Wonhao from Gyushua ABO AU Omake: Victorian AU, ABO, Underage, Huge Age Gap, Murder, Blood, Death, Slight Gore, Mentioned Incestous Rape, From: Me by NIve
Seo Myungho berusia sebelas kala ia mengeluarkan kepala melalui celah jendela lantai dua untuk melihat ada ribut-ribut apa di rumah sebelahnya. Selayang pandang, sebuah kereta kuda telah berhenti di depan 17 Jalan St. John, rumah dua tingkat bermodel sama persis dengan rumahnya sendiri yang lantai duanya telah kosong selama enam bulan lamanya. Penyewa sebelumnya, seorang gadis Beta, memutuskan untuk meninggalkan pendidikan dan rumah itu karena menemukan dirinya tengah mengandung seorang anak. Ia mengepak kopernya dan pergi begitu saja, melunasi pembayaran dalam amplop putih kecil di meja kopi. Myungho teringat betapa ramahnya senyuman gadis itu.
Si anak menangkap bahwa ada perpindahan terjadi. Ribut-ribut yang ia dengar adalah bunyi gaduh dari kusir kereta kuda dengan seorang anak lelaki usia remaja yang tengah mengangkuti bagasi dari kereta menaiki tangga menuju lantai atas. Satu orang lelaki lagi tengah bercakap-cakap dengan Nyonya Im, pemilik rumah, dan ibunya.
Uh-oh. Myungho perlu memasukkan kembali kepalanya sebelum ibunya memanggil namanya—
“Myungho~!”
—terlambat.
Mau tak mau, si anak kembali memunculkan wajahnya.
“Turunlah, Nak, dan temui tetangga baru kita!”
Nah, Seo Myungho bisa apa selain menuruti kehendak (baca: perintah) ibunya?
Lelaki yang diperkenalkan padanya bernama Jeon Wonwoo. Ia tinggi, dengan proporsi kaki lebih panjang dari tubuhnya, berkacamata dan berpakaian rapi seperti orang dewasa membosankan lainnya. Ia berusia 23 dan tengah mengenyam pendidikan di universitas terdekat. Kening Myungho berkerut ketika Jeon Wonwoo memberitahunya bidang yang ia pelajari.
“Dokter itu…yang suka nyuntik anak-anak itu ya?” tuduhnya, masih dengan kening berkerut.
Si lelaki mengerjapkan mata, sementara ibu Myungho mendecak kesal atas ketidaksopanan anaknya. Jeon Wonwoo kemudian tertawa kecil.
“Tidak, tidak, Nyonya, anak Anda benar,” si lelaki berjongkok agar mata mereka sejajar pandangannya. “Maafkan aku, Nak. Tapi aku melakukannya bukan karena suka. Tahukah kau mengapa aku menyuntiki anak-anak?”
Dengan jujur, Myungho menggelengkan kepala hingga helai rambut hitamnya melayang.
Senyuman Jeon Wonwoo semakin lebar. Ia mengambil sebuah buku tebal bersampulkan kulit binatang dari dalam tas di tangannya, lalu membuka sebuah halaman tertentu. Dengan gestur tangan, dipanggilnya si anak agar mendekat. Meski ragu, Myungho pun menurut.
Di sana, di pinggir jalan perumahan deret mereka, Jeon Wonwoo muda menjelaskan pada Seo Myungho kecil bagaimana sebuah virus bisa memasuki tubuh manusia dan bagaimana penyuntikan yang ia lakukan bisa mencegah mereka jatuh sakit sejak awal. Myungho mendengarkan semua itu dengan setengah tertarik, setengah tak paham.
Tapi, yang anak itu tahu, bahwa kedua mata lelaki di hadapannya itu bersinar cerah seperti sedang menceritakan mainan favoritnya.
Orang aneh, batin si anak.
Tiga tahun kemudian, banyak hal yang terjadi. Jeon Wonwoo berhasil lulus dari perguruan tinggi dan mendedikasikan dirinya pada penelitian medis. Terlalu canggung dan tidak yakin akan kemampuan dirinya untuk menghadapi pasien, ia memilih untuk terus belajar. Ia merasa riset adalah panggilan hidupnya; menemukan cara mengatasi bibit penyakit yang selalu berkembang, mencari campuran yang lebih efektif untuk mengatasi berbagai macam keluhan orang-orang di sekitarnya, dan sejenis itu.
Tidak perlu waktu lama bagi Seo Myungho untuk mulai mempelajari cara meracik obat-obatan dari Jeon Wonwoo. Berusia 14 kini dan mulai menonjolkan kesegaran usia remajanya, anak itu naik-turun rumah Nyonya Im menuju kamar sewaan Jeon Wonwoo, menyapa wanita itu setiap kali ia melintas. Nyonya Im yang menyayangi Myungho seperti putranya sendiri akan balas menyahut dari dalam rumah. Bila Nyonya Im menghentikannya di tangga, Myungho akan menyisihkan waktu untuk bercakap-cakap dengannya.
Setelah ia terlepas dari wanita Beta tua tersebut, Myungho akan mengetuk pintu kamar Jeon Wonwoo. Delapan kali, sesuai angka kegemarannya. Biasanya, Myungho akan menemukan lelaki itu memusatkan fokusnya pada apapun penelitian yang tengah ia tekuni. Terkadang ujung hidungnya akan menyuruk, hampir menghilang, di antara tumpukan buku medis. Di lain kesempatan, Wonwoo hampir meledakkan kamarnya karena salah menitikkan bahan kimiawi.
Hari ini, kamar itu kosong, maka Myungho mempersilakan dirinya sendiri masuk seperti yang sudah-sudah.
Beberapa hari ini, Wonwoo sedang senang-senangnya berkutat dengan kamera. Benda berharga itu ia beli dengan uang hasil tabungannya sebagai asisten kepala peneliti di universitas tempatnya bekerja sekarang, universitas yang sama dimana ia menimba ilmu sebelumnya. Ia memotret apapun yang menarik minatnya. Myungho hanya mengernyit melihat foto-foto yang diambil Wonwoo tergantung dengan capit pada tali yang direntangkan di ruangan yang kecil itu: berbagai potongan tubuh manusia yang masih berdarah-darah, mulai dari telinga hingga jari-jemari yang telah putus dari tangan. Wonwoo memang bercerita padanya (dengan riang gembira, jika ia boleh menambahkan) bahwa universitas mereka kedatangan tubuh segar hasil sumbangan rumah sakit dan rumah duka. Tubuh ini tidak ada cacat sama sekali. Bukan hasil kecelakaan, masih bagus dan masih menyenangkan untuk dijadikan bahan penelitian.
Myungho tidak akan pernah bisa memahami kegemaran Wonwoo akan apapun yang morbid, namun ia telah menerima fakta tersebut jauh sebelum ia menemukan foto-foto tersebut.
Pintu terbuka. Wonwoo kemudian masuk ke dalam kamarnya.
“Oh, Myungho. Kau di sini,” sapanya.
Namun, anehnya, Wonwoo tampak gelisah. Senyuman yang hampir terkembang di wajah Myungho pun surut seketika.
“Dokter,” begitulah panggilan Myungho padanya semenjak Wonwoo resmi menyandang gelarnya. Bagaimanapun, ‘Tuan Jeon’ terdengar terlalu formal bagi mereka. “Ada apa?”
“Apakah ibumu tahu kau di sini?”
Myungho menelengkan kepala, jelas bingung. “Aku selalu di sini setiap hari,” jawabnya. Dan memang benar seperti itu adanya.
“…,” Wonwoo menaikkan kacamatanya. “Aku ingin kau tidak bermain terlalu jauh. Begitu sekolah selesai, pulanglah. Akhir-akhir ini, kota sedang tidak begitu baik.”
Si anak jelas tidak mengerti, “Dokter mengusirku?”
Wonwoo berkedip satu kali, “Apa aku kelihatan seperti sedang mengusirmu?”
Ketika Myungho mengangguk, Wonwoo menggaruk bagian belakang kepalanya. Ia menaikkan lagi bagian tengah gagang kacamatanya—gestur khasnya saat salah tingkah—sambil mendecak. “Aku tidak mengusirmu dari sini. Aku hanya ingin kau lebih hati-hati,” kemudian, ia melirik ke arah foto-foto yang sedang dikeringkan itu. Refleks, Myungho mengikuti arah pandangnya. “Apa kau tahu itu foto apa?”
“Bahan risetmu?” kernyit Myungho.
“Bukan,” jelas Wonwoo. “Itu mayat yang ditemukan polisi di Timur Kota. Mereka menemukannya dini hari ini dan aku baru saja pulang dari sana untuk memberikan laporan.”
“Dokter dipanggil polisi?”
“Mereka membawa mayat itu ke universitas kami. Aku hanya memaparkan hasil autopsi kami,” merenggangkan dasi cravat-nya, Wonwoo menghempaskan tubuh ke kursi malas kecil di sudut kamar. “Itu tubuh anak-anak. Usia 14-15 tahun. Beta lelaki.”
Wonwoo menatap Myungho tepat di mata.
“Seperti dirimu.”
Seo Myungho mengerjap sekali, dua kali. Lalu, ia berjalan mendekati Wonwoo, berhenti tepat di depan lelaki itu dan berjongkok di hadapannya.
“Dokter pikir aku bisa saja jadi mayat itu?”
Beta yang lebih tua itu tidak menjawab.
Myungho kemudian menyengir lebar.
“Aku tidak akan mati semudah itu, Dokter.”
Wonwoo berdecak. “Bocah,” dengan gemas, disentilnya kening Myungho hingga si anak mengaduh kesakitan. “Tunggu sampai kau dewasa lalu lihatlah dunia baik-baik. Realita tidak seindah persepsimu sekarang ini.”
“Kalau aku dewasa, kurasa dunia akan tetap indah kok,” sambil mengusap keningnya yang memerah, ringisan Myungho kembali terpateri di wajah. “Soalnya aku akan melihatnya bersamamu.”
Bila Jeon Wonwoo terkejut, maka ia tidak menunjukkannya sedikit pun. Ia hanya balas menatap Myungho untuk beberapa saat, sebelum membuang muka dan mendengus. Sisa hari itu mereka habiskan dengan berdiskusi bagaimana meracik ramuan untuk mengatasi sakit kepala yang rasanya tidak terlalu pahit untuk ibu Myungho, lalu anak itu pamit pulang ke rumahnya.
“Selamat siang.”
“Oh, selamat siang, Dokter.”
Jeon Wonwoo menarik sedikit topinya untuk menutupi rona merah di pipi. “Tolong jangan memanggil saya seperti itu. Saya bukan seorang dokter,” ucapnya. “Saya tidak mengobati pasien untuk pantas dipanggil begitu.”
“Bicara apa Anda ini?!” ibu Myungho tertawa terbahak-bahak. “Anda lulus dari sekolah kedokteran. Anda bekerja di tempat yang sama. Jika Anda bukan dokter, saya tak tahu harus menyebut Anda apa.”
Sebelum Wonwoo sempat membuka mulut untuk menyanggah, pintu rumah keluarga Seo membuka. Darinya, keluarlah Myungho. Anak itu lebih bersih daripada biasanya. Pakaiannya lebih apik. Kulitnya yang putih nampak halus tak bercela. Matanya yang besar pun berkilauan. Bibirnya, yang ranum dan memerah, tergigit oleh geligi atasnya…
Jeon Wonwoo mengerjap cepat dua kali, kemudian menggelengkan kepala.
Berpikir apa dirinya barusan terhadap anak itu…? Sadarlah, Jeon Wonwoo!
“Dokter.”
Suaranya. Semanis madu leleh dibalur pada permukaan roti bakar pagi. Ada seutas urat jantung yang berkedut di dalam dada si lelaki Beta, namun ia berusaha tidak menghiraukannya.
“Sudah siap?” tanyanya.
Si anak lalu mengangguk.
“Maafkan saya karena meminjamnya dari Anda untuk menemani saya berbelanja, Nyonya,” Wonwoo kembali menghadap wanita Beta itu. “Saya akan mengembalikannya pada Anda sebelum jam makan malam.”
Nyonya Seo pun terkikik, berkebalikan dengan putranya yang memanyunkan bibir, kesal karena diperbincangkan seolah ia barang yang bisa dipindahtangankan begitu saja. Ia masih memanyunkan bibir bahkan ketika mereka melambaikan tangan ke arah Nyonya Seo dan berjalan menyusuri trotoar menuju ke pusat kota.
Menggemaskan sekali.
“Apa sudah semua, Dokter?”
“Sebentar,” Wonwoo mengelus dagunya sambil mengingat-ingat. Setelah mengecek lagi belanjaan mereka—berbagai kebutuhan risetnya, tepatnya—sang Beta menyatakan bahwa tugas mereka selesai sudah.
“Oh. Aku perlu membeli sedikit arsenik,” ucap Myungho saat mereka melewati sebuah apotek. Wonwoo menemani Myungho sampai ke depan konter.
“Untuk ibumu?”
“Mm,” sesuai prosedur, Myungho mencatat namanya di buku. Ia membeli hanya sedikit saja sesuai keperluan. “Tikus di rumahku mulai membuatnya frustrasi.”
“Hmm,” mereka segera kembali ke jalan setelah transaksi selesai. “Simpan dengan hati-hati. Jangan sampai terjilat olehmu.”
Myungho diam-diam memutar bola matanya. “Karena aku bisa mati?” seloroh si anak.
“Sudah banyak jenasah yang kutemukan dari hasil peracunan arsenik,” Wonwoo mendecak. “Kalau kau bekerja dekat dengan kematian, kau akan menyadari betapa keji dunia ini.”
“Menurutku, Dokter,” potong Myungho. “Dokter terlalu dekat dengan kematian.”
Pernyataan itu membuatnya menoleh, menemukan si anak meringis menatapnya.
“Kurasa Dokter perlu sentuhan kehidupan sesekali. Setiap hari melihat orang mati…pandangan siapapun akan menjadi kelam,” si anak tertawa. Pipinya yang muda dan segar memerah cerah. “Nikmatilah dunia ini seperti apa adanya, Dokter. Bukankah dunia kita masih indah?”
Seo Myungho penuh dengan vitalitas. Penuh dengan positifitas dan keceriaan. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Jeon Wonwoo. Kepribadian yang teramat kontras.
“Suatu hari, ketika aku sudah lebih besar, aku akan menculik Dokter dan membawamu melihat tempat-tempat yang indah,” ia meneruskan ocehannya dalam kebungkaman sang Beta yang lebih tua. “Kami sekeluarga bulan lalu mengunjungi pantai. Apakah Dokter pernah ke pantai?”
Perlahan, Jeon Wonwoo menggeleng. “Di sini tidak ada pantai,” ia mengujarkan fakta.
“Benar, di sini,” mata si anak berkilau. “Tapi di desa jauh dari sini, ada. Dokter tidak akan pernah merasakan pasir di telapak kaki kalau Dokter tidak bepergian sedikit lebih jauh.
Lebih bagus dari pantai, ada pegunungan yang asri kalau kita pergi lebih jauh lagi. Pohonnya rimbun, udaranya segar dan bunganya cantik. Aku lebih suka gunung daripada pantai. Menyeduh teh hangat di tengah kedamaian yang menenangkan…”
“Kau terdengar seperti kakek-kakek saja,” dengusan geli meluncur dari hidung Wonwoo.
“Ah, ayahku juga bilang begitu!” Myungho pun merona. “Tapi…aku rasa Dokter akan menyukainya. Bayangkan, membaca buku di buaian jaring, di bawah bayangan pohon, dengan angin sejuk berhembus dan segarnya udara…”
Wonwoo hampir bisa merasakannya. Hampir bisa menghirupnya. Imajinasinya membawanya ke situasi yang dijabarkan Myungho, kemudian berlanjut ke dirinya yang dipanggil Myungho untuk makan siang, namun karena ia masih memejamkan mata, kekasihnya itu terkekeh sebelum mengecupnya di bibir agar terbangun—
—tunggu dulu.
Di saat itulah, Jeon Wonwoo lantas tersadar. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat sambil memejamkan mata.
Kekasih?! Baik, kau sudah benar-benar gila, Jeon Wonwoo!
“Dokter?” melihat tingkah laku si lelaki, Myungho menelengkan kepala bingung. “Ada apa?”
“Tidak…tidak ada apa-apa,” akunya cepat. “Sepertinya aku agak lelah bekerja.”
“Aahh, tuh, betul kan!” Myungho semakin mendekat hingga sisi tubuh mereka bertemu. Dalam jarak sedekat ini, samar wangi hutan pinus merebak memasuki indra penciumannya. “Nanti pas pulang, aku akan membuatkan Dokter teh dan sup. Tidak ada yang tidak bisa disembuhkan oleh sup sayuran dan teh lemon hangat~”
Anak itu tertawa sambil merangkul lengan sang Beta. Wonwoo seharusnya menjauhkan diri, seharusnya menepis tangan itu, karena tidaklah pantas mereka berlaku seperti ini di publik.
Tapi, Jeon Wonwoo tidak mau.
Maka, ia biarkan mereka seperti ini, berjalan bersisian bagai kekasih di tengah hari bolong, tak memedulikan tatap mata orang-orang di sekitar mereka.
Hari-hari berlalu dan Jeon Wonwoo semakin kacau oleh pemikirannya. Bagaimana tidak? Ia mulai melihat Seo Myungho dengan kacamata yang berbeda.
Setiap hari, anak itu bertumbuh semakin indah, baik perawakan maupun perilaku. Sifatnya yang kontras terhadap Wonwoo justru mengkomplementer dengan baik sekali. Pembicaraan mereka mengalir alamiah. Meski Myungho jelas bukan rekan seprofesinya dan banyak tidak mengetahui istilah medis, anak itu menunjukkan minat murni untuk belajar. Ia mau mendengarkan penjelasan Wonwoo dan, kemudian, mengutarakan pendapatnya sendiri. Jeon Wonwoo menghargai itu. Ia menghargai partner bertukar pikiran yang aktif berjalan dua arah.
Myungho sendiri tidak segan menggandeng tangan Wonwoo untuk ikut masuk ke dalam dunianya. Sesuai janji, ia membawa Wonwoo menikmati sedikit demi sedikit keindahan dunia, jauh dari kemuraman kematian yang menjadi makanan sehari-hari lelaki itu. Myungho membawanya mencoba kue potong kreasi terbaru yang digembar-gemborkan warga akhir-akhir ini. Ia mengajak Wonwoo menaiki kuda di taman kota sambil bercerita bahwa ada bukit kecil di belakang sebuah kediaman megah tak jauh dari sini. Bahkan saat mereka meracik ramuan bersama di kamar sewaan Wonwoo, Myungho kerap menyenandungkan irama asing, yang kemudian berakhir dengan si anak mengajarinya irama tersebut.
Seo Myungho menunjukkan sinar matahari pada malam abadi Jeon Wonwoo.
Tidak bisa dipungkiri, ia jatuh hati pada anak itu. Anak kecil yang, perlahan tapi pasti, memasuki rongga dadanya dan menetap di sana. Tanpa sadar, sentuhannya pada Myungho mulai tidak wajar. Ia mengacak rambut anak itu terlalu lama. Menepuk bahunya terlalu lembut dan, lebih sering daripada tidak, malah menariknya ke dalam pelukan lemah. Myungho menyukai itu semua—ia tahu dari reaksi si anak—tapi hal-hal yang ia lakukan sejujurnya tidaklah pantas secara norma masyarakat.
Terhadap anak di bawah umur. Terhadap Beta yang tidak terikat. Jeon Wonwoo bisa ditangkap.
Maka, ia memutuskan untuk menghentikan ini semua. Sebuah obrolan ambigu dengan rekan kerjanya di universitas memberikannya informasi berupa alamat sebuah penginapan yang dikhususkan untuk melepas nafsu. “Mereka profesional dan berlisensi. Bersih,” bisik lelaki Alpha itu. “Biasanya Alpha dan Omega yang menggunakan jasa mereka, tapi mereka takkan menolak Beta. Kurasa ini satu-satunya cara agar Anda bisa menahan diri dari kemungkinan menyakiti orang yang Anda kasihi itu.”
Jeon Wonwoo bergumam tidak jelas sebagai ucapan terima kasihnya.
“Tapi saya hanya ragu akan satu hal.”
Ia lalu mendongak menatap si lelaki Alpha.
“Tidakkah hati orang itu akan hancur kalau mengetahui Anda menggunakan jasa seperti ini? Alpha dan Omega memiliki siklus yang, terkadang, berbahaya bagi kami bila dilewati sendirian. Apa boleh buat. Namun Beta seperti Anda tidak punya alasan. Kenapa Anda tidak meminangnya saja?”
Sesaat, Wonwoo terdiam. Lalu, ia menjawab, “Saya tidak bisa.”
“Anda takut dia akan menolak Anda?”
“Justru dia tidak akan menolak saya dan itu membuat saya takut,” melihat ketidak pahaman pada sorot mata rekannya, Wonwoo menaikkan bagian tengah kacamatanya dan menambahkan. “Dia belum 18.”
Rekannya terperangah, “Dokter Jeon! Anda bisa ditangkap! “
“Saya tahu. Makanya, saya mencari cara agar saya bisa terlepas dari ini semua. Mungkin jika saya sudah…dan setelahnya, saya bisa menemukan kekasih…
…Saya tidak ingin menyakitinya. Dia terlalu berharga bagi saya.”
Hening.
Rekannya kemudian berkata, “Baiklah. Saya yakin Anda bisa mengambil jalan yang terbaik bagi Anda dan orang yang Anda kasihi itu. Tapi, bila Anda membuat runyam semua, maka saya tidak akan ragu untuk melaporkan Anda.”
Meski seharusnya Wonwoo merasa terancam, ia justru lega. “Tolong,” ucapnya. “Dan terima kasih, Dokter Kang.”
Malam menutupi dunia dengan tabirnya yang pekat. Para petugas menyalakan lampu-lampu di sepanjang jalan. Hiburan malam mulai beraktivitas, menggantikan toko daging dan toko kelontong yang kini sunyi sepi. Mereka yang sudah berkeluarga tengah menyantap makan malam bersama-sama di meja. Mereka yang masih lajang berjalan ke tempat-tempat hiburan tersebut bagai ngengat terhadap api.
Adalah Jeon Wonwoo—dalam balutan jubah hitam—berjalan perlahan menyusuri kegelapan malam. Ia melewati dua orang pemabuk yang terlalu sibuk bernyanyi dan tertawa. Seorang wanita Beta berpakaian seronok menjajakan diri padanya, yang segera ia tolak dengan sopan. Bagian Timur Kota memang sisi kelam kota indah di bawah kuasa Tuan Raja Choi yang adil bijaksana. Meskipun kondisinya saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika raja terdahulu yang lalim memegang takhta, warga yang teramat miskin dan tidak memiliki sumber penghasilan layak tetap berkeliaran di bagian kota ini, mencari sekeping dua keping koin untuk mengisi perut mereka dan keluarga mereka. Jeon Wonwoo berkontemplasi sejenak sebelum berbalik badan dan memberikan selembar uang pada wanita Beta itu. Jumlah yang cukup untuk membeli roti, ikan dan keju untuk tiga hari ke depan. Terharu, wanita itu berkali-kali berterima kasih pada Wonwoo yang segera melanjutkan perjalanannya.
Tidak butuh waktu lama, Jeon Wonwoo sudah mencapai jalanan yang menjadi tujuannya. Tinggal berbelok di sudut situ dan—
“Dokter…”
Terperanjat adalah degradasi reaksinya saat ini. Dengan cepat, Wonwoo berbalik, mengenal betul suara siapakah gerangan.
“Myungho…,” ia hampir tidak bisa mendengar ucapannya sendiri karena debaran jantungnya begitu nyaring pada gendang telinganya. “Apa yang kau lakukan di sini…?”
“Apa yang Dokter lakukan di sini?” anak itu malah balas menjawab. “Kenapa Dokter pergi ke…”
Anak itu mengangkat pandangan, membaca plakat kecil yang tertempel di sana. Sebuah pemahaman memasuki benaknya. Lalu, ia menatap Wonwoo. Tatapan yang membuat jantung Wonwoo berdenyut lagi, namun penuh rasa nyeri kali ini. Myungho nampak terluka.
“Myungho—”
Terlambat. Anak itu keburu berlari, menerjang gelapnya Timur Kota. Jeon Wonwoo meragukan dirinya apakah ia pantas mengejar anak itu. Ketika ia masih ditelan dilema, pintu kediaman itu tiba-tiba terbuka. “Oh. Apakah anak lelaki itu tidak Anda kejar, Tuan?” saat Wonwoo menoleh, seorang wanita Omega dengan rambut terurai indah berdiri di ambang pintu. Dua orang wanita lain dan seorang lelaki mengintip dari balik tubuh wanita itu.
“Ah, s-saya…”
“Saran saya agar Anda mengejarnya, Tuan. Daerah ini sedang tidak begitu aman untuk anak seumurannya,” paras wanita itu murni cemas. Ia menyentuh pipinya sendiri. “Beberapa waktu lalu, ada kasus kematian sekitar sini.”
“Benar. Mengerikan sekali…,” komentar yang lain.
“Mereka belum juga menangkap pelakunya. Akan jadi bagaimana bisnis kita ini…”
Kembali, dentuman jantung mengisi seluruh tubuh Jeon Wonwoo. Timur Kota. Benar. Potongan mayat yang ia autopsi bersama timnya. Beta lelaki seusia Myungho.
Seolah jantungnya melorot hingga ke ulu hati. Sedetik kemudian, ia langsung bertolak mengejar Myungho, menanggalkan kesopan santunannya untuk pamit terlebih dahulu pada mereka-mereka yang telah menegurnya. Ia hanya berteriak, “Hubungi polisi! Bilang pada mereka, Dokter Jeon yang meminta!” sebelum ikut menghilang dalam kegelapan.
Seo Myungho berlari. Ia terus berlari tanpa memedulikan angin dingin bagian kota yang teramat sepi. Tanpa memedulikan bulir air mata yang berterbangan sambil lalu. Hatinya sakit. Sakit sekali. Ia sendiri yang paling tahu bahwa dirinya masih anak kecil dibandingkan dengan Jeon Wonwoo, namun ia tidak ingin lelaki itu menjadi milik orang lain. Tidak sudi dirinya membayangkan Wonwoo memeluk orang lain dalam tidurnya.
Ia ingin dirinya yang menjadi orang itu bagi Wonwoo.
Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Seo Myungho hanyalah anak kecil. Tak bisa dibandingkan dengan wanita dan pria dewasa yang bisa dengan mudah mengambil Wonwoo darinya.
Ia berlari sampai hampir kehabisan napas. Tidak tahan lagi, anak itu berhenti. Tubuhnya bersandar ke tembok bata merah yang sudah bolong di sini dan di sana. Berusaha menarik napas, ia sekaligus mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Pandangannya kabur. Dikuceknya mata, mengembalikan fokus secara perlahan.
“Selamat malam, Nak.”
Terkejut, anak itu spontan berbalik. Ada seseorang…yang aneh. Entah bagaimana Myungho harus menjelaskannya. Orang itu memancarkan aura tidak menyenangkan. Sesuatu dalam diri Myungho menyala. Sirene berbunyi nyaring, menggaungkan tanda bahaya ke seluruh nadi dalam tubuhnya. Myungho beranjak mundur sedikit, namun orang itu pun melangkah maju selangkah.
“Ah, ah. Jangan takut. Aku bukan orang jahat,” senyuman orang itu manis, menambah kengerian yang Myungho rasakan. Bulu kuduk di tengkuknya berdiri, begitupun di sekujur lengan dan kaki. Digigitnya bibir bawah.
“T-Tuan, tolong jangan sakiti aku…”
“Nah, siapakah yang berniat begitu, Anak Manis?” senyuman si lelaki melebar, bagai iblis yang lepas dari neraka ketujuh. “Bukankah sudah kubilang kalau aku bukan orang jahat? Aku hanya ingin bermain sedikit denganmu. Anak lelakiku kabur dariku bulan lalu, padahal aku sudah berbaik hati membesarkan anak itu setelah ditinggal mati ibunya. Aku hanya memintanya menemaniku tiap malam sebagai bayarannya, tapi anak tak tahu terima kasih itu malah melarikan diri! Anak sundal keparat!”
Myungho tersentak kaget. Ia ketakutan bukan main. Di sekitarnya tidak ada manusia satu pun. Ia benar-benar sendirian. Pun, ia ragu seseorang akan berusaha menolongnya di bagian kota yang ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa semua yang menetap di Timur Kota sebisa mungkin tidak ingin terlibat dengan penegak hukum, sehingga kebanyakan dari mereka menutup mata dan telinga akan apa yang terjadi agar tidak terkena imbasnya. Hidup mereka sendiri sudah cukup susah tanpa harus turut bersinggungan dengan masalah orang lain. Anak itu mencoba melangkah mundur lagi. Setiap langkah ke belakang ia ambil, lelaki itu pun mengikuti. Mencium niat Myungho, lelaki itu menyeringai.
“Anak itu seperti dirimu, Nak. Muda, segar… Suara teriakannya pun indah sekali ketika aku menikamnya tepat di dada, lalu memotongnya kecil-kecil…”
Lari!
Myungho tidak lagi membiarkan otaknya berpikir. Alih-allih, ia biarkan tubuhnya yang bekerja mencari keselamatan. Ia serta merta berbalik dan lari. Lari, entah ke mana, menuju apa, ia tak tahu, asalkan jauh, jauh dari lelaki mengerikan itu. Myungho berlari kemana pun kakinya membawa, melewati pintu demi pintu yang menutup kejam. Saat ia yakin si lelaki telah kehilangan dirinya, Myungho merangsek ke salah satu pintu rumah yang lampunya masih menyala.
“Tuan! Tuan!” terengah-engah, anak itu mengetuk sekuat tenaga, hampir-hampir mendobraknya. Kepalan tangannya pun luka terkena cacahan pintu kayu saking kuatnya ia mengetuk pintu. “Tuan! Nyonya! Siapapun di dalam! Tolong aku! Tolong!”
Putus asa. Myungho menangis tersedu-sedu, menggedor pintu itu lagi dan lagi. Darah dari tangannya berceceran, membuat bekas menyeramkan di pintu tersebut. Karena tidak kunjung ada tanda-tanda dibukakannya pintu, anak itu berbalik untuk mulai berlari kembali. Alangkah kagetnya ia ketika si lelaki sudah berdiri persis di belakangnya.
“Kau tikus kecil yang menyusahkan,” raut muka orang itu berubah. Ia naik pitam. Sesuatu berkilau ditimpa sinar bulan di tangan lelaki itu.
Si anak gemetaran seluruh badan. Kenapa jadi begini…? Kenapa jadi begini?! Aku hanya mengikuti Dokter pergi…kenapa jadi begini?! Aku belum mau mati! Ibu! Ayah!
“Tenanglah, Nak. Kau tidak akan merasakan sakit,” diangkatnya benda berkilau itu tinggi-tinggi di udara. Sontak, Myungho menutup matanya yang basah oleh tangis. Ia menggertakkan gigi.
“…Wonwoo…”
Jadi beginilah akhir hidupnya. Menjadi foto yang dicetak oleh Wonwoo dan menggantung di tali panjang di kamar tidurnya.
PRIIIITTTT!! PRIIIITT!! PRIIIITTT!!
“BERHENTI! POLISI! TURUNKAN SENJATAMU!”
Semua terjadi begitu cepat menjadi selaksana kelebat. Myungho hanya bisa menatap tak berdaya sambil terduduk di pinggir jalan. Tenaga telah pergi seluruhnya dari tubuh si anak. Lelaki mengerikan itu membuang senjatanya begitu saja—sebuah pisau dapur besar yang berlumuran darah kering—dan kabur. Para petugas polisi pun bergegas mengejarnya. Seorang polisi mendekatinya untuk memastikan kondisinya, namun Myungho terlalu trauma untuk membiarkan polisi itu menyentuhnya. Ia berteriak. Ia meronta. Tubuhnya masih belum menerima fakta bahwa ia nyaris menjadi artikel utama di bagian depan koran esok pagi.
Kemudian, wangi itu datang. Embun segar yang hampir tidak tercium apa-apa, namun ia bisa menghirupnya dengan jelas. Wangi khas Jeon Wonwoo. Wangi kegemarannya semenjak mereka bertemu. Myungho merasakan feromon lelaki itu dengan nyaman membalutinya, menenangkan Beta yang berkecamuk dalam dirinya. Anak itu melemas ketika lengan-lengan yang besar meraupnya ke dalam pelukan.
Wonwoo tidak bersuara. Myungho pun tidak. Hanya isak tangis yang mengiringi pejaman mata anak itu, perlahan terbuai dalam rasa aman pelukan dan feromon Wonwoo hingga kesadarannya hilang sepenuhnya. Ia terlelap menuju alam mimpi, di mana tidak ada lelaki mengerikan maupun orang lain yang hendak mengambil Wonwoo darinya.
Saat ia akhirnya terbangun, Seo Myungho berada di kamarnya sendiri. Harum masakan ibunya dari dapur tercium hingga ke lantai dua. Ia mengerjap tiga kali, hanya bengong menatap langit-langit kamarnya.
“Aku belum mati…”
“Tidak akan kubiarkan kau mati.”
Myungho menengok, kaget mendengar ada suara lain di sana. Ia kira ia sendirian. Wonwoo terduduk di sisinya. Rambut hitamnya kusut masai. Mata di balik lensa nampak letih dihiasi kantung mata. Sepertinya ia tidak mandi dan tidak tidur semenjak mereka terakhir bersitegang. Tangan lelaki itu menggenggam erat tangan Myungho, tidak mau lepas.
Alih-alih, Wonwoo mengangkat tangan anak itu untuk kemudian dikecupnya lembut. Lalu, ia membenamkan wajahnya ke punggung tangan Myungho.
“Tuhan…aku hampir saja kehilanganmu selamanya…Ya Tuhanku…,” lirihnya. Isak tangis terdengar lagi. Myungho ingin bangkit dan memeluk lelaki itu, menenangkannya dengan kata-kata serta belaian, namun ia tak punya tenaga untuk melakukannya. Ia biarkan air mata Wonwoo menetes di tangannya.
“Dokter…jangan menangis…”
Wonwoo tertawa miris. “Dokter apa? Aku bahkan tak bisa menyembuhkanmu, Sayang,” ucapnya getir. “Aku hanya bisa berdoa ketika dokter lain mengobatimu. Dokter macam apa yang bahkan tak bisa menolong orang yang dicintainya…?”
Myungho menatapnya lama. Lalu, anak itu menelengkan kepala.
“Dokter menyukaiku juga?”
Jeon Wonwoo tidak menjawab dengan ucapan, melainkan dengan satu lagi kecupan di punggung tangan si anak.
“Dokter…,” Myungho menggerakkan tangannya yang penuh perban. Ibu jarinya pun mengusap pipi Beta yang lebih tua itu. “Aku suka Dokter. Suka sekali…” Meski hampir saja meregang nyawa, kedua bola mata anak itu berkilauan. Indah sekali. Jantung Wonwoo kembali berdetak cepat dalam dada. “Impianku…impianku membuka apotek bersama Dokter. Dokter akan menyembuhkan orang-orang dan aku yang meracik obat buat mereka. Lalu, kalau malam menjelang, kita akan naik ke atas ke rumah kita berdua, makan malam bersama dan tidur berpelukan setelahnya.”
Sebulir tangis menuruni pipi Jeon Wonwoo. Myungho langsung mengusapnya sampai lenyap. Anak itu tersenyum pada lelaki Beta yang menangis di atasnya.
“Nikahi aku, Dokter. Ketika usiaku 18, menikahlah denganku.”
Wonwoo berdeguk, tersedak tangisnya sendiri.
“Kubilang aku akan menunjukkan keindahan dunia ini pada Dokter, tapi aku sadar hari ini kalau yang paling indah di duniaku adalah senyuman Dokter,” ringisan tertarik di wajahnya. Meski berantakan, ia tetap yang paling cantik di mata Jeon Wonwoo. “Dan aku ingin menghabiskan hidupku membuat Dokter selalu tersenyum.”
“Wonwoo,” lelaki Beta itu memotong ucapan Myungho. Ketika dilihatnya tatapan bertanya dari si anak, lelaki itu melanjutkan. “Wonwoo. Panggil aku dengan namaku, Sayang.” Wonwoo mengelus lembut rambut Myungho. “Aku tidak bisa menjawab perasaanmu sekarang, karena kau terlalu muda. Adalah kejahatan bagiku untuk mengikatmu langsung dengan iming-iming cinta. Tapi ketahuilah, Sayangku, aku akan menantimu selamanya. Ketika kau sudah dewasa dan masih ingin menikahiku, datanglah padaku. Sampai saat itu, hiduplah dengan bebas dan penuh tawa.
Hiduplah terus. Jangan tinggalkan aku…”
Myungho pun ikut menitikkan air mata seperti kekasihnya. Usianya yang baru menginjak 15 dua minggu lalu memang masih sangat muda, namun ia paham maksud Jeon Wonwoo. Mereka harus menahan cinta mereka hingga pantas bagi mereka untuk membuatnya sah secara hukum dan norma. Belaian lembut di rambut Myungho tidak berhenti. Meskipun mereka harus menahan diri, Myungho melihat tatapan Wonwoo padanya dan yakin bahwa lelaki itu akan terus mencintainya seperti ini.
“Dok—” bukan. “—Wonwoo.”
Oh. Jeon Wonwoo bagai melayang ke surga detik itu juga.
“Aku mengerti. Tapi, aku ingin kau mengabulkan permintaanku sekali ini saja.”
Wonwoo tidak perlu bertanya apa permintaan anak itu. Ia mengetahuinya dari bibir merah yang membuka sedikit, dari pandangan penuh pinta juga tangan di wajahnya yang menariknya mendekat. Untuk kali ini saja, lelaki itu menanggalkan moral serta kesadaran dirinya untuk bersyukur bahwa kekasihnya selamat, masih hidup dan bernapas dalam pelukannya. Ia menyentuh bibir Myungho dengan bibirnya. Ciuman pertama yang mereka bagi selembut dan sehangat cinta yang datang menyelinap di antara mereka. Myungho dengan jahil mencuri sebuah kecupan lagi setelah Wonwoo memutuskan ciuman mereka.
Lalu, mereka terkekeh sambil tersipu-sipu.
Sayangnya, di usia 18 tahun, pernyataan itu tidak terlontar dari mulut Seo Myungho. Ia menyaksikan usaha Jeon Wonwoo memenuhi impian mereka berdua. Menanggulangi rasa mindernya menghadapi pasien, lelaki Beta itu telah setahun membuka praktek di 17 Jalan St. John, sementara ia menunggu ruang praktek dokter berikut apotek di lantai bawah sebuah rumah bertingkat tiga selesai direnovasi, persis seperti keinginan kekasihnya. Myungho pun membalas usaha Wonwoo dengan memasuki pelatihan keperawatan saat menginjak 17 tahun. Ia belajar untuk menjadi sokongan bagi Wonwoo kelak. Tidak lupa, ia juga memperkaya ilmunya akan ramuan dan obat-obatan dengan lebih intens lagi.
Orangtua Myungho dan Nyonya Im mengetahui hubungan mereka berdua sejak awal. Mereka meminta Jeon Wonwoo untuk tidak menyentuh putranya, menyatakan dengan tegas bahwa mereka percaya padanya. Wonwoo tidak sekali pun menodai kepercayaan mereka. Hanya belaian mesra kecil yang diam-diam mereka curi ketika sedang berduaan saja. Selain itu, hubungan mereka persis seperti sebelum benih-benih cinta mekar ke permukaan.
Ketika Myungho menyelesaikan studinya dan rumah itu akhirnya selesai, satu hari setelah ulang tahunnya yang ke-19, Seo Myungho mengetuk pintu kamar sewaan Jeon Wonwoo. Saat pintu dibuka dan Wonwoo yang baru bangun menyambutnya, Seo Myungho tersenyum lebar—begitu cantik—berkata,
“Nikahi aku, Dokter Jeon Wonwoo. Aku sudah tidak sabar membagi lembaran hidupku bersamamu selamanya.”
Seperti kisah yang sudah kita ketahui, mereka lantas meminta restu ke orang-orang terdekat mereka untuk melangkah menuju jenjang berikutnya. Jeon Wonwoo pun meminta ijin Seo Myungho untuk resmi mendekatinya dengan pernikahan sebagai tujuan utama. Sebulan setelah itu, dan dengan restu semua orang, Jeon Wonwoo menikahi Seo Myungho di bawah siraman kelopak bunga yang indah di musim semi.
Kekasihnya.
Wonwoo berbisik sebelum mencium suami yang baru saja disahkan padanya, di depan Tuhan dan di depan negara,
“Aku selalu mencintaimu, Myungho.”
Sambil tertawa bahagia, mereka pun berciuman.