatnya terkesiap dan marah. Amarah yang tak kunjung tersalurkan karena peri hutan berambut merah menyala telah menangkup kedua pipinya.
“Kau bicara sok suci, tapi apa ini, Kim?” dengan lututnya, Minghao menekan bagian depan celana jins Mingyu yang mulai menonjol. Ia mengerang, sebelum menggigit bibir bagian bawah untuk membungkam suara tak senonoh barusan. “Kita semua laki-laki di sini. Bila tidak ada wanita, semua sama saja.”
Tekanan lutut lebih intens. Dari celah bibir, Mingyu mengeluarkan erangan tertahan.
“Kau melihat kami? Mengintip ya, anak bandel?” bibir sundal itu telah menemukan telinga Mingyu, membisikkan kata-kata kotor ke sana. “Tentu kau tahu, kan, seperti apa wajah Cheol saat itu? Suaranya, ketika dia orgasme?”
Ingatan. Memori membanjiri isi kepalanya akan malam dimana ia menyaksikan kepala merah timbul tenggelam di belahan kaki ketua mereka. Napas Mingyu mulai memendek. Ia terengah. Suara Minghao tepat di sisi wajahnya. Napasnya. Wangi tubuhnya.
“…Kau tidak mau tahu seberapa lezatnya mulutku yang membuatnya orgasme itu?”
Seks.
Ia tidak mau membalas senyuman lelaki itu ketika pandangan mereka bersirobok di hari pertama. Sekali pandang, Kim Mingyu tahu lelaki itu berbau masalah. Seks dan masalah. Bukan orang yang tepat untuk membangun rumah di pinggir pantai dan mengadopsi anak anjing bersamanya.
Mingyu menjambak rambut Minghao dan menariknya paksa. Mereka saling bertatapan. Alis Mingyu mengerut tak senang sambil tetap terengah. Minghao, di lain pihak, tersenyum mengancam. Ada arti lain yang lebih licik dalam kilau bola matanya. Dengan sengaja, ia menjilati bibir bawahnya pelan-pelan, memastikan Mingyu mengikuti dengan arah pandangannya.
“Ayolah…,” ajaknya lagi. Lutut ditekan kembali, membuat Mingyu menghentakkan napas dan kepala terpelanting ke belakang. “Bukankah kau selalu memandangku seperti kau ingin menindihku di atas pasir saat itu juga? Bukankah kau juga ingin aku menghisapmu, merasakan apa yang Cheol rasakan? Hmm?”
Kini, Minghao duduk di atas tubuh Mingyu. Panggul mereka bertemu dan, walau terkukung oleh celana keduanya, ia menggesekkan selangkangannya ke selangkangan Mingyu. Lelaki itu tidak kuasa menahan erangan, seperti halnya Minghao yang mendesah puas. Tangan Minghao merayap ke dadanya sendiri, memainkan dan menyentuh putingnya hingga menegak di bawah kaus ketat tembus pandangnya itu. Hentakan pinggulnya tidak berhenti. Apabila ada yang terbangun untuk buang air kecil, mungkin ia akan mengira mereka sedang bercinta.
Bukan hal aneh melihat hubungan badan di antara anggota geng mereka. Seperti kata Minghao, bila tak ada wanita, semua lubang sama saja.
Mingyu hampir gila. Ereksinya membesar memenuhi celana, membuat gundukan kentara di selangkangannya. Minghao serasa di atas angin. Lelaki itu tertawa dalam kikikan khasnya yang tinggi, merasa menang, sampai Kim Mingyu tanpa dinyana menangkap lehernya yang terekspos dan sekuat tenaga memutar tubuh mereka. Posisi berbalik. Mingyu di atas, tubuh besarnya memenjara tubuh Minghao yang ramping. Tekanan pada leher meningkat, menghalau udara memasuki relung pernapasan si rambut merah.
Meski sedang tercekik, senyum Minghao tak ayal merekah semakin lebar.
Cantik dalam kegilaannya.
“Mulut kotor ini…,” salah satu mata Mingyu berkedut. “Bagaimana kalau kau mati di tanganku malam ini?” Berkata begitu, ia kembali menekan leher Minghao. Bunyi tercekik terdengar lagi. “Apakah Seungcheol akan membunuhku jika tahu aku telah melenyapkan sundalnya?”
Minghao membuka mulut, seakan ingin menjawab. Penasaran, Mingyu melonggarkan genggamannya.
“…T-Tergantung…,” ucapnya, serak dan susah payah. “…Kalau kau mencekikku sampai mati dengan penismu di dalam tubuhku, mungkin dia akan bangga padaku…”
“Sundal…”
Untuk beberapa saat, tekanan pada lehernya menjadi-jadi. Minghao pun secara refleks menggamit dan menggaruk tangan Kim Mingyu, meninggalkan bekas cakaran di sana. Bola matanya hampir menghilang ke belakang kepala. Pandangannya mulai putih.
‘Ah…,’ batinnya. ‘Jadi begini caranya aku mati…’
Namun, mendadak saja tekanan itu hilang. Oksigen kembali menyerbu paru-parunya, memasuki otak dan jalur sirkulasi darah, membuatnya terbatuk-batuk parah hingga mengucurkan air liur ke mana-mana. Di lehernya, ada bekas kemerahan yang nyalang.
“Besok,” seolah tidak hampir mencabut nyawa anggota geng Choi, Mingyu berkata dengan tenang. “Kita akan bertemu geng Kang. Tepatnya di tengah hari saat matahari di atas ubun-ubun. Mereka akan datang ketika kita makan siang.”
Masih terus terbatuk, dengan suara parau Minghao berusaha bertanya, “…T-tahu dari…man…”
“Aku menghitungnya. Di kota yang terakhir kita datangi, informasi mengatakan kalau mereka terakhir terlihat 500 meter dari oase. Ini sudah hampir seminggu sejak itu. Mereka akan memerlukan air dan perlengkapan. Yang terdekat adalah reruntuhan yang akan kita capai kira-kira besok siang. Mereka akan ke sana untuk mengambil air dan merampok pedagang yang berhenti sejenak untuk beristirahat.”
“Hmm…,” sudah lebih tenang, Minghao mengelus lehernya perlahan. “Kata Cheol, kau pandai dalam hal ini.”
“Hal apa?”
“Angka. Kalkulasi.”
Mingyu mengangkat bahu sambil lalu.
“Aku juga punya hal yang pandai kulakukan.”
“Menghisap penis lelaki?”
“Salah satunya,” Minghao terkekeh. “Yang lain adalah mencabuti bola mata.”
Mingyu menoleh. Minghao juga menoleh. Meski dengan bekas cekikan di leher, lelaki itu masih begitu cantik seperti dosa pertama manusia ketika diturunkan di bumi. Mungkin benar apel adalah buah paling terkutuk bila apel yang dimakan Hawa semerah dan seranum bibir Xu Minghao.
“Besok, berapa banyak bola mata yang kau inginkan agar kau meniduriku?”
Bisikan, terbawa semilir angin malam. Dua pasang mata berkilau, saling paham bahwa percuma saja mereka mencoba menjauh dan menolak. Percuma, saling menyerang dan membunuh. Nyatanya, mereka akan kembali tertarik akan satu sama lain, lagi dan lagi, bagai kubu magnet yang berbeda.
Mingyu mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Minghao. Dielusi, lelaki berambut merah itu pun mengusrekkan wajahnya ke tangan besar nan hangat tersebut. Ibu jari Mingyu mengusap tulang pipinya, sisi rahangnya, lalu ke permukaan bibir yang mengilap oleh sesuatu, yang kemudian meninggalkan jejak merah berminyak di ibu jari itu.
“Kau pakai pemoles bibir?”
“Wanita yang kubunuh punya banyak sekali benda itu,” Minghao tersenyum. “Mereka bilang aku cantik memakainya.”
Benar. Mereka, anggota geng Choi, sungguh benar. Xu Minghao memang cantik memakainya.
“Semua.”
Ibu jari Mingyu menyusup ke dalam celah bibir Minghao dan lelaki itu otomatis menyesapnya.
“Berikan aku semua bola mata geng Kang.”
Minghao melepas kulumannya pada ibu jari Mingyu untuk menjawab,
“Deal.”
AKH TAKUT
takut kenapa…? xD