Gyushua AU: Meet-Cute, Fluff, Age Gap, Nowhere Man by The Beatles
Kim Mingyu, 22 tahun.
Setelah digempur terjangan badai bernama skripsi dan berhasil menyematkan gelar di penghujung namanya, pemuda itu membuat ibunya berteriak kencang suatu malam, hampir terancam terdepak dari pohon keluarga, karena keputusan mendadak yang ia utarakan.
Alih-alih menerima tawaran bekerja di perusahaan bonafide yang telah digadang-gadang ibunya sejak satu tahun lalu di setiap arisan yang ia sambangi, Kim Mingyu membeli tiket pesawat satu arah ke Los Angeles, California. Tanpa tiket kembali. Artinya, ia tidak berniat pulang dalam waktu dekat.
Artinya, putra sulung keluarga Kim akan menghilang dari peredaran entah sampai kapan, meninggalkan keluarganya dimakan hiu-hiu ganas bertajuk pers dan media sosial. Bisikan demi bisikan akan menghantui telinga ibunya, membuat kesal ayahnya karena harus menenangkan ibunya, dan juga adik perempuannya, karena ia masih berkuliah di universitas yang ditinggalkan Mingyu.
Tapi, dengan segala pembelaannya, Kim Mingyu memerlukan ini. Ia perlu pergi jauh, yang jauh, dari segala yang ia miliki. Jauh, dari segala hingar-bingar dan pandangan orang-orang yang mengenal wajahnya, namanya, keluarganya. Kim Mingyu memerlukan ini.
Waktu.
Kesendirian.
Sebelum jati dirinya hilang terseret arus dan ia tidak bisa menemukannya lagi.
“Tuan Kim, mohon kencangkan sabuk pengaman Anda.”
Terkejut, Mingyu mendongak, menemukan wajah ramah pramugari tersenyum padanya. Buru-buru ia mengangguk dan membetulkan sabuk pengaman di pangkuannya. Setelah puas, wanita itu lanjut berjalan ke arah badan pesawat.
Mingyu memerhatikan keadaan di sekelilingnya secara sekilas. Kelas Satu di maskapai tersebut dibatasi hingga enam penumpang dengan kursi yang dibuat berpasangan. Kursi di sebelah Mingyu kosong, sedangkan sisanya diisi dua orang businessman yang bersiap untuk tidur segera setelah pesawat lepas landas nanti dan sepasang kekasih (atau suami istri) (entahlah).
Pemuda itu kembali menekuni jendela. Di bawah sana, para petugas bandara lalu-lalang mempersiapkan penerbangan kali ini. Mingyu memandangi dengan bosan kerlap-kerlip lampu yang dinyalakan untuk menerangi jalur pesawat.
Ada setitik nostalgia dan rasa gelisah kala ia mengingat bahwa, dalam beberapa saat lagi, ia akan meninggalkan negara di mana ia lahir dan dibesarkan selama 22 tahun hidupnya. Negara, yang ia tidak tahu apakah ia akan kembali lagi padanya, hidup atau tidak.
Keputusan yang…
“Tolol. Lo tolol, tau nggak? Tolol.”
Mingyu mengerutkan kening. Suara Seokmin terdengar sepat di telinganya.
“Seok nggak bermaksud gitu kok, Gyu—”
“I meant every fucking thing I said.”
“Huss!”
“Kabur ke luar negeri? States? Mau tinggal di mana? CC lo dibekuin ma bapak lo! Emang lo bisa idup sendiri di negara yang lo nggak kenal siapa-siapa?!!”
He’s right, indeed.
“Dan alesan lo apa? Cuma gegara lo kagak mau kerja, ha? Cuma gegara nyokap lo udah mulai jodoh-jodohin lo ma anak-anak temennya dan ngomongin cucu?”
“I said huss! Lo bukan Gyu, Seok, lo nggak tau rasanya jadi dia.”
“Dan lo tau??”
“No, but I know better than to push my opinion and force them onto him.”
At that, Seokmin menggigit bibir bawahnya lalu membuang muka. Ia berjalan ke luar restoran di sisi pantai tempat mereka makan siang untuk menghirup udara segar, sekaligus meredakan amarah yang memuncak ke ubun-ubunnya. Minghao mengikuti arah punggungnya berjalan, lalu kembali menatap Mingyu. Tersenyum lembut, sahabatnya itu menepuk-nepuk perlahan punggung tangan Mingyu, yang raut wajahnya kusut bagai tak tidur bermalam-malam.
“Maafin dia ya? Dia yang paling sedih pas tau lo nggak bakal sedeket ini lagi. Won’t be one call away when he needs you.”
Mingyu ingin tertawa mendengar itu, tapi tidak bisa. Ia sudah terlalu lelah akan semua neraka yang ia bangkitkan dengan satu kalimat sederhana: (“Mah, Pah, aku mau ke States dan nggak balik lagi untuk sementara waktu.”)
Untuk beberapa saat, mereka diam seperti itu, dengan Minghao menepuk-nepuk punggung tangan Mingyu dan Mingyu menatap gerakan monoton tangan Minghao.
“Why L.A.?”
Mingyu mengedikkan bahu.
“The sun?” kelakarnya. “Matahari di sini is too poluted. Kalo gue cek foto di Google, the sun there seems nicer…”
Minghao mendengungkan pemahaman. Entahlah apa dirinya menangkap kiasan dalam perkataan Mingyu, tapi Mingyu tahu bahwa sahabatnya itu pandai menangkap detail sekecil apapun yang tersebar di antara kata. Kemudian, tepukan Minghao berubah perlahan menjadi elusan di jari-jari sahabatnya.
“Pulang…kan?”
Diam.
Sekali lagi, Mingyu mengedikkan bahu.
Minghao, senyumannya kian dan kian lemah, akhirnya bertanya, “Janji bakalan jaga diri lo baek-baek? Janji…janji kalo lo tetep bakal angkat telepon lo, bakal bales mention gue, bakal…”
Suara tercekik. Mata sang sahabat sembab. Begitu pun mata Mingyu.
“…nggak akan lupa sama kita kan?”
Keluar bagai bisikan.
Detik itu, Mingyu bangkit, mengitari meja dan memeluk sahabatnya. Memeluknya, erat, erat sekali. Dan ketika Seokmin masuk kembali, ia memeluk mereka berdua, menyandarkan keningnya ke sisi kepala kedua sahabatnya.
“Tuan!”
“Y-ya?!”
Mingyu hampir melompat dari kursinya. Sekali lagi suara pramugari mengejutkannya. Namun, berbeda dari yang tadi, kali ini kalimat barusan bukan ditujukan padanya, melainkan pada lelaki di sebelahnya.
(Sebentar, sejak kapan kursi sebelahnya tidak lagi kosong…?)
“Maafkan saya, Tuan Kim! Bukan pada Anda!” buru-buru, pramugari tersebut meminta maaf. “Tapi pada Anda, Tuan Hong, mohon sabuk pengaman Anda—”
Lelaki yang dimaksud pun tertawa. Tawanya ringan. Ketika pipinya tertarik naik, kedua matanya berkilauan.
“Nona Woo, kapan saya berani melawan Anda? Lihat nih—” klik! “—done. Aman. Tanpa susah. Tanpa perlu marah-marah.”
“Saya bukan bermaksud marah atau tidak sopan—”
“Iya, iya, saya tahu,” kemudian, lelaki itu memberikan pose finger heart pada sang pramugari. “Love you.”
Kedipan sebelah mata.
Wanita itu mendesah, menyerah kalah, lalu berkata, “Pesawat akan segera lepas landas. Mohon mengikuti peraturan dan jangan membuat onar lagi kali ini, Tuan Hong.”
Mingyu masih bengong memerhatikan lelaki di sebelahnya setelah sang pramugari pergi. Menyadari tatapan Mingyu padanya, lelaki itu menoleh, beralih tersenyum padanya.
Senyum yang, ngomong-ngomong, manis sekali…
“Ya, Tuan Kim?”
Hampir Mingyu tersedak ludahnya sendiri.
“Eh—emm—”
Apa…apakah ia mengenalnya??
“Bener nama kamu itu kan? Tadi Nona Woo nyebut nama kamu begitu soalnya.”
Alis Mingyu berkerut, “Iya ya?”
“He-eh.”
“Dan kamu, eh—”
“Oh, aku—”
Lampu dimatikan. Tidak ada lagi awak kabin yang berseliweran. Suara kapten terdengar dari pengeras suara menginformasikan tujuan, lama perjalanan, jam perkiraan tiba dan keadaan cuaca. Akan ada turbulensi di beberapa okasi, dikarenakan awan tebal dan cuaca yang kurang baik di perjalanan nanti. Alis Mingyu mengerut makin dalam.
Setiap lepas landas, seluruh pesawat akan sunyi, hanya kertak badan pesawat yang mengiringi. Setiap lepas landas, ada renceng doa tanpa henti dipanjatkan dalam hati Kim Mingyu. Mungkin aneh bagi kebanyakan orang, namun, tak peduli seberapa seringnya ia menyeberangi samudera menggunakan burung besi, saat lepas landas dan mendarat selalu membuat dentuman jantung di dadanya memuncak.
Ketakutan, mungkin. Atau kegelisahan. Aneh, memang. Padahal, ia sudah terbang ke segala penjuru mata angin semenjak masih berupa bayi bermata bulat dan berpipi tembam dalam gendongan sang ibu—
Deru mesin mendadak mengeras. Badan pesawat pun bergetar hebat karenanya. Laju pesawat kencang melintasi jalur yang telah dipersiapkan. Serta merta, tanpa berpikir Kim Mingyu memejamkan mata dan menggamit tangan terdekat yang ia temukan. Diremasnya kuat, sebisa mungkin, dengan keringat dingin menempel pada telapak.
Ia luput melihat bagaimana pemilik tangan tersebut menoleh, menaikkan kedua alis ketika pandangannya berpindah dari tangan mereka ke sisi wajah Mingyu. Pemuda itu nampaknya tidak sadar akan perbuatannya sendiri. Kemudian, senyuman merekah di wajah dan ia membalik tangannya agar mereka bisa saling berpengangan tangan dengan lebih baik.
Mingyu merasakan—daripada melihat—bagaimana pesawat melambung naik. Moncongnya menantang langit, terus…terus menuju gumpalan awan. Pemuda itu terkesiap, diremasnya tangan dalam genggaman karena turbulensi yang terjadi. Sampai pesawat berada di atas awan dan keadaan menjadi tenang kembali, barulah Mingyu berani membuka matanya.
Dihembuskannya napas dalam-dalam.
“Udah?”
Kaget, ia menoleh. Lelaki di sebelahnya memberinya senyuman manis sekali lagi. Karena menyadari kebingungan di wajah pemuda itu, ia menunduk ke tangan mereka. Mingyu mengikuti arah pandangnya dan—
“!! SORI—!!”
Tangan mereka terlepas, atau Mingyu melempar tangan si lelaki bagai terbakar. Lelaki itu tertawa, sementara wajah Mingyu meranum lucu semerah apel.
“First time flying?” tanyanya, ketika tawa mulai reda.
Sambil malu-malu, Mingyu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Nggak…cuma kebiasaan aja…,” lalu ia menambahkan. “Sori banget…aku…nggak bisa kalo nggak pegang tangan orang…”
“Humm,” lelaki itu mengangguk-angguk. “Meski sama orang nggak dikenal?”
Kali ini, Mingyu menggeleng. “Biasanya pergi sama, eh, keluarga. Ato temen. Ato sepupu. Ini…pertama…,” suaranya hilang saat ia menunduk malu.
Pramugari mulai membagikan menu tengah malam. Jam makan malam telah lewat, namun penumpang di Kelas Satu bebas memesan minuman dan makanan ringan bila mereka kehendaki. Si lelaki menerimanya dengan ramah, sedangkan Mingyu menolak, namun meminta segelas air. Pramugari itu tersenyum dan berlalu.
“Joshua.”
Srak.
……
“…Ya?”
“Namaku,” lelaki bernama Joshua itu melanjutkan. “Kamu?”
“Aah…Mingyu?”
“Mingyu. Jadi, pas pesawat take off aja ato pas landing juga?”
……
“…Ya??”
Joshua mendengus, lalu tertawa. Namun, ia langsung membekap mulutnya karena beberapa penumpang sudah berusaha tidur.
“Maksudku, tangan.”
“Oh.”
Lagi-lagi, pipinya merona. Sebuah jawaban yang jelas bagi Joshua, terlihat dari bagaimana ia meringis ke arah Mingyu.
“Yaudah. My hand is yours to use. Silakan, Mingyu, whenever you need a support.”
Mingyu mengerang, antara malu dan kesal, dan Joshua terkikik lagi. Pramugari sampai perlu mengingatkan mereka untuk sedikit lebih tenang.
“Me? I’m going home.”
“Wow. Lo American?”
Joshua mengangguk. Segelas air untuk Mingyu dan segelas sampanye dingin untuk Joshua telah diteguk dan dibiarkan di atas meja kecil masing-masing. Malam kian larut. Kini, yang masih terbangun hanyalah mereka berdua. Seluruh pesawat telah terlelap dengan pramugari bergerak perlahan untuk melayani permintaan penumpang yang terbangun, seperti selimut atau air minum, memastikan mereka nyaman dan merasa aman.
Di tengah keheningan malam, Joshua dan Mingyu bercerita, mengenal masing-masing dengan lebih baik lagi. Entah kapan, mereka mulai masuk dalam basis ‘gue-elo’. Ia menemukan bahwa Joshua lebih tua tujuh tahun darinya, bekerja sebagai pengacara di Seoul, namun memutuskan untuk berhenti. Hari ini ia pulang ke rumah yang telah ditinggalkannya sejak ia diterima masuk ke SNU sebelas tahun yang lalu. Mingyu merespon dengan menarik napas dan mengatakan bahwa ia harusnya memanggil Joshua dengan sebutan ‘Hyung’, yang menarik suara kekehan pelan dari Joshua untuk kesekian kalinya.
Saat Mingyu bertanya ada apa saja di L.A. yang wajib dikunjungi, bola mata Joshua bersinar semakin terang dan, dengan semangat, lelaki itu menjelaskan berbagai spot, baik untuk lokal maupun turis, yang harus Mingyu kunjungi.
“Sounds fun, but can’t do, am afraid…”
“Why?” Joshua mengernyitkan sebelah alis.
“No money,” tawa Mingyu getir. “Basically, gue ke sini tanpa restu bonyok. Not even restu dari temen-temen gue. Bought one way ticket and no money.”
Joshua memandang Mingyu dalam diam.
“Bego, I know. But I need to do this, Hyung. Gue…di sana…”
Mingyu balas menatap Joshua.
“I can’t breathe…”
Sedetik. Dua. Waktu bergulir kala mereka saling memandang. Joshua yang memecah intensitas terlebih dahulu dengan helaan napas. Lalu, tangannya naik dan mengusrek rambut Mingyu, membuat pemuda itu kaget.
“Wow, I met a Nowhere Man,” guraunya. “Never knew they do exist before this.”
“Hyung, apaan sih—”
Namun, protesan jatuh ke telinga yang sengaja ditutup. Joshua mengusrek dan mengusrek, mengacak rambut Mingyu hingga pemuda itu hanya bisa diam dan cemberut saja.
“Nowhere Man…,” gumamnya. “Wow…”
“Issh, ngehina apa gimana sih, Hyung? Lo kira gue nggak tau lagu itu??”
“Oho? You know Beatles?”
“Who doesn’t?” dengusnya.
“Right. Who doesnt?” Joshua kembali mengusrek rambut Mingyu, memaksa pemuda itu melawan balik, berusaha mengusrek rambut Joshua, berniat membuatnya amburadul, andai saja pramugari tidak kembali ke sisi kursi mereka dan meminta mereka kembali tenang.
Masih terkekeh dan bercanda, Joshua dan Mingyu memejamkan mata dan, tanpa disadari, mereka jatuh ke alam mimpi dengan sisi kepala bersandar ke satu sama lain.
Orang bilang, perjalanan di pesawat membosankan dan lama. Namun, bagi Mingyu, yang menemukan dirinya sudah diminta mengencangkan sabuk pengaman karena mereka akan mendarat sebentar lagi, tidaklah begitu. Ia terbangun pagi ini dan dengan masih mengantuk mencuci muka dan sikat gigi. Ketika ia kembali ke kursinya, Joshua sudah di sana, tampak rapi dan segar seolah ia tidak baru saja tidur di pesawat, sedang menyantap sarapan gaya Baratnya. Mingyu memilih hidangan Korea karena, mungkin, ini terakhir kalinya ia bisa makan masakan Korea yang asli.
(Joshua mengejek, memberitahunya bahwa banyak restoran Korea autentik di sana. Ia bilang akan mengajak Mingyu ke salah satunya dan Mingyu hanya tersenyum maklum.)
Tanda sabuk pengaman di atas kepala mereka pun menyala. Suara kapten terdengar. Para awak kabin lalu-lalang memastikan pendaratan berjalan semulus mungkin. Meja-meja dimasukkan kembali ke tempatnya. Bangku ditegakkan. Jendela dibuka sesuai prosedur penerbangan. Para penumpang yang belum kembali ke kursi diminta segera kembali dan memakai sabuk pengaman.
Lagi-lagi, jantung Mingyu berdentum. Pesawat sudah menurun dan menurun. Sebentar lagi, pesawat akan masuk ke awan dan getaran akan mulai terasa.
“Mingyu.”
Joshua menaruh tangannya di pegangan kursi, telapak tangan menghadap ke atas. Mingyu meliriknya, lalu ke tangan itu. Saat getaran pertama terasa, ia spontan menggamitnya. Kembali, mereka berpegangan tangan.
“Abis mendarat nanti, rencana lo apa?”
“Ng-nggak-nggak tau,” Mingyu terkesiap tiap tabrakan dengan awan terasa. Tiap tabrakan, genggamannya pada Joshua semakin kencang. Pejaman matanya pun lekat. “Gue nggak tau. Gue cuma mau pergi aja. Gue nggak tau gimana hidup di sana ato gimana gue cari makan. Gue cuma…cuma perlu pergi…”
“Hmm…”
(“All cabin crews, prepare for landing.”)
He’s a real nowhere man
Sitting in his nowhere land
Making all his nowhere plans for nobody
“Mingyu.”
“Ya?”
“Why don’t you come with me?”
Bola mata Kim Mingyu melebar. Ia menoleh buru-buru, menatap Joshua yang sudah menatapnya sedari tadi.
Hentakan kencang. Roda pesawat membentur landasan. Suara ribut mesin terdengar memenuhi relung di antara tarikan napas Mingyu dan Joshua. Perlahan tapi pasti, pesawat memelan, lalu berjalan biasa melintasi jalur hingga ke tempatnya seharusnya berhenti. Sepanjang itu, tidak sekali pun mereka berhenti berbagi pandang.
“I have a house.”
Joshua berdeham salah tingkah.
“And, uh, don’t have another job yet, but we can figure it out. Gue sebenernya mau buka—”
“Hyung,” Mingyu memotongnya. “Maksud lo apa?”
“Maksud gue—” Joshua menelan ludah. “—I was too.”
“Hah?”
“Nowhere Man. I…was too.”
Hening.
“But someone helped me out from that Nowhere Land, Gyu, and I…I thought that, maybe, this time, it’s my turn to help you…”
“Hyung…”
“Also, you’re hot.”
Mingyu mendengus geli. “Yeah?” ringisannya sengaja.
“Yeah. Exactly my type.”
“Tipe lo brondong, Hyung?”
“Bangsat.”
Mereka tertawa berdua. Pesawat akhirnya berhenti. Meskipun begitu, para penumpang diminta untuk tetap duduk, menunggu petugas bandara mempersiapkan lorong penyambung. Penumpang di Kelas Satu bersiap-siap di duduknya, membungkuk mengambil tas di bawah kursi atau mengecek kantung di depan agar tidak ada yang ketinggalan.
Joshua dan Mingyu belum melepaskan tangan mereka. Ketika mereka sadar, mereka saling tersenyum dan sepakat untuk tidak melepasnya lagi. Mereka keluar dari pesawat seperti itu, berterima kasih pada pramugari yang melepas mereka sambil terus berpengangan tangan, berdua menyusuri lorong menuju bandara.
“Oh, lupa.”
“Apa—”
Belum sempat Joshua bertanya, Mingyu menarik tangannya dan membungkuk sedikit untuk menempelkan bibir mereka, tepat di tengah-tengah Tom Bradley International Terminal di LAX.
(Ia bersumpah mendengar suitan dan sahutan menggoda dari sekitarnya saat Joshua mengalungkan lengan di lehernya dan mencium balik, namun ia telah hanyut dalam lembutnya bibir lelaki itu.)
Doesn’t have a point of view
Knows not where he’s going to
Isn’t he a bit like you and me?
“Hello? Hao! Seok di situ? Yeah, am fine. Dengerin, gue mau cerita ke lo berdua. Jadi gue pas di pesawat—”