Junhoon from Gyuhao Parents AU Omake: Mpreg, I Wish You Love by Nancy Wilson
“Maaf ya, Hao.”
Hari minggu pagi itu, keluarga Kim kedatangan tiga tamu yang agak tidak disangka-sangka: Lee Chan bersama kedua orangtuanya. Mereka berdiri di teras rumah dengan badan membungkuk 45 derajat, membuat Minghao kaget dan meminta mereka menghentikannya. Meski masih enggan, Jihoon pun menuruti kehendak sahabatnya itu.
“Nggak apa kok Ji.”
“Gue harus minta maaf. Anak gue udah ngerepotin lo semua,” Jihoon menggamit kedua tangan Minghao. Ekspresinya serius banget, Minghao jadi ingin terkekeh melihatnya. Lalu, lelaki itu mendelik pada putra semata wayangnya. “Heh! Kamu udah minta maaf belom?!”
Chan, akan bentakan barusan, terkejut. “Udah kok, Mah…,” keluh si anak. Minghao spontan menarik tangan sahabatnya itu, mencoba menenangkannya.
“Udah, udah… Gue nggak apa kok, Hoon,” senyuman Minghao tidak berubah, bahkan berpuluh tahun kemudian setelah waktu memisahkan mereka. Senyuman yang mampu mencairkan dinginnya pertahanan yang Jihoon bangun dahulu kala di sekitar hatinya. “Channie udah minta maaf kemarin. Ya kan, Nak?”
Bersama anggukan buru-buru, anak itu menyetujui. Jihoon mendengus kencang. Suaminya, Junhui, lalu merangkul bahunya, mengelusnya perlahan.
“Udahlah. Kan dia udah minta maaf,” kemudian, dengan senyuman kecil khas suaminya, ia menatap Minghao. “Maaf ya, Hao. Keluarga kami udah nyusahin keluarga kamu.”
“Pak—” namun Minghao segera menutup mulutnya. Bagaimana caranya memanggil mantan atasan plus mantan gebetan yang sekarang jadi suami sahabatmu? “—mmmm, iya, nggak apa-apa kok. Cuma salah paham biasa aja.”
Minghao tersenyum balik. Sesaat, mereka berdiri seperti itu, berbagi senyuman dan pandangan dalam keheningan yang nyaman.
“Ehem.“
Sampai sebuah lengan melingkari pinggang Minghao dan menariknya paksa ke tubuh yang tinggi besar. Minghao menoleh, menemukan suaminya menatap Junhui dengan picingan sebelah mata. Menyadari bahwa suaminya cemburu, Minghao membekap mulutnya, berusaha menahan tawa.
“Halo,” sambut Mingyu sambil mengulurkan tangannya yang bebas. Junhui mengambil dan menjabatnya dengan mantap. Ditatapnya tajam lelaki itu, seakan tengah menilai orang yang dahulu menggenggam hati suaminya di tangannya. “Salam kenal. Saya suaminya Hao, Kim Mingyu.”
“Salam kenal juga. Saya Wen Junhui,” kebalikan dari Mingyu, Junhui tidak menunjukkan emosi apapun. Ia bereaksi selayaknya dua orang asing yang baru bertemu. “Atas kesalah pahaman anak kami, saya minta maaf. Dan saya pribadi pun ingin minta maaf, karena semua ini karena…surat saya itu…”
Wen Junhui melepas genggaman tangannya lalu menoleh ke arah Minghao, menatapnya lagi.
“Hao. Surat itu.”
“Bener Bapak yang nulis?” ditelengkannya kepala.
“Benar. Itu saya,” tanpa tedeng aling-aling, Junhui mengakui. “Dulu, saya jatuh cinta sama kamu. Tapi saya terlalu pengecut dan cuma bisa nulis surat yang nggak akan pernah saya berikan ke kamu. Pas kamu resign, rasanya dunia saya waktu itu sedikit hancur.”
Bibir Minghao membentuk huruf ‘O’ kecil. “Bapak nggak tau kalo saya naksir Bapak dulu?” tanyanya, penasaran.
Wen Junhui menggeleng. “Saya baru tau dari Hoonie setelahnya,” dia kini menatap suaminya. “Pas dia bilang gitu, saya mikir lama. Lama sekali. Tapi saya akhirnya mutusin untuk nggak mengejar kamu, karena saya sadar kalau ada seseorang di depan saya selama ini.”
Jihoon mengangkat mukanya, berbagi pandangan dengan suaminya.
“Dan saya hanya terlalu buta untuk menemukannya lebih cepat.”
Akan tatapan suaminya, Jihoon dengan cepat menunduk. Terlalu malu karena, yah, bahkan setelah bertahun-tahun membangun rumah tangga bersama, menunjukkan cinta di mata publik bukanlah love language mereka. Sekadar pegangan tangan atau tangan di siku apabila dibutuhkan, seperti di pesta-pesta penting, masih bisa ditolerir. Lebih dari itu adalah sesuatu yang hanya boleh disaksikan keempat dinding kamar mereka berdua.
Tidak heran anak mereka sendiri mengira pernikahan kedua orangtuanya begitu dingin, karena mereka adalah orang-orang yang mementingkan privasi. Namun, setelah mereka bertiga berbicara, Junhui dan Jihoon memutuskan untuk lebih longgar di rumah dan, tentunya, di depan putra mereka semata wayang.
Menyaksikan itu, Minghao tersenyum lagi. Ia mengenal Jihoon dengan baik dan tahu kapan sahabatnya itu bahagia. Dan, saat ini, Jihoon nampak bahagia sekali, meski mungkin orang asing tidak bisa melihat karena minimnya gestur maupun emosi yang ditunjukkan.
“Nah, karena masalah kita udah kelar,” Minghao berseru sambil menepuk tangannya. “Ayo masuk, masuk! Mingyu baruuu aja kelar masak. Lo harus cobain masakan dia. Suami gue jago banget lho, Hoon, lo pasti suka.”
Ditariknya tangan Jihoon, secara harfiah diseretnya masuk. Jihoon tidak berontak, membiarkan Minghao menariknya seperti itu. Kakak dan Adik mengajak Chan masuk. Kelihatannya ketiga anak itu telah berdamai dan sekarang sedang mengobrol dengan ramai.
Wen Junhui menatap Kim Mingyu.
“Kamu bisa masak?” kedua alis lelaki itu naik.
“Sedikit,” jawab Mingyu. “Hao agak melebihkan. Masakan saya biasa aja kok.”
“Saya yakin pasti rasanya enak,” Junhui tersenyum lemah. “Saya boleh masuk?”
Barulah saat itu Mingyu tersadar kalau Junhui masih berdiri tanpa melepas sepatu di teras rumahnya. Bahwa Junhui menanyakan pertanyaan barusan dengan maksud lain di baliknya.
Sebuah permohonan pada lelaki yang mencintai Minghao saat ini agar membiarkan lelaki yang dahulu mencintai Minghao masuk ke dalam hidup mereka tanpa niat merebutnya. Sebuah ujian bagi Mingyu apakah dirinya bisa menerima salah satu bagian dari masa lalu suaminya sendiri.
Mereka bertatapan untuk beberapa saat. Tidak ada yang berbicara.
“…Saya mencintainya,” ucap Mingyu kemudian. “Nggak ada orang lain yang bisa saya cintai selain dia.”
Wen Junhui mengangguk dalam satu pemahaman. “Saya pun mencintai suami saya. Hanya dia satu-satunya,” lalu, lelaki itu mengulurkan tangan. Lagi. “Let bygones be bygones?”
Senyumnya timpang, agak awkward, namun dia sudah berusaha. Mingyu mempertimbangkan sejenak, menghela napas, dan menjabat balik tangan itu. Lagi.
“Kim Mingyu.”
“Wen Junhui,” lega, lelaki itu melepas sepatu dan berjalan masuk ke rumah keluarga Kim. “Maaf ya jadi ngerepotin.”
“Nggak apa,” Mingyu berjalan di sampingnya.
Minghao menoleh ke belakang, melihat suaminya berjalan bersama Junhui, bercakap-cakap dengan lebih rileks, lebih santai, dia pun tersenyum, lebar dan manis sekali.
All’s well that ends well, I guess.