Gyushua ABO AU Omake – 17 Years Later: GxG, BxG, BxB, Victorian AU, ABO, Underage, Huge Age Gap, Romance Between Cousins, Mpreg, Usage of Mama/Mother For Males Bearing Children, Married Life, Domestic, Peanut Butter and Tears by DPR IAN
[“Berita hari ini.
Putri mahkota kerajaan Kwon, Yang Mulia Kwon Seongso, hari ini resmi menginjak usia delapan belas. Sang putri diharapkan akan mulai mencari pengantinnya demi keberlangsungan penerus kerajaan. Maka dari itu, malam ini akan diselenggarakan pesta dansa megah di aula istana untuk mencari calon pasangan bagi Yang Mulia. Semua tamu penting undangan, termasuk perwakilan dari kerajaan Choi, disinyalir akan menghadiri acara tersebut. Hubungan kedua kerajaan semakin membaik, begitu pun hubungan dengan kerajaan Wen di Timur Jauh—”]
Klek.
“Ah, aku lagi dengar! Kenapa—” Choi Yido hampir meninggikan suaranya ketika disadarinya bahwa yang mematikan radio tersebut adalah kakak perempuannya. “—Kak Nara?”
Omega berusia tujuh belas itu menoleh, membalas pandangan keheranan adiknya, sebelum senyuman pun merekah. Lembut, ramah, namun menyembunyikan hati yang gundah gulana jauh di dalam dada. Meski, di mata Yido, kegundahan itu mudah sekali terbaca. Ia lah yang paling memahami kakak perempuan satu-satunya itu.
Lalu, sang putri kerajaan berlalu, tanpa meninggalkan apapun selain harum madu manis dengan sedikit aroma bunga lili.
“Beneran nih? Kalian berdua aja yang pergi?” Joshua mengernyitkan alis. Ia telah membantu Mingyu merapikan kerahnya, sebelum ditepuk-tepuknya mantel bepergian sang Alpha. Mereka berada di aula singgasana raja. Pandangannya berpindah-pindah dari Mingyu, ke Tuan Raja, diselingi ke sahabatnya, Yoon Jeonghan. “Apa…kalian nggak lupa ngajak seseorang?”
Mendengar itu, Jeonghan menghela napas. “Anak itu…benar-benar, keras kepalanya mirip kau,” dicubitnya pipi suaminya (yang memanyunkan bibir sebagai tanda protes). “Padahal sudah kubilang kalau Kwon dan Wen mengundang kita semua, khususnya dirinya…”
Sayangnya, karena alasan kesehatan, Jeonghan mau tak mau mengurungkan niat untuk pergi. Akhir-akhir ini batuknya tak kunjung berhenti. Dokter Jeon dan Tuan Seo telah mencoba meramu berbagai macam obat, termasuk air rebusan jahe, daun mint dan madu, namun masih belum manjur baginya. Sedangkan Joshua tidak ikut semata karena Gyuri. Baru beberapa bulan berselang sejak putrinya itu menunjukkan dirinya sebagai Omega. Berusia hanya dua belas, maka terlalu dini lah gender keduanya terungkap dibandingkan kisaran usia normal anak lainnya, yang mana membuat cemas kedua orangtuanya. Untungnya, tidak sampai terjadi estrus pertama. Joshua dan Mingyu harus terus memantau kondisi Gyuri hingga estrus pertamanya tiba.
Sebenarnya tidak masalah jika hanya Tuan Raja dan Mingyu yang pergi, alih-alih seluruh anggota kerajaan. Toh ini hanya pesta ulang tahun. Beda cerita bila ini adalah upacara penobatan naiknya ia ke atas takhta, menggantikan ibunya, Kwon Soonyoung. Hanya saja, mengingat siapa yang akan merayakan ulang tahun ke-18—usia paling penting karena merupakan titik tolak kedewasaan—sangat tidak masuk akal bila Choi Nara tidak ikut ayah dan pamannya pergi.
“Yah…,” Joshua berusaha menelaah. “Mungkin mereka udah…y’no, jauh dari satu sama lain? Cinta monyet nggak selalu berakhir di pernika—” Jeonghan memandangnya seolah dari kepala Joshua telah tumbuh jamur tertawa. Joshua pun memutar bola mata. “—right. Aku lupa kalian awalnya juga dari cinta monyet.”
“Lancang,” dengus Jeonghan 😤 “Aku dengan Cheol sejak awal sudah tahu kami akan menikah pada akhirnya. Bukan sekadar cinta monyet.”
“Ya, ya, ya…,” 🙄 sudah pengang Joshua mendengarnya diulang-ulang.
“Makanya, ketika Seongso meminta tangan Nara ketika mereka pertama bertemu dulu, kukira mereka akan seperti kita…”
“Sayang…,” Tuan Raja mengelus pipi Omeganya.
“…tapi sepertinya harapanku sia-sia belaka.”
Sebagaimana Jeonghan, Joshua pun menghela napas perlahan. Mingyu menyandarkan sisi keningnya ke kepala Joshua. Satu lengannya melingkari pinggang sang Omega.
“Apa kau juga berpikir bahwa Seongso dan Nara akan menikah?” tanyanya. Joshua mengernyitkan alis akan pertanyaan tersebut.
“Jujur? Nggak tau,” akunya. “Kukira mereka cocok-cocok aja. Soalnya, walaupun Nara kayak nggak mau deket-deket Seongso, tapi mereka punya, apa ya, chemistry? Kayak Seokkie sama Kwannie dulu gitu lho.”
“Hmm,” Mingyu tersenyum kecil, mengingat masa lalu mereka yang, terkadang, begitu menggelikan kala diingat kembali. Bagaimana Tuan Boo menghindari Tuan Lee dengan segenap tenaga. Bagaimana dirinya dengan malu-malu menitipkan buket bunga permintaan maaf pada Tuan Hong ke pemilik toko kelontong. Betapa absurd tindakan manusia ketika mereka jatuh cinta. “Kalau putri kita, bagaimana menurutmu?”
Joshua sejenak terdiam, menelaah ucapan suaminya. “Maksud kamu, aku lebih setuju Ri sama Yido ato Kibum?”
Mingyu bergeming. Joshua mengintip wajah Alphanya, lalu tertawa geli. “Mingyu,” kekehnya, sambil satu tangan menangkup pipi sang Alpha. “Ri masih dua belas. Masih kelewat jauh buat kamu mikirin dia bakal nikah dan ninggalin rumah.” Betapa menggemaskan, Alphanya itu 🤭❤️ “Lagian, bisa aja Ri ketemu orang lain dan malah naksir orang itu. Dia bakal ketemu banyak orang, temenan sama banyak orang dan milih pasangannya sendiri. Ato, mungkin dia nggak mau nikah dan mau hidup sendiri aja sama dua belas kucing dan satu anjing. Who knows?”
Kernyitan Mingyu malah semakin dalam.
“Tapi, usia dua belas itu terlalu dekat dengan usia delapan belas. Sekali kerjap, bisa saja tiba-tiba aku harus mengantarnya menyusuri lorong gereja untuk menyerahkannya ke pasangannya—”
“Iya, iya,” Joshua menepuk-nepuk pipi suaminya. “Haduhh, nggak Hani, nggak kamu. Khawatiran banget sih. Udah, jangan dipikirin terus, Papa~ 😬 Aku yakin Ri nggak akan lupa ke rumah kita kok buat bawa anak-anaknya main nanti. She adores you so much…”
“…Seperti aku padamu?”
Pipi Joshua spontan merona, menatap senyuman malu-malu di wajah tampan suaminya yang kini dihiasi gurat halus di sini dan di sana. Bagai anggur kualitas terbaik, Kim Mingyu di usia ke-55 justru semakin tampan di matanya. Bibir merah sang Omega pun terkulum senang.
“Gombal.“
“Kak Nara nggak ikut pergi?”
“Sepertinya begitu,” Yido mengangguk. Duduk agak jauh dari orangtua mereka, sang pangeran kerajaan dan sepupunya itu tengah menikmati jamuan minum teh ditemani biskuit, kue dan beragam manisan. Semenjak Paman Vernon mengirimi ibunya sekotak besar permen karamel, Gyuri lebih sering ditemukan sedang mengunyah permen bertekstur lembut nan lengket tersebut—hal yang membuat ibunya dimarahi terang-terangan oleh Dokter Jeon (Ri memanggilnya Si Kacamata Galak!) dan mulai mengawasi putri semata wayangnya itu. Tiga permen karamel dalam satu hari adalah batas yang Joshua bisa toleransi. Gyuri hanya menatap ibunya sedikit lama, sebelum mengangguk. Ia bukan tipe anak yang rewel semenjak bayi.
Yang mana sempat membuat cemas kedua orangtuanya. Sepenurutnya seorang anak, biasanya ada momen dimana anak itu meledak dan meluapkan emosinya; tantrum, entah dengan merengek, menjerit atau berguling-guling di tanah. Mereka sempat membawa Gyuri ke Dokter Jeon, namun Beta itu tidak menemukan keanehan pada diri Gyuri.
“Sifatnya memang seperti itu,” Jeon Wonwoo menaikkan bagian tengah bingkai kacamatanya. “Perilaku bisa dibenahi, namun tidak dengan sifat lahir seseorang. Saya tidak bisa mengubah sifatnya dengan segala kemampuan saya.”
Karena dari itu, Joshua dan Mingyu jarang memarahi Gyuri. Meski kecemasan takkan pernah pudar—orangtua akan selalu mencemaskan anaknya—namun mereka menjaga agar tak menimbulkan stress berlebihan pada Gyuri. Bila memang anak itu tipe yang tenang dan enggan melawan, maka Joshua dan Mingyu akan berlaku adil dengan tidak menekan pemikiran mereka padanya. Sebagai ganti kepatuhan putrinya, mereka selalu mencoba mengenakan sepatu anak itu setiap mengambil keputusan di dalam keluarga.
Pemahaman bahwa Kim Gyuri adalah sesosok individu tersendiri, bukan benda yang Joshua dan Mingyu miliki.
Choi Yido memandangi Gyuri mengunyah permen karamelnya. Memandang balik, gadis kecil itu kemudian menyodorkan sebutir permen pada sepupunya.
“E-eh?”
“Yido mau?’
Di hadapannya, Omega kecil dengan mata bulat besar dan hidung mungil tengah menelengkan kepalanya. Rambut hitamnya yang lurus panjang nampak begitu halus dan indah. Bulu matanya lebat nan lentik. Begitu, begitu cantik dalam kepolosannya. Dengan kedua pipi merah padam dan sebulir peluh menitik di tengkuk, sang Alpha pun ikut mengulurkan tangannya, menerima butiran berlapis kertas tersebut. Harum teh Earl Grey favoritnya setiap jamuan jam tiga sore menguar dari sang Omega. Namun, berbeda dari daun teh seduhan yang pekat—yang mana lebih merupakan feromon Paman Gyu—feromon sang Omega menyerupai aroma scone Earl Grey yang baru matang dari panggangan dan dilapisi krim susu kocok segar.
Feromon yang tidak sedikit pun Kim Gyuri tutup-tutupi karena ia masih terlalu muda untuk memahami pentingnya menyembunyikan feromon, apalagi di depan Alpha yang telah menitipkan hatinya padanya sejak mereka bisa mengingat.
Choi Yido meneguk ludah. Berusia empat belas, ia adalah pangeran kerajaan yang dibesarkan dengan terhormat oleh ayah dan ibunya. Bila Omega dambaannya tidak segan membagi harum feromonnya pada dunia, maka biarlah ia yang menjadi pria sejati dan menyembunyikan feromonnya sendiri: tanaman nilam yang kuat dipadu dengan buah persik dan minuman rum yang pahit. Wangi yang akan merasuk hati siapapun yang menghirupnya, entah oleh ketakutan atau dominasi. Yido bersumpah takkan pernah menggunakan feromonnya untuk mempengaruhi Gyuri.
“Kau masih menyukai putri Mingyu, Putraku?”
Suatu sore di ruang kerja pribadinya, ayahnya bertanya sesuatu yang cukup mengejutkan. Padahal, mereka sedang membahas pelajaran strategi yang ia jalani pada siangnya. Yido bungkam beberapa detik sebelum balas bertanya, “Apakah…ada sesuatu yang perlu saya ketahui, Ayahanda? Apakah…apakah restu tidak diberikan pada saya?”
Terkekeh sedikit, sang Alpha menggelengkan kepala. “Oh, tidak, tidak. Mingyu tidak melarangku atau apa. Aku hanya sekadar bertanya,” helaan napas. “Gender keduanya telah diketahui.”
Bola mata Choi Yido melebar.
“Omega.”
“Tapi—” potongnya. “—bukankah Gyuri baru berusia dua belas…?”
“Benar. Makanya, aku bertanya padamu, apakah kau masih menyukainya?”
Yido menyentakkan napas. Omega. Gadis yang kian hari kian bertambah cantik di matanya itu bergender Omega. Alpha dan Omega. Meski ia pada dasarnya tidak peduli gender kedua Gyuri apa, namun karena sudah diketahui sebagai gender paling sempurna bagi Alpha, maka ia tidak bisa tidak memikirkan betapa cocok gender mereka. Seolah…seolah mereka diciptakan untuk satu sama lain…
Tuan Raja memangku dagu pada tangannya. Ia menunggu jawaban keluar dari mulut putranya itu. Jawaban yang hampir tak tertangkap telinga karena tersamarkan oleh helaan napas.
“Saya…saya ingin mendekatinya…,” akunya, diwarnai semburat merah pada seluruh wajah. Mengakui isi hati pada ayahnya terasa membutuhkan lebih banyak keberanian daripada pergi ke arena pertarungan dan menantang para prajurit berlatih tanding. “Ketika Ri telah berusia lebih dewasa, saya ingin meminta ijin pada Ayahanda, Ibunda, dan orangtua Ri untuk mendekatinya… Saya ingin meminang Ri suatu hari nanti…”
Sekedip, dua kedipan mata. Tuan Raja menganggukkan kepala. Kini, ia paham bahwa putranya tidak main-main. Tentu, perjalanan mereka masihlah panjang. Cinta yang dirasakan oleh mereka masihlah seumur jagung. Ketika wawasan dan pergaulan mereka meluas, tidak lepas kemungkinan bahwa perasaan tersebut akan lenyap begitu saja ditiup angin musim semi. Namun, menatap bola mata putranya, Choi Seungcheol hanya bisa menanggapi dengan sama seriusnya. Lagipula, ia sendiri telah mengetahui siapa pasangan hidupnya sejak masih berusia muda. Apa yang membuatnya berhak untuk tidak mengakui perasaan putranya?
“Jikalau begitu,” ujarnya balik. “Sama seperti yang pernah kukatakan pada ayah Gyuri dahulu kala, dekatilah ia dengan terhormat, Putraku. Jika kau sudah yakin bahwa Kim Gyuri adalah Omega yang kau damba, maka perlakukan ia dengan kebaikan dan kelembutan. Junjunglah ia, karena martabatnya lebih tinggi bahkan dari rasa cintamu padanya.
Kau adalah putraku satu-satunya dan aku percaya padamu, Choi Yido.”
Yido ingat napasnya tertahan saat membalas pandangan ayahnya. Diberi kepercayaan seperti itu adalah kehormatan tertinggi baginya dan ia tidak akan mengkhianati kepercayaan sang raja, apapun alasannya.
“Permisi.”
“Oh! Kau sudah datang!”
Bahkan ketika alasannya adalah lelaki Beta berusia delapan belas dengan rambut hitam agak kecoklatan, wajah tampan dan andeng-andeng tepat di atas bibirnya.
“Kibum!” Joshua yang pertama menyambut anak itu ke dalam pelukannya. Ia menyukai anak-anak sahabatnya, namun ada kedamaian yang sulit dideskripsikan setiap kali ia bertemu dengan anak itu. Mungkin salah satu penyebabnya adalah feromon Kwon Kibum: air mineral segar yang dicampur potongan lemon serta daun mint. Aroma yang samar-samar namun begitu menenangkan jiwa, mendorong siapa pun di dekatnya untuk menghirup aroma tersebut dalam-dalam, lalu dikeluarkan dalam satu hembusan napas besar.
Seperti aromanya, sifat anak itu pun santai, hampir tidak pernah menginginkan apapun bagi dirinya sendiri. Sebuah oase bagi ibunya karena kakak kembarnya, Seongso, adalah sosok yang berkebalikan 180 derajat dengannya. Bila Kwon Seongso menginginkan dunia, maka ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Sedangkan Kwon Kibum…
“Gimana di sana?” Joshua menjauh sedikit, memerhatikan pakaian yang dikenakan anak itu. Pakaian tradisional negara asal Wen Junhui yang sungguh asing di mata mereka semua. Daripada dijahit, pakaian itu lebih tepatnya seperti tumpukan kain berlilit-lilit. Entah bagaimana anak itu mampu berjalan jauh tanpa membuka lilitannya secara tidak sengaja.
Senyuman Kibum sangat lebar. Raut wajahnya berseri-seri. Jelas ia menyukai pengembaraannya yang panjang itu. “Keren,” akunya dalam nada kagum. “Persis kayak cerita Papa selama ini. Udaranya jernih. Banyak sinar matahari. Pohon-pohon bambu dan bunga teratai. Banyak flora, fauna yang baru pertama kali kulihat. Negaranya masih asri. Teknologinya nggak semaju negara ini, apalagi negara kita, tapi di sana tenang dan damai. Serba teratur. Kakak Papa, raja negara itu, gendernya Beta, tapi semua rakyat tunduk padanya. Sistem hukum dan keadilan di sana bagus banget!”
“Begitukah?” Mingyu menimpali ketika ia mengambil posisi di samping suaminya. “Sungguh menarik. Aku jadi ingin berlayar ke sana juga.”
“Bulan madu yang telat 12 tahun, Paman Gyu?” Kibum menyengir jahil, membuat pipi sang Alpha merona.
“Boleh juga tuh,” seloroh Joshua, setuju. “Ngeliat dari mukamu, pasti kamu seneng banget di sana ya.”
Kwon Kibum membalasnya dengan senyuman tulus.
“Syukurlah kau sampai dengan selamat,” Joshua dan Mingyu meminggirkan diri, mempersilakan Tuan Raja dan Yoon Jeonghan berganti menyambut si anak. Ketika Kwon Kibum membungkuk memberikan hormat, Yoon Jeonghan menahan dan memeluk anak itu. “Kau lelah, Nak? Apa kau perlu beristirahat dulu?”
“Ada teh dan kue-kue, kalau kau mau. Yido dan Gyuri sedang duduk di—”
Tuan Raja mengangkat pandangan ke arah yang dimaksud, membawa fokus Kibum bersamanya. Ia menatap wajah Yido terlebih dahulu, sebelum beralih ke sosok di sisinya. Serta merta, pandangan Kwon Kibum melembut.
“Saya tidak menolak satu-dua cangkir teh, Yang Mulia,” fasih ia bertutur kata dalam bahasa negara ini. Sebuah keharusan dikarenakan posisi sosialnya. Pun karena baginya masuk akal untuk mempelajari bahasa dan budaya negara lain agar lebih mudah diterima di kalangan masyarakatnya. Berkata begitu, si anak melangkah ke meja, mengaitkan tatapannya pada Yido.
Ah, Choi Yido. Anak Paman Cheol dan Paman Han, sahabat baik ibunya serta negaranya. Merekalah yang menolong ibunya mengambil alih kerajaan, membuat para Omega, seperti ibu dan adik lelakinya, bisa hidup dengan jauh lebih layak dari sebelumnya. Choi Yido yang kelewat serius, pemarah, manja dan suka merengek. Sahabat sejak kecilnya, juga—
Seringai kecil hadir di wajah sang Beta, berkebalikan dengan kernyitan sebelah alis Yido. Ada sesuatu, entah apa, yang membuatnya tidak menyukai Kwon Kibum sejak mereka kecil. Mungkin karena sifat mereka bagaikan air dan api. Mungkin juga karena perasaan mereka yang sama terhadap seorang gadis terpenting dalam hidup mereka.
—Rivalnya.
Alih-alih menyapa Yido, Kibum langsung berlutut di hadapan si gadis. Roknya yang panjang berenda hampir tersentuh sepatu sang Beta, namun Kibum terlalu lihai untuk menghindarinya. Takkan mungkin ia menodai setitik pun pakaian gadis itu. “Lama kita nggak berjumpa,” diraihnya tangan Gyuri untuk dikecupnya lembut. “Tuan putriku…”
Bila Yido mengekang feromonnya mati-matian, Kibum tidak pernah melakukannya seumur hidup. Ia Beta, bebas melanglang kemana saja, menguarkan energi serta aroma mint dan lemon samar-samar yang menyegarkan dimana pun dan kapan pun, seperti saat ini. Pipi Kim Gyuri pun memerah cantik. Tidak bisa dipungkiri, si gadis menyukai aroma Kak Kibum. Selain itu, ia suka ketika Kak Kibum memperlakukannya seolah ia wanita dewasa, bukan bocah kecil yang lebih muda enam tahun darinya.
“Kakak…,” oh, suaranya manis seperti gula. Suara yang telah lama sekali ingin Kibum dengar lagi. Jiwanya yang selalu ingin terbang bagai burung—jiwa petualang yang ia wariskan dari ayahnya tercinta—sulit untuk dikekang siapa pun, termasuk orangtuanya sendiri. Namun, bila gadis di hadapannya meminta, maka ia, di saat itu, detik itu juga, akan menanggalkan segala kebebasan yang ia punya, asalkan Gyuri bahagia. “Berdirilah. Nanti baju Kakak kotor.”
“Enggak ah,” ujung bibirnya tertarik ke atas, sengaja menggoda. “Kalo bisa mandang kamu terus kayak gini, aku di sini aja. Selamanya.”
… 🤨💢
Yeap, Yido yakin dirinya tidak akan pernah menyukai Kwon Kibum.
“Ehem,” direbutnya tangan Gyuri, sengaja menjauhkannya dari bibir Kibum. “Tolong jangan terlalu lama menyentuh tangan Omega yang belum terikat siapapun. Kau tidak ingin kubuang ke menara kan, Kak Kibum?” 💢
“Omega?” kedip-kedip 😶 “Siapa?”
Gyuri: 😶✋
Kibum: 😶
Yido: 😐💢
“EEHH??” 😲😲 “Kok bisa?? Bukannya Ri masih—” Terhenti di situ, karena Kibum spontan menutup mulutnya sendiri. “Mm, maksudku…bukannya kecepetan ya?”
Gyuri menggelengkan kepala. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia sudah menunjukkan dirinya sendiri sebagai Omega. Si Kacamata Galak bilang bahwa dibesarkan bersama seorang Alpha (Yido) dan Beta (Kibum) bisa jadi membuat Omeganya lebih cepat muncul, tapi Gyuri tidak paham betul maksud dokter itu. Seperti biasa, putri Kim Mingyu tidak terlalu ambil pusing masalah sepele begitu. Lagipula, orangtuanya tidak memaksakan salah satu gender pada Ri, maka untuk apa ia memikirkannya terlalu dalam?
“Aku sih nggak pa-pa. Emangnya itu masalah ya?” Ri mengerutkan alis dengan lucu, membuat hati Yido dan Kibum tertohok panah asmara lagi.
“T-tentu saja tidak!” Yido langsung membantah. “Aku malah se-senang karena Ri Omega. M-maksudku, kalau Ri Alpha atau Beta pun aku senang sih, bukan masalah, tapi—eh—maksudku—” Keburu wajah Yido merah padam sebelum bungkam seribu bahasa. Sulit sekali, memang, mengutarakan isi hati pada orang yang kau cintai. Ingin sekali Penulis memberi semangat pada Choi Yido. Semangat, Nak, terus kejar Ri dengan kegemesanmu ini 😇👍
Kibum terkekeh perlahan. “Nggak masalah sih kalo buatku,” disisirnya helai rambut yang jatuh ke belakang telinga Gyuri. “Apapun gender keduamu, Ri tetap tuan putri satu-satunya bagiku.”
…LANCAR BANGET GOMBALNYA, BELAJAR DARI SIAPA SIH?!
Joshua yang menonton tingkah cinta monyet segitiga itu mendengus geli. “Nggak berubah ya, mereka, tetep aja mau menangin hati putri kita—” saat Joshua menoleh, suaminya sudah hilang.
Kim Mingyu tahu-tahu sudah menggendong putrinya yang kebingungan, menjauh dari kedua pangeran itu. Yido panik, takut Paman Mingyu marah padanya dan melarangnya mendekati Ri, sedangkan Kibum tertawa lepas, menganggap kecemburuan Paman Gyu benar-benar lucu. Joshua hanya bisa menangkup dahi dan menghela napas. Ia lupa betapa posesifnya Mingyu terhadap putri mereka satu-satunya itu.
Ah, ya, kisah cinta mereka masihlah panjang~
Setelah beristirahat dengan cukup, Kwon Kibum kembali bersiap. Tuan Raja dan Kim Mingyu pun sudah mengenakan mantelnya. Karena dengan kapal biasa akan memakan waktu tiga hari, kerajaan Kwon telah mengutus kapal paling modern yang mereka punyai untuk menjemput sang raja sahabat negara mereka. Mereka hanya perlu berkereta kuda ke arah dermaga dan dalam satu jam saja, mereka akan tiba di istana Kwon.
Kibum memandang Tuan Raja dan Paman Mingyu, lalu menoleh ke arah Paman Jeonghan. “Maafkan jika saya lancang, tapi Kak Nara…?” ditelengkannya kepala. “Tugas saya selain menjemput Yang Mulia dan Paman Gyu, juga menjemput Kak Nara.”
Yoon Jeonghan, sekali lagi, menghela napas panjang. Choi Yido yang menjawab untuk ibunya. “Kak Nara tidak mau menghadiri pesta ulang tahun Kak Seongso,” jelasnya. “Kami semua sudah membujuknya, namun gagal.”
Sebelah alis Kibum mengernyit bingung, “Kenapa?”
Yido menggelengkan kepala. “Entah,” akunya. “Kak Nara bahkan mematikan radio yang menyiarkan pesta ulang tahun Kak Seongso. Mungkin—dan ini hanya dugaanku semata—mereka bertengkar akan suatu hal?”
“Hmm…”
Kibum tidak berbicara apapun setelahnya. Sang Beta hanya mengelus-elus dagunya, nampak sedang berpikir, sebelum meraih sesuatu dari saku celana. Handphone. Ia kemudian mengetik sesuatu. Seringai turut menghiasi wajah anak itu.
“—HAHH???!!!”
Tumpukan buku yang tengah dibawa Kwon Jiho pun jatuh berhamburan. Jantungnya hampir copot mendengar teriakan kakak perempuannya. Omega berusia tiga belas itu adalah orang numpang lewat di selasar, tepat di luar ruang belajar, yang tidak sengaja menjadi korban. Dilihatnya sang Alpha tengah menatap layar handphonenya dari celah pintu yang terbuka. Jiho baru mau menanyakan alasan teriakan itu ketika sebuah tangan diulurkan padanya.
“Nggak apa, kiddo?”
Paman Vernon. Spontan, wajah Jiho pun meranum bak tomat. Harum bumi sehabis hujan merasuki indra penciuman si anak, membuatnya tanpa sadar menguarkan feromon Omeganya sendiri: buah ceri berpadu dengan aroma susu dan wangi bunga Orange Blossom. Ujung hidung Vernon berkedut. Andai bisa, ia ingin tidak mengindahkan Omega muda di hadapannya itu. Bukan hanya karena anak itu bergender Omega dan masih berusia tiga belas—dua puluh dua tahun lebih muda darinya—tetapi juga karena anak itu adalah pangeran kerajaannya sendiri.
Memang, dijembatani oleh Joshua, Choi Hansol aka Vernon telah lama menjadi sahabat keluarga Kwon dan Wen. Sebagai salah satu yang terlibat dalam proses kudeta Kwon-Choi, ia mendapatkan kepercayaan serta keistimewaan perlakuan oleh keluarga kerajaan. Meski ia menolak segala kebaikan mereka dari segi finansial, tetap saja mereka mengakuinya sebagai sahabat, bahkan mungkin keluarga.
Nah, bayangkan apa reaksi Kwon dan Wen bila mereka mengetahui bahwa anak bungsu mereka tertarik pada Beta yang jauh lebih tua sepertinya.
Maka, meski anak itu jelas menyimpan perasaan pada Vernon (dan, jujur, semakin hari semakin sulit Vernon berusaha netral terhadap wangi feromonnya), sang Beta justru bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Terang-terangan memperlakukan Kwon Jiho seperti keponakannya sendiri. Vernon pun tidak segan menjalin hubungan dengan berbagai gender—Alpha, Beta, Omega. Ia tidak punya preferensi, bahkan hampir tidak memiliki tujuan hidup tersendiri. Ia menikmati waktu dalam lajunya sendiri. Salah satu penyebab utama mengapa semua pasangannya kemudian meninggalkannya.
Vernon tidak mengejar mereka. Selalu ada yang kurang dalam diri semua mantannya. Ia menyukai mereka, cukup untuk menjalin hubungan hingga tinggal bersama, tetapi bukan untuk membangun keluarga. Jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin seperti sahabatnya, Joshua, mengetahui dengan pasti “ini dia!” saat ia bertemu orang yang tepat.
Usianya tiga lima kini. Tidak bisa dibilang tua, tapi jelas tidak lagi muda. Orang seusianya telah membangun keluarga, meniti karir, memiliki satu-dua anak yang mengenyam pendidikan dasar. Sedangkan Vernon? Ia bahkan belum bertemu orang yang bisa menggetarkan hatinya.
Karena itulah, ia takut.
Kwon Jiho. Muda, ramah dan baik hati. Suaranya merdu. Tubuhnya mungil. Matanya polos dan jernih. Rambutnya selalu halus, berkilau indah di bawah sinar mentari. Pemalu. Bila dipuji, pipinya akan memerah menggemaskan. Senyumnya manis sekali. Dan feromonnya—
Vernon bukan Alpha, namun ia tergerak untuk menjadi Alpha tiap kali menghirup feromon anak itu. Takut, sangat menakutkan. Ia harus menjauh dari Kwon Jiho sesering mungkin, sebelum ia menjadi gila akannya.
Tapi, oh, Tuhan, betapa sulitnya.
Bersama, mereka mengambili buku dari lantai. Jiho tidak berani mengangkat muka karena ia merasakan tatapan Vernon padanya. Lekat, tidak lekang oleh rasa malu si anak, pun terhadap norma seharusnya.
“Oh!”
Pekikan, muncul bersamaan dengan tangan yang tertarik mendadak. Ujung jari yang tergores kertas menitikkan setetes darah. Jiho si anak kikuk. Jiho si ceroboh. Ia dulu menjadi bulan-bulanan anak para pejabat pemerintahan, terutama yang kemudian bergender Alpha, sampai Kak Seongso perlu turun tangan membersihkan kekacauan itu. Semakin merah oleh rasa malu, Jiho pun buru-buru menyembunyikan luka di tangannya.
Namun, ia kalah cepat. Pergelangan tangannya telah ditarik. Telunjuk yang mengucurkan darah telah dikulum oleh mulut yang hangat. Lidah yang bergerak perlahan pada permukaan kulitnya membuat jantung dalam dada sang Omega berdebar semakin tak karuan. Seolah…seolah jantungnya akan meledak saat itu juga, di situ, di lantai istana dikelilingi tebaran buku.
Oh Tuhan…oh Tuhan, oh Tuhan, oh Tuhan! Ap—Apa yang—!!
“P-P-Paman—!”
Terkesiap. Dua kali kerjapan mata cepat dan Choi Hansol tersadar. Ia seketika menarik keluar jari Jiho. Benang liur tipis terentang antara telunjuk sang Omega dan lidah sang Beta. Seluruh kulit Jiho merah padam. Matanya hampir berkunang-kunang. Peluhnya bercucuran. Ia begitu malu hingga tak tahu harus bereaksi bagaimana. Sebuah pemandangan yang membuat Vernon mempertanyakan banyak sekali hal dalam kepalanya.
“Sori—”
Not quite. Tbh, Vernon tidak merasa menyesal. Aneh, memang, absurd; belum pernah ia kehilangan kendali seperti barusan, tetapi hati kecilnya—serigala di dalamnya—berkata bahwa ini lah yang seharusnya ia lakukan. Ini lah hal yang benar. Melenyapkan luka dan rasa sakit dari Kwon Jiho. Membuat pipi anak itu merona senang. Menjaga senyuman agar tak pernah pudar dari wajah cantiknya.
Omeganya.
…
Oh.
Jadi ini rasanya.
Tidak mengindahkan Jiho yang salah tingkah, Vernon kemudian menarik lagi tangan sang Omega. Namun, kali ini, ia mengecup punggung tangannya, membuat Jiho semakin bingung. Ia tidak pernah menyaksikan Paman Vernon sebegini anehnya. Tentu saja ia senang karena seolah gayung, pada akhirnya, telah bersambut. Sejak bertahun-tahun lalu, ia tahu bahwa Paman Vernon lah satu-satunya orang yang ia inginkan dalam hidupnya.
Entah bagaimana, ia tahu. Mungkin ia telah mencintai Choi Hansol sejak masih dalam kandungan ibunya. Terlahir, hanya untuk menemani lelaki yang masih saja mencari seseorang untuk mengisi kesepian hatinya itu.
Ah…andai saja Jiho tahu apa yang ada dalam benak Vernon. Bahwa Beta itu bertekad untuk memendam sendiri perasaannya—menyirami kuncup yang baru berkembang dengan hati-hati—hingga sang Omega berusia delapan belas nanti. Lima tahun. Sanggupkah ia bersabar hingga lima tahun lagi? Akankah Jiho menantinya hingga lima tahun lagi? Tidak ada yang tahu pasti. Tetapi, Choi Hansol adalah lelaki yang berjalan pada lajunya sendiri. Dan, bila memang Kwon Jiho adalah jodoh baginya, maka Omega itu akan menyamakan langkah dengannya dan berjalan di sisinya, menyusuri alur kehidupan bersama-sama.
Seringai Kibum lalu berubah menjadi tawa terbahak-bahak kala melihat balasan di layar handphone, menyebabkan para audiens di aula memandangnya keheranan. Menyadari itu, sambil menyeka sebulir tangis dari sudut matanya, si anak berkata,
“Tidak apa-apa, Yang Mulia, Paman Gyu. Sepertinya ada perubahan rencana. Mari kita menunggu kira-kira satu jam terlebih dahulu.”
“Satu jam!” sang raja tersentak. “Kita akan terlambat!”
“Tidak, Yang Mulia,” di mata Gyuri, saat ini, Kak Kibum mirip seekor rubah yang tengah bersuka cita. “Tidak akan terlambat bila yang punya hajat tidak berada di sana.”
Rubah pintar yang memiliki banyak akal untuk membahagiakan semua orang.
Sisiran ke-100 dan Choi Nara menaruh sikat rambutnya. Sendiri di dalam kamarnya yang harum oleh vas-vas berisikan bunga mawar putih segar, sang Omega menghela napas dengan berat. Wajahnya yang begitu cantik nampak sedih. Ia tidak mengenakan gaun terbaiknya untuk pergi ke pesta dansa. Tidak berdandan untuk memukau Alpha—satu Alpha yang paling ia dambakan perhatiannya. Tidak. Alih-alih, sang tuan putri mengenakan gaun tidurnya. Ia bersiap untuk tidur. Mungkin, di dalam mimpi, pemikiran buruk dalam benaknya akan memudar—
“NARA!!”
Kedua matanya membelalak. Alangkah kagetnya ia ketika pintu kamar mendadak terbuka. Apalagi, dari balik pintu tersebut, berderap masuk Kwon Seongso, sang Alpha yang kerap menghantuinya hingga detik ini.
“K-Kak Seongso—”
“APA-APAAN?!” geram, sang Alpha mengeluarkan suara kencang. Bagai auman singa, menggelegar di kamar sang Omega, membuat bulu kuduk Nara berdiri. “KIBUM BILANG KALO KAMU NGGAK DATENG?! KENAPA?!”
“Kak Seongso, tenanglah dulu! Kumohon, tanggalkan suara Alphamu—”
“GIMANA AKU BISA TENANG KALO OMEGAKU BILANG DIA NGGAK MAU DATENG KE SARANGKU?!”
Choi Nara menarik napas mendadak. Wajahnya kemudian tertunduk, seolah kesusahan. Seongso memanfaatkan momen itu untuk menutup jarak di antara mereka. Bahu telanjang Nara bergetar. Sebagai reaksi alamiah, sang Alpha meraup kedua bahu tersebut, menyalurkan kehangatan tubuhnya pada sang Omega.
“…Omegamu?”
“Nara?”
“Sejak kapan aku jadi Omega Kakak?”
“Ngomong apa sih kamu—”
“KAKAK TIDAK PERNAH MELAMARKU!” sang Omega memberontak dengan seluruh tenaganya. Tangis pun menuruni pipinya. Ia menggeleng kuat-kuat, menolak sang Alpha. Wangi kayu dan asap khas feromon Seongso terasa semakin pekat oleh kegundahan, hampir-hampir mencekiknya. “KAKAK BAHKAN TIDAK PERNAH MENGHUBUNGIKU LAGI SELAMA TIGA TAHUN INI! Aku—aku selalu menanti merpati dari Kakak, berharap, seperti Omega bodoh yang menyedihkan! Tapi, semakin dan semakin sedikit korespondensi dari Kakak sampai berhenti sama sekali! Dan sekarang, apa yang kudengar seluruh negeri perbicangkan? Bahwa Kakak akan mengadakan pesta dansa untuk mencari pasangan? Bahwa Kakak akan menikah dengan Omega lain—”
Kwon Seongso bukan tipe orang yang ambil pusing. Geraknya lebih cepat dari otaknya bekerja. Kibum sering berkelakar bahwa, ketika mereka lahir, bagian otak Seongso telah diambil seluruhnya olehnya, sebagaimana ambisinya oleh Seongso. Ia yang biasa akan menjitak kepala adik kembarnya itu.
Ia yang kini sedang mencium bibir Choi Nara dalam sarang sang Omega akan mengamini pernyataan tersebut.
Semuanya terbalik. Bukan seperti ini yang ia dambakan sebagai ciuman pertamanya dengan Nara. Bukan ciuman yang terasa asin oleh air mata seperti ini. Ia ingin mencium Nara di singgasananya, di depan keluarga dan seluruh masyarakat negerinya, di pesta dansa ulang tahunnya. Ia ingin mencium Nara setelah ia berlutut di hadapan gadis itu—Omeganya, satu-satunya; pemilik hatinya sejak matanya pertama berlabuh—dan melamarnya secara resmi.
Tapi…oh, betapa bibir itu selembut dan semanis yang ia angankan dalam tiap mimpinya. Betapa mudah sang Omega meluluhkan hatinya, lagi dan lagi, hingga ia hanyalah Alpha yang mengais cintanya seumur hidup. Seongso menyusuri bibir bawah Nara dengan lidahnya dan gadis itu mengerang pelan, secara refleks membuka bibir hingga menciptakan celah untuk lidah Seongso masuk dan menyapa lidah sang Omega.
“Mmh—”
Gawat. Buru-buru, Seongso memutus ciuman mereka. Napas mereka berdua sama-sama terengah. Pandangan agak nanar oleh gairah yang mendadak berkelebat di antara mereka. Apalagi, manis madu dan harum bunga lili kian menyebar di kamar tersebut, membuat pertahanan diri Seongso amat diuji. Tangan sang Alpha bergerak untuk membenahi anak rambut yang berantakan saat Nara memberontak tadi. Ia menyisirnya ke belakang telinga Nara.
“Apa maksudmu dengan Omega lain?” tidak lagi ia menggunakan suara Alphanya. “Omegaku cuma kamu. Dari dulu.” Dengan ibu jari, dielusnya pipi mulus gadis terkasihnya itu. “Aku berniat melamarmu hari ini, malam ini, di pesta dansa. Aku mau seluruh dunia tau siapa Omega satu-satunya yang kuinginkan.”
Pemahaman merasuk, membuat bola mata Nara melebar.
“Tapi, Kibum bilang kalo kamu nggak mau dateng. Makanya, aku yang ke sini.”
Lalu, sang Alpha pun berlutut. Gaun kebesarannya yang indah pasti akan kusut masai, namun tak sedikit pun ia menghiraukannya. Tidak ada yang lebih penting selain gadis di hadapannya saat ini.
“Choi Nara,” tak ada keraguan dalam nada bicaranya. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun untuk meyakini keputusannya. Ia hanya ingin membangun keluarga bersama gadis ini. Seumur hidupnya. “Aku nggak bawa cincin karena aku langsung ke sini. Cincinnya ketinggalan di kamarku. Maaf kalo lamaran ini nggak seromantis lamaran orangtuamu.”
Seongso meringis salah tingkah. Nara terkekeh sebagai responnya.
“Tapi, seperti orangtuamu dan orangtuaku, aku ingin kita membangun keluarga bersama, hingga kita tua dan keriput nanti. Cintaku nggak pernah pudar sedikit pun sejak aku melihatmu di usia ke-enam, hanya semakin kuat setiap tahun. Dan, Tuhan, bagaimana bisa kamu makin cantik setiap aku melihatmu? Harusnya aku yang khawatir. Apakah aku Alpha yang pantas untuk meminangmu seperti ini?”
“Kak…”
Seongso lalu tersenyum, “Tapi, tentu saja, kan? Aku akan menjadi ratu di masa depan nanti, membangun negaraku menjadi jauh lebih baik lagi. Negara yang akan menjadi rumahmu dan anak-anak kita nanti. Mungkin hanya aku yang pantas untuk menjadi Alphamu. You do not deserve less, My Queen.”
Nara mendengus geli sambil memutar bola mata. Benar-benar khas Alphanya. Penuh percaya diri dan keyakinan. Alpha yang ia cintai sepenuh hati.
“Nara. Kekasihku. Omegaku,” Seongso mengecup punggung tangannya. “Maukah kamu menikah denganku?”
Senyuman sang Omega begitu indahnya. Matanya berbinar. Tangis yang tumpah adalah tangis bahagia. Rasanya jawabannya sudah jelas bukan? Sebelum Seongso sempat mendengar jawaban Nara, Omega itu telah melompat ke dalam pelukan. Gaun mereka basah oleh air mata. Dan, bagai bel kecil di gereja yang berdentang merdu, bisikan Nara di telinganya membuat sang Alpha pun ikut tersenyum lega.
“Yang Mulia, mungkin lebih baik mengecek kamar Kak Nara sekarang,” seloroh Kibum. “Kakakku itu suka telat berpikir. Bisa saja mereka saat ini malah—”
“Kibum!” Joshua menyela. Pipinya memerah. Sementara itu, Tuan Raja telah berderap ke kamar putrinya. Tentu tidak akan ia ijinkan sesuatu terjadi sebelum tali pernikahan mengikat mereka berdua!
Si anak masih terkekeh. Ketika ia berbalik, dilihatnya wajah Yido juga merona, sedangkan Gyuri menelengkan kepala, tidak paham apa-apa. Kibum tersenyum, lalu ia berlutut di depan Gyuri, lagi. Dikeluarkannya sesuatu dari sakunya: sekuntum bunga plum merah.
“Ini bunga negara Papaku,” bisiknya. Diselipkannya bunga itu ke telinga Gyuri. “Ri mau tau suatu rahasia?”
“Rahasia?” si anak berkedip-kedip.
“Mm. Aku bakal ke negara Papaku dan tinggal di sana.”
Gyuri terkejut.
“Tahun depan. Setelah pernikahan Kak Seongso, mungkin, kalo Kak Nara hari ini nggak mengusirnya,” kekeh sang Beta. Gyuri tak bisa ikut tertawa. Ia menunduk memandangi sepatu merahnya. Tak tahu harus menjawab apa. Ada rasa tak rela, namun ia tak mengetahui rasa apakah itu tepatnya. Melihat kegelisahan Kim Gyuri, Kwon Kibum hanya tersenyum maklum. “Mungkin…ini terlalu cepat. Tapi, ketika saatnya tiba, maukah kamu pergi bersamaku ke sana?”
“…Sama Kakak?”
“Mm.”
“…” Gyuri mengernyit. “…Teman berpetualang?”
Tawa Kibum pun lepas. “Yah, mungkin lebih ke arah sebagai istri—”
“STOP! STOP! STOP” Yido langsung memeluk Ri dari belakang, menjauhkan sepupunya itu dari Kwon Kibum. “APA-APAAN!?”
“Oh, hai, Sobat. Aku nggak liat kamu di situ.”
“AKU DARI TADI DI SINI?!” 💢💢💢
Kim Gyuri yang terjebak di antara adu mulut kedua anak lelaki itu pun diam seribu bahasa. Sentuhan tangan di bahunya membuatnya menoleh, menemukan wajah tersenyum ibunya.
“Mama…”
“Kenapa, Sayang?”
“Dada Ri sakit sedikit…”
Langsung, raut Joshua panik. “Kenapa? Ada apa?” serunya.
“Oh, bukan gitu, Ma. Cuma tadi…Kak Kibum bilang dia mau pergi ke negara Paman Jun, terus dada Ri sakit…gitu…”
…Ah. Rupanya putrinya memang menuju kedewasaan. Untunglah Mingyu tidak di sini, sedang membantu Jeonghan dan Seungcheol ke kamar Nara. Jika Alphanya itu mendengarnya, bisa-bisa keluar ultimatum agar Yido dan Kibum tidak menginjak rumah mereka lagi. Joshua tersenyum kembali, lalu mengelus kepala Omega kecilnya.
“Nggak apa, nanti juga Ri tau kenapa kerasa sakit pas udah lebih besar,” ujarnya. Belaian lembut tangan ibunya tak ayal menenangkan hati Ri. Joshua berjongkok agar pandangan mereka sejajar. Ujung hidung mereka bertemu dan bergesekan. “Sekarang, Ri seperti ini aja dulu. Jadi anak Mama sama Papa. Oke?”
Menghirup feromon ibunya—aroma mentega serta rempah-rempah dari kue Natal yang baru dipanggang—rasa sakit itu pun mereda. Kim Gyuri memejamkan mata dan tersenyum manis.
“Ung!”