Gyushua ABO AU Omake: Victorian AU, Mpreg, Domestic, Married Couple Problem, Comfort
“Anak?”
Joshua mengangguk. Akhir-akhir ini, bertemu untuk minum teh jam tiga bersama Myungho menjadi pengisi waktu kegemarannya, tentunya ketika Beta itu tidak sedang sibuk melayani para pasien di apoteknya. Kali ini, Joshua mengundang Myungho ke taman bunga kediaman keluarga Kim yang telah dipersiapkan oleh para pelayan sebelumnya.
Adukan gula batu yang larut dalam teh berpotongan lemon dan berkelopak bunga menyita fokus sang Omega. “Aku mikir apa udah saatnya ya aku ngasih Mingyu anak…?” ucapnya, setengah berbisik karena ia tidak ingin didengar siapapun selain sahabatnya itu. “Kami udah nikah 5 tahun. Mungkin udah waktunya…?”
“Oh? Kenapa tiba-tiba?” mengangkat sebelah alis, sang Beta bertanya. Sebuah gestur khas Seo Myungho bila ingin mengorek informasi lebih dalam dari Joshua secara halus.
“Emm…,” sejenak, ia berkontemplasi. “…Dia akhir-akhir ini kalo ngeliat bayi atau anak kecil, pandangannya tuh kayak pengeeeenn banget… Bikin aku jadi mikir…,” pengakuan datang sebelum Joshua buru-buru menyeruput cangkirnya.
Myungho kemudian tersenyum. “Bagaimana dengan dirimu? Apakah kau sudah siap memiliki anak?” tanya sang Beta. Setelah bertahun-tahun mengenal, tentu mereka kini sudah cukup akrab untuk menanggalkan formalitas dalam sapaan. “Kalian akan memiliki anak ini bersama. Tidak bisa kalau hanya Tuan Kim yang menginginkannya.”
Joshua tetap bungkam. Ia tak tahu harus menjawab apa, karena Myungho telah mengutarakan kegelisahan utamanya. Mingyu memang tidak pernah sekali pun memaksanya untuk mulai memikirkan anak, bahkan meminta pun tidak. Alphanya itu tidak ingin memaksakan kehendaknya dan membuat suaminya tidak nyaman. Ia hanya menanti dalam ketenangan sampai Joshua, suatu hari nanti, yang akan datang padanya.
Yang mana, dengan sendirinya, merupakan beban bagi sang Omega, meski Mingyu mungkin tidak menyadarinya.
Bingung harus menjawab apa, Joshua mengangkat cangkir (lagi) dan meneguk isinya perlahan. Myungho, paham betul akan sahabatnya kini, ikut meminum tehnya. Dipejamkannya mata dengan tenang. Joshua tidak perlu ditekan. Ia akan berbicara ketika ia ingin bicara.
Benar saja. Beberapa saat kemudian, sang Omega pun angkat bicara, meski bahasannya bukanlah yang diharapkan oleh Myungho.
“Kalo kamu, apa nggak kepingin punya anak, Myungho?”
Tentu saja sang Beta terhenyak mendengarnya. Melihat reaksi sahabatnya, Joshua lantas menambahkan.
“Eh, sori, aku nggak bermaksud—sori—”
Myungho segera mengibaskan tangannya, meminta Joshua untuk tidak terlalu memikirkan masalah sepele begitu. Toh, itu bukan suatu hal yang tabu untuk ditanyakan bila niatnya murni bertanya.
“Bukannya tidak ingin,” mulai sang Beta. Ditaruhnya lagi cangkir ke tatakan. “Setahun setelah kami menikah, aku menanyakan hal itu pada Wonwoo.”
“Terus?”
“Dia balas bertanya padaku. Bagaimana denganmu, katanya. Apa aku mau punya anak?”
Joshua menatapnya.
“Aku katakan padanya, meski aku ingin mengandung anaknya, aku tidak akan pernah bisa memberinya anak.”
Hening. Tubuh Beta lelaki memang tidak diciptakan untuk mengandung bayi, berbeda dengan tubuh Omega. Mereka berdua tahu fakta tersebut, namun tetap saja menyesakkan bila diutarakan.
“Aku juga katakan padanya kalau dia ingin memiliki anak, kita bisa menemukan Omega atau Beta wanita untuk mengandungnya,” dilihatnya keterkejutan nyata di paras Joshua. Sungguh ia tidak mengira bahwa Myungho akan berpikir sampai ke sana, bahkan menawarkan opsi itu pada suaminya. Sang Beta hanya tersenyum simpul.
“Terus?” alisnya menukik. Penasaran. “Reaksi Dokter apa?”
Myungho menopang dagunya dengan sebelah tangan sambil menghela napas. “Wonwoo bilang kalau dia hanya ingin memiliki anak asalkan anak itu berasal dariku,” makin terkejut lah paras sang Omega, membuat Myungho tak kuasa menahan tawanya. Lantunan manis terlantun mirip kikikan peri hutan. “Kalau anak itu tidak keluar dari rahimku maka dia tidak menginginkannya.”
“Tapi kamu kan nggak punya…”
“Benar,” ia menyetujui. “Maksud dia memang begitu.”
Joshua menutup mulutnya yang membuka dengan tangan kanan.
“Baginya, anak bukanlah segalanya. Bagiku pun begitu. Kami bahagia berdua seperti ini. Dan itu sudah cukup.”
Ia memandang Myungho dengan takjub. Di negara dimana memiliki keturunan masih dipandang sebagai sebuah pencapaian, dimana nilai Omega diukur dari kemungkinan mereka bisa mengandung bayi Alpha, pandangan sang sahabat dan suaminya itu sungguh progresif. Sang Omega lalu menunduk, dengan perlahan mengelus perutnya yang rata. Myungho dan Dokter Jeon mungkin tidak terlalu ambil pusing soal keturunan. Tapi, rumah tangga Joshua dan Mingyu berbeda.
Mingyu jelas menginginkan anak. Joshua pun…setelah lima tahun berlalu, ketakutannya untuk mengandung terkikis secara perlahan tapi pasti. Rasanya…rasanya, jika ia bisa melihat Mingyu menitikkan tangis bahagia kala menggendong bayi mereka untuk pertama kalinya, rasa sakit sebagaimana hebatnya pun ia rela derita…
Apakah membangun rumah tangga itu memang seperti ini?
Mengorbankan sesuatu untuk membuat pasangan kita bahagia?
Nah kan. Pikirannya mulai melantur lagi.
“Joshua.”
Akan panggilan sahabatnya, sang Omega mendongak.
“Bicaralah pada suamimu,” Myungho menangkup tangan Joshua di atas meja, kemudian ditepuk-tepuknya lembut. “Aku baru mengetahui pandangan Wonwoo mengenai anak setelah kami bicara. Tadinya aku juga gelisah sepertimu. Tidurku tidak tenang, berpikir kalau aku mengecewakan suamiku karena tidak bisa memberinya anak. Rupanya, dia tidak memedulikan hal itu sama sekali dan kecemasanku sia-sia belaka.”
Ia tertawa. Joshua merapatkan bibirnya.
“Bicarakanlah, Joshua. Aku yakin Tuan Kim akan menanggapinya dengan bijak, sebagaimana dia biasanya.”
Sang Omega membiarkan Myungho menepuk-nepuk lagi tangannya.
“…Kadang-kadang, aku mau dia lebih egois dan menuntut sesuatu dariku, Myungho,” bisik Joshua. “Kenapa sih Mingyu jadi Alpha kok terlalu baik…”
Seo Myungho lalu menyunggingkan cengiran, “Tapi, kalau Tuan Kim adalah Alpha egois yang suka menuntut, apakah kau akan menikah dengannya?”
Yang Joshua balas dengan cengiran juga,
“Hell no.”
“Gyu?”
(“Ya, Sayang?”)
“Kamu pulang jam berapa hari ini?”
(“Sebentar—sepertinya aku akan pulang agak malaman. Kak Cheol meminta waktuku untuk berdiskusi sebentar. Ada apakah?”)
“Mm… tapi malem banget nggak?”
(“Tidak. Paling lama kemungkinan satu jam. Apakah ada sesuatu yang terjadi, Sayang?”)
“Nggak kok. Cuma, pas kamu pulang nanti, aku mau ngomong.”
(“Soal…?”)
“Mm… Nanti aja pas kamu pulang. Betewe, aku tadi coba-coba bikin baked cheesecake, kamu harus cobain pokoknya—”