Soonhoon AU: First POV, Meet-Cute, Minor Drinking Alcohol, Sexual Innuendo, Little American Town Vibe, Cheesy, Falling in Love, Songfic, Bonfire by Peder Elias
Malam itu, bulan begitu bulat, berpendar putih bagai sebutir mutiara dari dasar laut. Tanpa awan yang mengganggu, ia menggantung di sana ditemani ribuan bintang yang membentuk sungai penuh kerlip cahaya, terhampar indah di sepanjang tirai malam yang pekat.
Di malam yang seperti itu, aku bertemu dirimu.
“Hai.”
Pertama yang kulihat adalah deretan gigimu. Rapi, seperti pagar kayu yang baru saja kubangun dari nol sejak pagi sampai sore tadi di halaman rumahku. Tidak perlu kaget, karena begitulah suka duka anak lelaki bontot di keluarga besar.
Pagar belakang rumah rusak? Kwon Soonyoung!
Bohlam di kamar mandi mati? Kwon Soonyoung!
Ya nasib… 🥲
Andai bisa memilih, aku tidak ingin terlahir sebagai anak laki-laki satu-satunya dan paling muda (sungguh, memiliki tiga orang kakak perempuan itu adalah neraka di dunia), tapi, jujur, aku jadi berpikir apakah bertemu denganmu adalah karma baik yang kukumpulkan dengan berusaha tetap sabar selama hidupku ini.
(Jika ya, maka aku rela ditindas kakak-kakak perempuanku seumur hidupku.)
Kedua, yang menangkap fokusku adalah kerlipan matamu. Bola matamu segelap langit malam, tapi aku bisa melihat refleksi api unggun yang bergoyang di sana. Aku hampir tidak mendengar perkenalan yang ditengahi Bang Cheol, sesuatu mengenai “…adik sepupu…” dan “…bertemanlah, kalian seumur….”.
Berteman? Hell yeah, I will.
Masalahnya, kamu terlihat enggan berada di sini. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya dan kota ini terlalu kecil untuk penduduknya tidak saling mengenal satu sama lain.
“Hai juga.”
Oh.
Kamu tersenyum. Mungkin aku sudah salah duga seenaknya.
“Gue Kwon Soonyoung.”
Aku mendengar lantunan tawamu. Ada sesuatu yang berkeretak di belakangnya. Kulit kayu yang terbakar api, mungkin. Atau Mingyu yang lagi-lagi menjatuhkan sesuatu, menunggu untuk dimarahi Seungkwan dan Myungho.
“Tau,” jawabmu. “Kan lo udah bilang tadi.”
“Oh ya?”
Ringisanmu semakin lebar. Aku jadi teringat Pesta Minum Teh Alice. Hutan Negeri Ajaib. Cheshire Cat di ranting pohon. Tim Burton. Wednesday.
…Sebentar, kita membahas apa tadi?
“Gue perlu kasih tau nama lagi nih?” godanya. Wow. Kwon Soonyoung, usia 17, akhirnya digoda. Ibu, aku sudah berhasil mencoret salah satu tujuan hidupku. Banggalah pada putra semata wayangmu ini. “Lee Jihoon. Salam kenal untuk kedua kalinya, Kwon Soonyoung.”
Lee Jihoon. Lee Jihoon.
“Jihoonie?”
Sebelah alisnya seketika mengernyit. Aku jadi salah tingkah.
“Kecepetan ya?”
“Humm,” bibirnya mengerucut. Ia seperti menimbang sesuatu dalam benak. “Boleh deh, asal gue juga boleh panggil lo kayak gitu.”
Tawaku gugup, “Kayak gimana?”
Ia tersenyum. Bibirnya tertarik bagai anak kucing manis yang menginginkan susu. Did I say something about Cheshire Cat before?
“Soonie.”
Jantungku mendadak meloncat di dalam dada.
Detik meleleh menjadi menit, lalu menjadi jam. Kami mulai larut oleh berkaleng-kaleng alkohol dan suasana teduh hutan di sekitar kami. Api unggun yang pertamanya terasa mengintimidasi, kini bagai teman lama yang telah berbagi suka dan duka bersama. Api yang sama telah menyaksikan Seokmin menjalankan hukuman dari Bang Han karena kalah dalam permainan Hongsam, juga putaran pantat botol yang membuat keributan kentara di antara kami. Saat moncong botol tersebut mengarah pada Bang Cheol, ia menarik pacarnya ke semak-semak tidak jauh dari situ, diiringi suitan anak-anak lainnya.
Saat aku menoleh, kulihat Lee Jihoon memerhatikan semak dimana mereka menghilang. Kemudian, ia memutar kepala kembali, menyadari pandanganku kini.
“Kenapa?” tanyanya.
“Lo penasaran?” ucapku, tiba-tiba.
“Penasaran? Buat?” dengusan geli. “Mereka palingan cipokan.”
“And more.”
“Yah, well, semoga nggak kenceng-kenceng,” Lee Jihoon memutar bola mata. “Awkward banget denger sepupu lo lagi gituan.”
Mataku mengerjap. Jujur, aku agak kaget. Kukira dia bagai perawan di sarang penyamun. Maksudku, lihat saja dirinya. Mungil, putih, manis—sesuatu yang berharga yang harus selalu ditaruh di dalam saku hangat dengan lembut. Bukannya duduk di sana dengan kaleng bir di tangan, dua kancing atas kemejanya membuka dan berbicara soal kakak sepupunya berhubungan badan dengan pacarnya di balik semak.
“Lo pernah?”
Mata Lee Jihoon memicing.
“Gituan,” jelasku menambahkan.
Ia diam. Ia diam cukup lama, membuatku serta- merta gelisah. Aku tahu aku mungkin melanggar batas kesopanan tapi, well, kamu mau salahkan kadar alkohol dalam darahku atau Lee Jihoon yang bagai kontradiksi ciptaan semesta, silakan pilih saja. Kalau aku sih, aku akan menyalahkan Vernon yang mulai ciuman sama pacarnya di pojokan sana dan beberapa dari kami yang memisahkan diri sambil membawa botol dan kaleng minuman.
Atmosphere and shits.
“Kita kenalan kapan, Kwon?” alih-alih menjawab, ia balik bertanya.
Uh…
“Tiga jam lalu?”
Mungkin? Jujur, aku susah berkonsentrasi setelah mengosongkan kaleng bir keempat.
“Tiga jam dan lo berani nanya gue udah pernah ngeseks ato enggak?”
Aku sumringah, separuh seperti orang terjepit pintu. Ada sesuatu dalam bola matanya yang menyuruhku mundur, menutup pintu sambil meminta maaf dengan sopan dan pergi jauh-jauh. Sesuatu yang sekaligus menantangku untuk berbuat justru sebaliknya.
“Yeah?” cengiran santaiku membuatnya semakin mengerutkan muka.
Keretak kayu bakar terdengar lagi. Cahaya jingga berpendar mewarnai kami berdua. Saat itu, detik itu, hanya ada aku dan dia di tengah hutan, saling bertatapan tanpa ada yang mengalah.
Kemudian, ia mendengus.
“Sayangnya, ini bukan film,” selorohnya. Ia mengambil gitar akustik yang ditelantarkan Bang Shua (entah ke mana dia…) dan mulai menyetemnya. “Gue nggak bakal tidur sama lo, kalo itu niat lo nanya gitu.”
Aku memerhatikan jari-jemari lentiknya memetik senar. Tangan Lee Jihoon indah sekali. Halus, berbentuk bagus. Aku bersumpah aku tidak punya fetish tertentu terhadap tangan seseorang, tapi Lee Jihoon bagai makhluk dari luar dunia ini.
“Lagian, gue nggak kenal sama lo.”
“Hai, gue Kwon Soonyoung.”
Aku juga tidak tahu kenapa mendadak saja ucapan itu terlontar. Lee Jihoon spontan tertawa, lugas, tanpa beban. Aku suka mendengar tawanya yang bebas seperti itu.
“Iya, tau! Mau berapa kali sih lo ngenalin diri?”
“Itu lo kenal gue.”
Tawa perlahan meredup menjadi sekadar senyuman maklum.
“Bego,” selorohnya. “Dah. Forget ’bout sex tonight. Lo mau lagu apa nih, gue maenin kalo gue tau.”
“Mm,” tanganku meraih kaleng bir kelima dari boks pendingin dan membukanya. Buih mulai berjatuhan saat aku buru-buru meminumnya. Kemudian, aku menghela napas kuat-kuat. “Aaahhh~“
Lee Jihoon terkekeh, “Mirip bokap gue aja lo.”
“Bonfire.”
Ia berkedip, jelas luput menangkap ucapanku barusan. “Sori?” tanyanya.
“Peder Elias,” ulangku. “Bonfire.”
Matanya berkilau oleh pemahaman, sebelum jari-jemari lentik itu kembali menyita perhatianku. Suara Lee Jihoon seindah mata dan tangannya. Aku tidak menyadari kapan tepatnya bahu kami bersentuhan saking rapatnya kami duduk bersama di batang kayu kopong yang panjang itu. Aku bahkan tidak menyadari Wonwoo dan Jun yang terkekeh melihat kami berdua sebelum mereka bertolak ke tenda untuk tidur, terlalu letih untuk melanjutkan malam. Aku berencana untuk berenang bersama mereka di danau dekat sini besok pagi. Seharusnya aku juga tidur, tapi tidur adalah hal terakhir di otakku ketika, di sebelahku, terduduk siren secara harfiah.
Di suatu titik, aku menoleh dan melihatnya. Benar-benar memperhatikannya lekat-lekat. Rambutnya yang halus dan hitam. Bulu matanya lebat kala kelopaknya terpejam. Ia tersenyum dengan lesung pipi, mirip kakak sepupunya. Samar-samar aku mencium wangi musk yang bercampur bebungaan lembut.
Lee Jihoon indah sekali.
“Kita boleh begini lagi?” aku mendengar diriku berbisik.
“Begini gimana?”
“Ketemu lagi kayak gini.”
Ia tertawa kecil, “Berdua?”
“Terserah,” potongku. “Gue mau ketemu lo lagi. Berdua. Berlima. Terserah.” Aku bergeser, lebih merapat lagi. Harum tubuhnya begitu dekat dengan hidungku. Oh…aku ingin menghirupnya langsung dari leher putihnya yang mulus, mungkin meninggalkan sejejak dua jejak bercak keberadaanku di sekujurnya. “Yang penting ketemu lo lagi…”
“Hmm,” ia memutar bola mata. “Kalo lo ngomong kayak gitu, gue jadi curiga lo suka sama gue.”
“Maybe.”
“Bego,” kepalan tangannya mengetuk pelan keningku, seketika menjauhkan jarak kami. “I don’t mind. Tapi ada syaratnya.”
“?”
“Jangan tanya lagi gue udah ngeseks ato belom.”
…
Kali ini giliranku yang tertawa terbahak-bahak.
Malam itu kami mengobrol santaisambil menenggak bir lebih banyak lagi. Aku berhenti di kaleng ketujuh dan ia di kaleng kelima. Setelahnya, duniaku menjadi gelap. Meskipun begitu, aku merasakan hangat di dalam dada dan pelukanku.
Besok pagi, aku akan mengajaknya berenang bersama Wonwoo dan Jun. Mungkin saat itu, Lee Jihoon akan tertawa lebar padaku lagi, setengah telanjang dengan rambut basah, nampak indah di antara percikan air bening dan sinar matahari yang benderang.
Let’s meet up by the bonfire.
Baby, the moon’s gonna be crazy.
‘Cause I think I’m in love with you.