Seventeen Halloween AU: Major character death, Horror, Supernatural, Spirits/Ghosts, Macabre, Action, Angst, Japanese shotengai setting, Once Upon A Dream by Invadable Harmony
Selamat datang di Jalan Pertokoan Sibchil.
Jalan sepanjang 2,5 kilometer ini terletak di sebuah kota dimana penduduknya tidak terlalu padat dan matahari pagi masih rajin menyapa dari balik pegunungan. Tidak ada gedung-gedung tinggi pencakar langit maupun bisingnya kendaraan bak di ibukota, yang ada adalah rentangan sawah hijau sepanjang mata memandang, penduduk lalu-lalang menggunakan sepeda, anak-anak bermain layangan di lapangan, dan para anak muda berjalan bergerombol dalam tawa sepulang sekolah—yang, jelas, hanya ada satu di kota tersebut—bertandang ke kuil untuk mendoakan leluhur mereka yang dikubur di halaman belakangnya sebelum menghabiskan waktu luang di jalan pertokoan ini
Sesuai namanya, jalan ini dipenuhi berbagai macam toko di sisi kiri dan kanannya. Gerbang utama yang menyambut pengunjung ditulis dalam huruf hangul besar dan dihias mentereng agar mencolok. Ada sebuah patung macan ditaruh di bagian tengah kepala gerbang, maskot kebanggaan para warga di jalan ini. Begitu masuk, tercium langsung wangi gorengan yang sedang dimasak, membuat air liur mereka terbit dan tak sanggup menahan barang seribu-dua ribu won untuk panganan lezat selama perjalanan menyusuri jalan ini.
Menapak lebih dalam dan temukanlah berbagai keindahan dalam kehidupan sehari-hari. Ikan segar berdaging sengkal dengan insang berwarna merah dijajakan dengan semangat oleh pasangan suami-istri, beserta anak tertua mereka di pinggir jalan utama pertokoan tersebut. Harum bunga semerbak tercium ketika pengunjung melewati sebuah gang untuk memotong jalan dan seorang anak lelaki pendek akan tersenyum manis pada mereka dengan buket bunga bakung putih di kedua lengannya. Toko kue, toko buku, kafe bergaya kebaratan, penjahit pribadi, toko penilai barang antik yang sudah amat tua, hingga beras dan sake, makan siang dan kimchi buatan sendiri; semua, semua yang diperlukan dan diinginkan, yang dikira takkan ada karena terlalu langka ataupun terlalu konyol, semua ada di jalan ini.
Beraneka rupa, begitu pula halnya dengan warga yang tinggal di sini.
Jalan pertokoan ini telah berdiri sejak beberapa generasi sebelumnya. Jika kuil dan kuburannya adalah bangunan tertua di kota itu, maka jalan pertokoan adalah yang kedua tertua. Sehingga, tak dapat dipungkiri, betapa antik bangunan-bangunannya dan betapa dekat hubungan para penghuninya. Mereka saling mengenal satu sama lain, karena, selain lahir dan tumbuh besar di area yang sama, setelah mereka menikah dan memiliki anak pun, anak-anak mereka pergi ke sekolah yang sama. Siklus yang takkan pernah terputus berdekade kemudian.
Generasi anak muda saat ini didominasi oleh 13 anak lelaki. Entah bagaimana, tidak ada satupun anak perempuan yang lahir seumuran mereka. Mereka berteman erat sejak masih bayi sampai sekarang, sampai mereka telah menginjak jenjang SMA. Bertigabelas, mereka bahu-membahu, menyokong siapapun di antara mereka yang membutuhkan saran atau sekedar tempat sandaran. Bertengkar, saling bermusuhan untuk kemudian berbaikan kembali. Mereka tertawa, berbuat onar, bertingkah seolah dunia berada di bawah telapak kaki mereka. Kepongahan masa muda. Ketakutan akan masa depan. Dan masa kini yang terus berjalan dengan konstan.
Mereka bergandengan tangan, menapak selangkah demi selangkah menuju tujuan masing-masing.
“TELAT, TELAT, TELAT, TELAT!!”
“MAIN GAME TERUUUSS!!”
“BERISIK AH!! KENAPA AKU NGGAK DIBANGUNIN SIH?!”
“UDAH BERKALI-KALI, CHEOL, ABANG JUGA CAPEK BANGUNINNYA!!”
“KAMU NGGAK SARAPAN?!”
“AKU UDAH TELAT!” terburu-buru, dengan jaket seragam hanya disampirkan di badan yang dilapisi kemeja dan rambut hitam lurus membentuk riap-riap berantakan, Choi Seungcheol menuruni tangga. Derap kakinya berkumandang di rumah bertingkat dua merangkap toko beras tersebut. Saat dia menginjak dapur, yang sekaligus dijadikan ruang makan, ibunya tengah menggoreng telur, sementara kakak lelakinya sedang meneguk segelas besar susu dingin seperti biasa. Ayahnya pasti sudah menjaga toko sejak pagi buta, memastikan karung-karung beras yang baru saja masuk tertata rapi di display paling depan. Anak lelaki bungsu keluarga Choi itu menyomot selembar roti bakar, kemudian lari pontang-panting keluar rumah. Namun, ia sempat mendengar ibunya berteriak dari dalam.
“CHEOL-AH, PULANG NANTI BELIIN TAUCO YA, NAK!”
“BELI SENDIRI AJA SIH, MA, KE RUMAH YOON?!”
“OH, GITU YA?! KAMU NGGAK USAH PULANG SEKALIAN YA!”
“KOK GITU, MAH?!”
“Ahahaha,” suara tawa tiba-tiba terdengar. Ketika Seungcheol menoleh, ada sesosok anak lelaki berambut agak panjang berwarna pirang. Yoon Jeonghan, anak toko spesialis rempah dan bumbu masak, Ketua OSIS dan teman sebayanya, hanya terpaut beberapa bulan saja darinya, sedang berjalan santai. Jujur, sampai sekarang, Seungcheol tidak tahu apa penyebab temannya itu bisa dipilih sebagai Ketua OSIS selain fakta bahwa nilainya menempati peringkat paling tinggi seantero sekolah. Sebelah alis Jeonghan terangkat melihat keadaan temannya saat ini: menggigit roti bakar, seragam asal timpa…sungguh stereotipikal protagonis shonen manga. Jadi ingin tertawa pakai hidung.
“Buru-buru banget?” ia menyapa dengan senyum mengejek. Sebelah tangan masuk ke saku celana. Berbeda dengan Seungcheol yang biasanya akan berpakaian cukup rapi apabila tidak dalam keadaan terburu-buru, Jeonghan sudah biasa ditemukan memakai kaus bebas di bawah hamparan jaket luarnya. Ia tidak suka mengenakan kemeja seragam, kecuali di musim panas. Tidak satu pun kancing ia kenakan, terlebih dasi. Jeonghan memang tidak pernah dikenal sebagai anak lelaki yang rapi sejak dulu. Sepatunya pun ia injak bagian belakangnya begitu saja.
“Kamu yang kelewat santai! Ini udah jam berapa, Hani?!” serta-merta, ditariknya pergelangan tangan si anak, tetapi ia bergeming. Walau ramping dan nampak lemah, sesungguhnya Jeonghan memiliki stamina dan keteguhan (baca: kemalasan) yang paling kuat di antara mereka semua.
Ia berdecak. “Dih, ogah. Aku kan Ketua OSIS. Bebasss~” selorohnya.
“Sombong!” Seungcheol mendengus kesal. Ia memutar tumit sepatunya. “Ya udah, aku duluan! Bye!” Berkata begitu, si anak bungsu Choi tancap gas menuju sekolah, tanpa sedikit pun menyadari kedatangan teman mereka yang lain dari pertigaan jalan yang buru-buru dilewatinya.
“Lho, Cheol?”
“Yo, Shua~”
“Hani?”
Hong Jisoo, alias Joshua, mendapati Jeonghan sedang melambaikan tangan sambil tersenyum padanya ketika ia menoleh. Meski tidak setetes pun berdarah Amerika, namun kakek buyutnya dahulu tinggal di sana sebelum pindah permanen ke kota ini, kemudian membuka kafe yang kini operasionalnya dipegang oleh orangtuanya. Sebagai anak tunggal, Joshua sejak kecil setia membantu usaha turun-temurun keluarganya itu, tanpa sadar mengembangkan minat (dan bakat) pada profesi barista, dan akibatnya, kafe mereka cukup dikenal dengan kopi lezatnya dan pelayan tampannya. Bahkan, kafe mereka pernah muncul di sebuah artikel majalah yang cukup populer.
Rambut abu-abu lembut tersisir rapi. Jaketnya sempuna. Kemeja dikancing hingga yang paling atas. Dasi tidak bergeser sedikit pun. Dan, tentunya, kacamata tipis sebagai pelengkap. Andai Jeonghan tidak mengenal anak lelaki itu luar dan dalam, mungkin ia akan berpikir betapa membosankannya Joshua.
Padahal, jika ada satu hal yang sangat ‘tidak Joshua’, maka itu adalah ‘membosankan’.
“Tadi Cheol kan? Kenapa dia buru-buru gitu, Han, kan masih ada waktu setengah jam lagi?” Joshua menelengkan kepala, bingung.
“Nggak tahu,” Jeonghan mengangkat bahu sambil lalu. “Mau pacaran kali.”
Mata Joshua membulat. “Hoho? Cheollie? Punya pacar?” dielusnya dagu sambil dipicingkannya mata penuh curiga. Lalu, ringisan mengembang di wajahnya. “Menarik. Patut diselidiki nih~”
“Huss! Udah sih, kasihan dia jadi bully-an kamu melulu,” Jeonghan mencubit main-main pipi Jisoo. Yang dicubit hanya terkekeh, sepenuhnya sadar bahwa Jeonghan tidak lebih baik dari dirinya dalam menjadikan Seungcheol bulan-bulanan. Setali tiga uang, mereka berdua ini. “Ngomong-ngomong, gimana persiapan pesta Halloween sekolah kita? Beres?”
“Beres lah~” dengan percaya diri, anak lelaki berwajah manis itu mengangkat dagu. Senyumnya agak pongah. Jeonghan hanya memutar bola mata, sudah paham betul sifat asli Joshua yang berbeda dari apa yang biasa dia tunjukkan di depan orang lain. Mereka berjalan bersisian. Hari itu, matahari bersinar lembut di bulan Oktober yang tenang. Angin bertiup agak dingin, membuat Joshua merapatkan jas seragamnya. “Aku udah set rundown acara tadi malam. Nanti di ruang OSIS aku kasih ke kamu. Intinya sih, anak-anak bakal dikumpulin di sekolah dari jam 6 sore. Mereka datang udah berkostum. Terus kita pesta di aula olahraga sampai jam 8 atau setengah 9 malam, tergantung kesepakatan sama Pak Kepala Sekolah nanti pas rapat.”
“Hmm…”
“Nah, dari situ kita pecah jadi 2 kelompok. Yang kira-kira punya jam malam dari orangtua atau yang sudah mau pulang, boleh pulang. Yang mau lanjut, bisa ikut acara trick or treat. Jadi aku set mereka dibawa ke jalan pertokoan kita buat kelilingin ruko-ruko penduduk sepanjang jalan ini. Pak kepala aliansi pedagang udah tahu dan setuju sih sama rencana kita ini, dan dia mau rencanain juga supaya meriah, nanti jalan dan toko-toko dihias gitu.”
“Hoho~” Jeonghan bersiul. “Seru nih~”
“Iya kan?” Joshua tersenyum makin lebar. “Terus setiap toko dipersilakan kasih produk khas mereka selain permen dan cokelat kayak biasa. Misalnya, toko kamu bisa kasih kudapan pakai rempah, atau kafeku bisa kasih segelas es kopi susu racikan spesial. Terus toko bunga Jihoon, misalnya, bisa kasih sekuntum carnation. Bebas aja.”
“Terus kalau mereka, atau keluarganya, atau teman-temannya, konsumsi, terus suka, mereka bisa balik lagi ke toko kita gitu ya, Shua?”
“Betul!” Joshua menunjuk penuh semangat.
“Dan kalau suka, mereka bakal cerita ke orang lain, lalu orang lain itu cerita ke orang lainnya lagi. Mungkin juga kabarnya sampai ke kota besar. Turisme meningkat. Wah, gila, ini ide bagus. Benar-benar khas Joshua Hong, Wakil Ketua OSIS kebanggaan sekolah!”
“Berisik ah,” ditinjunya perlahan lengan atas Jeonghan, meski nyatanya, Joshua tertawa tersipu-sipu. “Yah, tapi kita masih harus tunggu approval dari Pak Kepala Sekolah sih. Apalagi ini anak-anak bakal main sampai malam. Aku masih pesimis kita bisa dapat ijin.”
Mereka sampai gerbang sekolah. Anak-anak yang berdatangan masih cukup ramai. Mereka saling menyapa selamat pagi, terutama pada sang Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Tentulah Jeonghan dan Joshua balas menyapa dengan gayanya masing-masing di sela-sela diskusi mereka.
“Nggak lah, pasti disetujuin.”
“Kok kamu bisa yakin begitu, Hani?”
Yang ditanya tersenyum.
“Soalnya nanti aku yang bakal maju pas rapat sama Pak Kepala Sekolah.”
Dan Joshua tahu bahwa rundown yang ia buat semalam 99% akan terwujud.
“Jihoonie~ Nanti kamu pakai baju apa di pesta Halloween?”
Yang ditanya mendelik galak sesaat, lalu kembali menekuni kertas yang ia coreti sedari tadi. Menelengkan kepala dengan penuh tanda tanya, Wen Junhui, anak pemilik toko barang antik, yang terkenal di sekolah sebagai si ganteng-ganteng gesrek, mencoba mengintip isi dari kertas tersebut, hanya untuk diganjar oleh sebuah toyoran kepala kasar dari anak lelaki yang lebih pendek darinya itu. Karena sudah terbiasa, Junhui tidak marah, hanya cengengesan saja.
“Galak banget, Hoon~”
“Bagus, Ji! Toyor lagi! Yang lebih kuat!”
“Berisik, Wonwoo,” decakan lidah.
Yang disebut terakhir itu adalah Jeon Wonwoo, anak lelaki keturunan langsung penjaga kuil yang keluarganya kemudian membuka kuil kecil di jalan pertokoan yang kini adalah rumahnya, dengan kacamata bulat besar dan rambut hitam model membosankan. Dia dan Junhui tengah duduk mengerubungi meja Lee Jihoon, yang terpendek namun terseram dari Empat Sekawan.
Bukan, ini bukan cerita Blyton, mohon maaf.
Empat Sekawan sendiri sebenarnya merupakan julukan bagi empat anak lelaki di kelas dua yang terkenal oleh dua hal: keunikan dan ketampanannya. Betul, mereka memang memiliki wajah di atas rata-rata, tetapi mereka juga memiliki ciri khasnya sendiri: yang satu aneh bin ajaib, yang satu berisik, yang satu nerdus, dan yang satu menyeramkan. Kesamaannya, mereka semua introvert dan mereka semua sudah berteman sejak masih dalam kandungan.
Ya, selain ketiga orang yang telah kita jabarkan di awal cerita ini, ada empat orang lagi persis di bawah mereka dari segi usia. Kecilnya kota itu membuat semua penghuni sekolah tahu siapa-siapa saja yang termasuk ke dalam ‘Anak-anak Jalan Pertokoan’. Mereka yang teman serta tetangga sejak kecil. Mereka yang hubungannya sudah seperti saudara sendiri.
Mereka yang sering bertengkar satu sama lain tanpa sebab yang jelas, namun dengan cepat berbaikan kembali keesokan harinya.
“Lagi nulis lirik lagu, Hoonie?” berjalan santai menuju meja, Kwon Soonyoung tersenyum sampai matanya menyipit hampir hilang, tenggelam oleh pipinya yang tembam. Dia inilah yang boleh dibilang paling eksis di seluruh sekolah karena banci tampil, alias kalau ada kegiatan ramai-ramai atau semacamnya, dia pasti ikut dan pasti jadi pusat perhatian. Berisiknya sama seperti ayahnya ketika tengah menjajakan sake dagangan mereka.
Jihoon tidak menjawab. Alih-alih, disingkirkannya kertas itu, dilipat, lalu diselipkan ke buku catatan pribadinya. Susah kalau sudah kelewat ramai seperti ini. Menulis itu enaknya ketika suasana sepi, di atas atap sekolah sendirian, atau di pinggir sungai di bawah jembatan saat petang. Angin sepoi-sepoi bertiup, membaurkan dandelion hingga menari di sekitarnya, dan ada sebuah kincir kertas kecil, berputar abadi bagai memori, seolah tak berhenti…
“Eh, eh, enaknya pakai kostum sosis aja atau sosis pakai roti?”
“Sosis pakai roti tuh hotdog gitu ya maksudnya?”
“Jangan lupa hotdog-nya kasih selada sama timun, Junnie, biar tetap bergizi.”
“Won-ah, ini cuma kostum, please deh.”
“Aku nggak mau dinasehatin sama yang mau datang ke pesta pakai kostum harimau.”
“MOHON MAAF NIH, KAMU ADA DENDAM APA SAMA HARIMAU, HAH?!”
Jihoon mendesah. Seketika dia sakit kepala. Kumpulan orang-orang tolol alamiah, keluhnya dalam hati. Mungkin dibesarkan dikelilingi berbagai macam bunga membuatnya memiliki jiwa romantis yang lebih tinggi daripada teman-teman sebayanya. Dia pun berdiri, beranjak dari meja laknat itu untuk melakukan kegiatan favoritnya: menyepi.
Malam kian larut. Semua berjalan begitu cepat, meski bukan tanpa suka dan duka, terutama bagi Jeonghan dan Joshua (dan Seungcheol, mengingat dirinya lah korban pelepas stress kedua anak lelaki itu). Persiapan di sekolah, persiapan di pertokoan mereka…belum lagi memastikan nilai akademik mereka tidak terancam untuk bisa lulus dan melanjutkan ke jenjang berikutnya. Jujur saja, andai mereka bukan Jeonghan dan Joshua, mungkin mereka takkan mampu menyelesaikan itu semua.
Tapi, nyatanya, mereka mampu. Dan pesta kostum di aula olahraga sekolah berlangsung dengan riuh, namun menyenangkan. Joshua dengan kostum butler-nya tertawa manis di sebelah Jeonghan sang vampir, yang tak henti-hentinya menantang Seungcheol dalam kostum manusia serigala untuk adu minum dengannya, yang mana kemudian menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka untuk memulai sebuah pertandingan dadakan. Di luar dugaan Joshua, Seungcheol dan Jeonghan kalah dari anggota OSIS termuda mereka, Lee Chan.
Lee Chan adalah anggota OSIS yang baru saja mereka rekrut tahun ini, juga anak lelaki termuda dalam kelompok mereka yang merupakan calon penerus toko kue tradisional di jalan pertokoan. Jeonghan lah yang mengajak (baca: menculik) Chan agar mau menemaninya sebagai anggota OSIS. Sambil memutar bola mata, Chan menyetujui pintanya.
Persis di sebelah Chan, berdiri Kwon Soonyoung dalam kostum harimaunya dan Wen Junhui dalam kostum….err…apakah itu kostum hot dog lengkap dengan sayur? Yah well. Apapun yang mereka kenakan sebenarnya tidak masalah, selama masih berpakaian senonoh. Joshua hanya lega Soonyoung tidak datang ke pesta ini mengenakan kostum ‘sopan tapi bajingan’-nya yang kemarin sempat ia tanyakan pendapatnya pada Joshua.
Memutar kepala, Joshua bisa menemukan Kim Mingyu si anak penjaga toko bento, kostumnya seolah ia berusaha menjadi kepala geng motor, sedang berdebat kusir dengan Xu Minghao. Minghao ahli dalam jahit-menjahit dan ia tengah memarahi Mingyu yang mengenakan kostum berantakan di matanya. Ia sendiri mengenakan topi dan jas, menjadi mafia yang perlente. Joshua menghela napas. Sungguh tak ingin berada di antara mereka, ia melipir ke meja dimana terdapat mangkuk punch.
“Joshua~”
Ia menoleh dan menemukan seraut wajah tersenyum ceria seperti di emoji handphone. “Seokkie,” tersenyum, ia, pada anak lelaki yang mengenakan kostum….hah? Senyum Joshua langsung lenyap, digantikan kerut bingung di antara dua alis. “Mmm…Seok, kamu pakai kostum apa ya?”
Yang ditanya malah tersenyum makin lebar. “OOOH! Ini, aku pake kostum tukang ikan, AHAHAHA!” tawanya kencang, sampai mengundang perhatian dua orang tertentu dari seberang ruangan. Joshua melihat kedatangan mereka namun ia membiarkan saja, menunggu mereka sendiri yang mendekat.
“Tapi, Seok, rumah kamu kan memang toko ikan, gimana sih…,” lagi, diputarnya bola mata. Heran melihat kelakuan ajaib anak-anak yang tumbuh sejak kecil bersamanya itu. “Hai, Kwannie, Vernon~”
Boo Seungkwan datang dengan kostum jeruk. Lucu, tapi tidak praktis. Alhasil, dia menyeruduk Seokmin, membuat ia berdecak kemudian sengaja menggamit dan memutar si kostum jeruk. Choi Hansol, si anak pemilik toko hewan, hanya tertawa lepas melihat nasib si anak tukang sayur, sambil bertepuk tangan dalam kostum Harry Potter-nya.
Ketika Seungkwan mulai naik pitam dan membalas keisengan Seokmin, Joshua mengalihkan pandangan. Suasana di pesta sudah mulai surut. Jam di lengannya menunjukkan pukul 8 lewat 15 menit. Makanan dan minuman pun sudah berhenti dikeluarkan. Musik dari speaker besar masih berdentum, walau mulai sayup. Lantai dansa sudah sepi. Pesta yang berlangsung 2,5 jam itu sudah memasuki penghujung. Ia membaca angin, merasa yakin.
Joshua memutar kepala mencari Jeonghan. Tatap mereka bersirobok. Jeonghan mengangguk, yang dibalas dengan anggukan serupa dari Joshua.
Saatnya rencana dilancarkan.
Jihoon membuka mata.
Di atas poninya, ada kunang-kunang menempel, yang kemudian terbang ketika ia bergeser. Rerumputan menempel di pakaiannya: kemeja putih dan celana panjang putih sederhana. Kostum Halloween-nya hanya sebuah topeng cerpelai yang kini bertengger di dahinya. Saat ia berganti ke posisi duduk, tubuh bagian belakangnya terasa nyeri.
“Jihoon?” bunyi sepatu menginjak rumput beserta keresak semak.
Ia menoleh. Ternyata Wonwoo.
“Won?”
“Kamu ngapain di sini?” tanya si anak lelaki penuh heran. Tidak menyangka akan menemukan temannya sedang bermalas-malasan di halaman belakang kuil merangkap rumahnya. Yang ditanya hanya menggaruk bagian belakang kepala, sama bingungnya dengan Wonwoo.
“Hng,” Jihoon mengangkat bahu sambil lalu. Ia berdiri, ditepuknya dedaunan dari pakaiannya hingga bersih. “Anak-anak pada ke mana?”
“Kamu yang ke mana,” Wonwoo mendecak. Ia juga sudah berganti pakaian memakai kemeja dan celana hitam. Topengnya berbentuk rubah Asia dengan mata menyipit naik. “Dicariin dari tadi, malah tidur di sini. Tamu-tamu sudah pada datang tuh. Cepat siap-siap.”
Jihoon tidak menjawab, hanya mengangguk kecil lalu pergi menuju rumahnya sendiri.
Matanya menangkap pemandangan jalan pertokoan yang sudah ia kenal sejak lahir. Malam itu, semua nampak berbeda. Jihoon berlari. Rambut pirang hampir platinanya terurai diacak angin malam bulan Oktober yang dingin. Napasnya putih, mengepul jernih, meninggalkan jejak dalam gelap. Disulap, jalan di mana ia tumbuh, menjadi seperti di buku cerita anak-anak. Lampu sepanjang jalan itu sengaja dipasangi kaca sehingga menimbulkan kesan lampu minyak jaman Victoria. Hitam dan jingga mewarnai setiap sudutnya. Ada bongkah labu berwajah menyeramkan di depan kios cumi bakar (dengan celupan spesial terbuat dari labu yang dihancurkan), sedangkan yang dipajang di depan toko aksesoris justru labu berwajah lucu, hampir-hampir mengenaskan. Patung nenek sihir, laba-laba mainan lengkap dengan jaringnya, seprai-seprai dibentuk seperti hantu, peri kebun disorot senter dari bawah, tulisan-tulisan mirip balon kata bertajuk ‘BOO’ dan, tentu saja, ‘HAPPY HALLOWEEN’. Warga di sana tidak tanggung-tanggung dalam merias jalan pertokoan tersebut agar meriah.
Selayang pandang, ia menangkap sosok anak-anak yang tak terasa asing baginya. Tentu saja. Sekolah mereka terlalu sempit untuk tidak mengenal satu sama lain. Mereka bergerak dalam grup-grup kecil, antara 3-4 orang, menyusuri jalan pertokoan itu, mengetuk dari pintu ke pintu.
“TRICK OR TREAATT!”
Satu kelompok mengetuk pintu kafe keluarga Joshua, yang disambut dengan senyuman ramah ibunya. Benar-benar persis Joshua.
“Wah, peri-peri kecil yang manis~”
“Bukan, Tante, kami jadi Trio Hantu di Casper—”
“Nah, peri-peri kecil, Tante bakal kasih sekotak pai labu, tapi kalian joget dulu~”
“KOK GITU, TAN?!”
Jihoon mendengus geli. Benar-benar persis Joshua, hha. Kakinya masih membawanya berlari. Kelompok siswa di depan toko ikan malah ditakuti balik oleh ayah Seokmin, membuat mereka lari lintang-pukang. Bapak-bapak paruh baya itu tertawa terbahak-bahak, yang membuat istrinya memukulnya dengan centong nasi. Ketika mereka melihat Jihoon, mereka melempar sekotak sushi spesial berstiker tema Halloween di bungkusnya. Jihoon tersenyum, berterima kasih, lalu melanjutkan larinya.
Dia melihat teman-temannya, para anak lelaki yang telah ia kenal sedekat nadi di lehernya, melaksanakan tugasnya masing-masing. Mereka semua telah berganti pakaian dari kostum pesta menjadi kemeja putih dan celana panjang, antara hitam atau putih. Sebagai penanda bagian dari panitia terselubung acara trick or treat, masing-masing mengenakan topeng hewan. Jeonghan dengan topeng kelincinya memandu beberapa anak selama perjalanan, menjaga agar mereka tidak hilang. Minghao si topeng katak dan Mingyu si topeng anjing terjebak dalam diskusi akan kostum yang para siswa kenakan, meski detik berikutnya, ibu Mingyu menyuruhnya untuk berhenti bermain-main dan mulai membantunya menggoreng potongan labu, yang kemudian akan disiram madu dan wijen sebagai kudapan untuk dibagikan. Seungkwan, si topeng biri-biri, terdengar sedang memarahi seorang anak yang menolak sajian khas tokonya, yakni sebotol mini jus sayuran.
“Ini tuh sehat! Ginian aja kamu pilih-pilih, gimana nanti kamu pas mau kawin??”
“Hubungannya dimanaaa…”
Semua. Semua yang ia kenal. Udara yang ia hirup. Wajah yang familier. Suara tawa dan keriuhan malam itu akan ia kenang tiap kali ia menutup mata. Jihoon tahu, walau sering ia melayang keluar dari realita ke dunia imajinasi khayalannya, menolak tegas pelukan Jun, mendelik galak pada senyuman jahil Wonwoo, atau menepis tangan Soonyoung dari tangannya, ia tahu,
bahwa ia sudah terikat dalam untai benang takdir bersama 12 anak lelaki itu.
Selamanya.
“Trick or treaatt!”
“Haloo,” senyuman ceria dari seorang wanita. “Wah kalian lucu sekali~ Silakan~” Dibagikannya sebuket kecil cosmos warna putih, pink lembut, dan ungu tua. “Bisa juga untuk Ibu atau pacar kalian~”
Anak-anak itu menghirup buket di tangan mereka, tersenyum lebar, berterima kasih dengan tulus sebelum melanjutkan perjalanan. Mereka mengayunkan lengan tanda perpisahan pada wanita itu, yang dibalas dengan lambaian tangan. Kemudian, wanita itu menghela napas.
“Jihoon ke mana ya…padahal buketnya dia yang buat satu-satu…”
“Mungkin dia main sama teman-temannya, Mah,” tawa seorang pria terdengar dari dalam. Lalu mereka masuk kembali sambil mengobrol.
Lee Jihoon menonton itu semua dari tempatnya berdiri di balik tiang listrik. Tersenyum lemah, ia memutar tumit dan berjalan menjauh.
Menit-menit berlalu. Pintu yang diketuk hampir tak terhitung lagi. Tas blacu yang mereka bawa sedikit demi sedikit terisi penuh oleh aneka makanan dan minuman. Kaki mereka sudah mulai letih. Tidak sedikit yang memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil mencemili kudapan yang mereka dapatkan. Beberapa bahkan mengucek mata serta menguap lebar. Euforia pesta serta perjalanan panjang menyusuri jalan pertokoan sukses menimbulkan kantuk.
Adalah Wonwoo yang pertama menyadari sebuah keganjilan. Ia sedang duduk di pinggir jalan, menemani kelompok yang ia bawa sambil mengobrol ngalor-ngidul, ketika ia melirik ke jalanan di belakang kepala lawan bicaranya dan melihat sesuatu…seekor, tepatnya. Seekor kucing meloncat dari tembok ke jalan, menapak dengan santai, hampir-hampir elegan. Bulunya pendek berwarna abu-abu dan matanya biru terang. Kucing itu mendekat, memandang Wonwoo balik, lalu mengeong.
Wonwoo mengerjap beberapa kali. Ia tahu kucing itu. Kenal, bahkan. Tidak mungkin salah membedakan, karena kucing itu memiliki pitak berbentuk bulan sabit di atas mata kanannya. Hasil berkelahi dengan kucing garong dahulu kala.
Itu kucing di kuilnya. Yang telah mati 2 tahun yang lalu.
Di tempat lain, anak-anak lelaki jalan pertokoan juga menyadari keganjilan serupa. Choi Hansol terperangah ketika ia hampir saja menginjak seekor kura-kura yang rupanya piaraannya saat SD sebelum mati 5 tahun kemudian. Mulutnya membentuk huruf ‘O’ besar untuk beberapa saat, sebelum dengan gembira, senyumnya merekah, lengkap dengan gusi dan geliginya yang putih sempurna.
Hong Jisoo tidak sengaja menabrak punggung seseorang, meminta maaf secara refleks, namun kemudian membeku ketika orang itu berbalik. Bagaimana tidak, bila yang barusan ia tabrak adalah ayahnya yang telah dikubur ketika ia masih berusia 6 tahun. Matanya menatap lembut Joshua seakan menyimpan rindu teramat dalam pada anak semata wayang yang ia tinggalkan terlalu dini itu. Joshua, terlalu terkejut, tidak menyadari bahwa air matanya telah menetes perlahan, dan mereka hanya berdiri berhadap-hadapan dalam diam.
Sama halnya dengan Seungkwan, yang tengah menangis sesengukan sambil memeluk erat sosok tua bertubuh pendek gempal dan berwajah amat ramah. Nenek kesayangannya yang harus ia relakan kepergiannya 3 tahun yang lalu kini berada dalam pelukannya. Masih seperti ketika Seungkwan mengenangnya.
Tetapi, sungguh sayang, tidak semua menemukan wajah familier di hadapan mereka. Seokmin sedang menghitung jumlah peserta kelompoknya ketika hitungannya kelebihan 1 kepala. Anak yang paling takut dengan segala jenis horor itu pun meneguk ludah, dengan ragu meminta si kepala berbalik dan…
“AAAAHHHHHHH!!!”
Grupnya, berikut Seokmin, lari kocar-kacir ketika kepala itu berbalik mendadak, memamerkan mata yang melotot serta bibir yang terbelah terlalu lebar hingga ke telinga. Kepala itu tidak berbadan. Seokmin tidak lagi memikirkan apa-apa selain ia harus segera lari dari situ. Secepatnya. Malang nian nasib si anak lelaki karena tidak ada satu tempat pun yang bisa memberikan rasa aman padanya. Ke mana ia mengarah, makhluk itu mengikutinya.
Sampai suatu ketika, Seokmin tidak lagi merasa ia sedang diburu. Kakinya berhenti, berusaha menarik napas walau masih terengah-engah. Ia menoleh ke belakang. Nihil. Hanya ada langit malam dan kesunyian. Menghela napas, Seokmin kembali menatap depan—
Kepala itu tiba-tiba muncul tepat di depan matanya. Tertawa nyaring. Seokmin gemetar seluruh badan, hampir pingsan. Keringatnya membanjir dan mukanya pucat pasi. Makhluk itu begitu dekat, mulutnya membuka lebar, memamerkan taring-taringnya yang haus akan darah. Seokmin sudah tak mampu berpikir, hanya bisa pasrah menerima takdir. Ia akan dimakan, ditelan mulai dari ubun-ubun…
“SEOK!”
Seungcheol menyambit mahkluk itu dengan kantung isi permen di tangannya. Meski tidak membunuh si makhluk, setidaknya ia mampu mengalihkan perhatiannya dari Seokmin. Kesal karena diganggu, makhluk itu berbalik, mengganti buruannya menjadi Seungcheol, yang malah memancing agar makhluk itu mengejarnya. Si anak lelaki memeletkan lidah, hampir-hampir terkesan ceria harus berkejaran dengan makhluk dunia lain. Jeonghan langsung melingkarkan lengannya ke leher Seokmin, menggeretnya keluar dari jalan utama dan masuk ke gang kecil di antara toko alat tulis dan toko tahu. Disandarkannya Seokmin ke tembok bercat putih.
“Seok! Seokkie! Kamu nggak apa-apa?”
“Itu apa-itu apa-itu-itu-“
“Seok!” ditepuk-tepuknya pipi anak itu, namun sia-sia. Jeonghan perlu membawa Seokmin pergi. Selain Seungcheol dan dirinya yang lebih cepat sadar, ada Mingyu, Minghao, dan Chan yang sedang berpencar untuk menyelamatkan peserta dan mengumpulkan panitia yang lain. Jeonghan memutar kepala, mencari celah teraman untuk mereka kabur, namun napasnya terkesiap saat disadarinya ada sesuatu memandangi mereka dari atas, tepat di arah jam 12. Ketika Jeonghan mendongak, sepasang mata merah di tengah kegelapan telah mengunci mereka berdua sebagai targetnya. Mata merah itu menyipit, seakan-akan sedang tersenyum lebar. Jeonghan bergidik dibuatnya.
Dan ia hanya butuh waktu 3 detik untuk otaknya berteriak ‘lari!’ dan kakinya menuruti.
“Kalian semua sudah di sini?!”
“Gimana para peserta?!”
“Hei, lihat, gengs, ini kura-kura yang aku certain dulu itu lho~”
Jun memutar bola mata. Memang Hansol tidak ada duanya dalam divisi Tidak Bisa Membaca Situasi. Tetapi, melihat wajah ceria anak itu, ia tidak mengucapkan apa-apa, hanya menepuk perlahan pundaknya. Jun memandang mereka yang ada di sana. Trio yang paling tua—Seungcheol, Jeonghan, Joshua—bergerak gesit membagi tugas untuk mengamankan para peserta. Mereka mengetuk pintu tetangga mereka, meminta tumpangan menginap untuk malam ini. Anak-anak yang lebih muda membantu mereka bertiga, membawa teman-teman sekolah mereka ke berbagai toko. Tentu tidak luput toko rangkap rumah mereka sendiri.
Malam sudah larut. Wajar jika ketukan pintu mereka tidak langsung dibuka. Para penghuni jalan pertokoan segera membuka pintu ketika dilihatnya siapa yang mengetuk dan menyuruh anak-anak itu masuk sebanyak yang rumah mereka bisa tampung. Yang tidak muat, dipindahkan ke rumah berikutnya. Ke-13 anak lelaki itu bergerak efisien. Tidak perlu berebut ucapan siapa yang harus dituruti. Tidak perlu bertengkar yang tidak perlu. Masing-masing bagai tahu tugasnya. Seungkwan dan Seokmin tidak bisa membantu banyak, karena mereka lah yang paling ketakutan. Apalagi, nenek Seungkwan mendadak lenyap ketika ia masih menangis memeluknya. Soonyoung meraup leher bagian belakang kedua anak lelaki itu dan menarik kening mereka bersandar ke sisi kepalanya, mencoba menenangkan tangis keduanya.
Wonwoo yang pertama mengernyit, menyadari satu hal.
“Jihoon nggak ada.”
Seungcheol mengangkat kepala. Refleks, ia menghitung jumlah para panita. Wonwoo benar. Jihoon tidak ada. Ia hendak bergerak, kembali ke kegelapan malam demi menemukan anak lelaki itu, ketika dari balik sebuah belokan, Jihoon muncul.
“JIHOON!” Seungcheol memanggilnya. Jihoon, kaget, menoleh. “SINI! KAMU KE MANA AJA SIH?!”
Jihoon memandang Seungcheol, menunduk menatap sepatunya, lalu tersenyum kecil. Ia berlari menghampiri kumpulan tersebut. “Di luar sana bahaya! Kita harus tetap bersama-sama!” Seungcheol mengacak rambut pirang platina Jihoon. Kelegaan nyata terpampang di wajahnya. “Ayo, kamu bantu yang lain! Anak-anak ini harus kita amanin.”
“Emangnya ada apaan sih?”
“Aku juga nggak begitu paham, tapi ada makhluk-makhluk, Hoon.”
“Makhluk-makhluk?”
Seungcheol mengangguk penuh semangat. “Hantu, mungkin. Setan. Aku juga nggak bisa nyebut mereka apa. Pokoknya serem.”
Alis Jihoon agak terangkat, seakan ia tertarik akan topik ini. “Oh ya?” ucapnya. “Tapi harusnya nggak serem kan? Palingan juga arwah-arwah lama. Kuburan di kota ini cuma ada satu dan isinya nenek moyang kita.” Sengaja ia menatap Wonwoo, yang dibalas langsung oleh anak itu.
“…,” Wonwoo membetulkan letak kacamatanya. “Nggak juga. Nggak semua orang-orang itu meninggal dengan tenang, Ji. Lebih sering menyesal, malah, dan penyesalan ini…” Wonwoo berhenti bicara saat ia sadar ia jadi pusat perhatian. Jalanan kini tidak lagi terisi mereka dan peserta semata. Para warga juga mengalir keluar setelah mendengar penjelasan bercampur kepanikan dari mereka semua. Percaya tak percaya, mereka siap melindungi anak-anak itu.
“Penyesalan ini…kenapa, Won?” Jihoon menyipitkan sebelah mata.
Wonwoo mengedikkan bahu, sebelum ia menatap Jihoon lekat. Menantangnya.
“Penyesalan ini bermanifestasi menjadi makhluk-makhluk yang, katakanlah, tidak terlalu menyenangkan untuk ditemui,” ia mengucapkan kalimat itu lambat-lambat, memastikan semua orang, terutama Jihoon, menangkapnya. “Dan tidak ada yang lebih menyenangkan bagi mereka selain merobek daging dan meminum darah kalian.”
“Won!” Soonyoung menyikut sahabatnya, namun Wonwoo bergeming.
“Terserah kalau kalian tidak percaya,” ia membenarkan kacamatanya lagi. “Tapi itulah akhir dari manusia yang meninggal dengan penyesalan, menjadi seonggok makhluk yang membalas dendam, iri, pada mereka yang masih hidup.”
Suasana senyap untuk sesaat.
“Kalau yang nggak menyesal…,” Jihoon meneguk ludah. Terkejut oleh pertanyaannya sendiri. “…gimana?”
Wonwoo balik memandangnya, lama, sebelum sebuah senyuman kecil mengembang di wajahnya. “Kura-kura Hansol.” Ia menunjuk makhluk di pundak si anak. “Anjing piaran Mingyu.” Lalu ke makhluk dalam pelukan Mingyu. “Kudengar Seungkwan ketemu neneknya, memeluknya penuh rindu, masih tetap hangat dan lembut seperti dulu, katanya.”
“….”
“Itulah yang terjadi kalau manusia meninggal tanpa penyesalan. Relakan, Jihoon…” Wonwoo hampir berbisik.
Jun dan Soonyoung bergantian memandang Wonwoo dan Jihoon. Bagaimana Wonwoo menatap Jihoon seakan ia paham akan sebab Jihoon tampak amat gugup. Jun menghela napas lalu pura-pura mencekik leher Wonwoo dengan satu lengannya. “Sudah, sudah, ayo lanjut amanin anak-anak itu,” ajaknya untuk meredakan ketegangan di antara mereka.
“Betul! Ayo, Jihoon, kamu bantu aku!” Soonyoung pun tak kalah cepat, meraih tangan Jihoon dan mengajaknya menjauhi Wonwoo. Meski ragu, Jihoon membiarkan Soonyoung menggeretnya.
“Itu apa tadi, Won?” bisik Jun diam-diam ketika punggung kedua sahabat mereka telah menghilang di kerumunan orang.
Wonwoo menghela napas. Ia memencet kedua kelopak matanya kuat-kuat dan, ketika tangannya ia jauhkan, Jun kaget melihat ada jejak air mata di sana. Dan sebagai jawaban, Wonwoo hanya memberikan satu kalimat singkat.
“Nanti juga kamu tau, Junnie.”
Yang justru membuat anak lelaki itu makin bingung.
Entah waktu sudah berlalu berapa lama. Tak ada tanda-tanda makhluk-makhluk asing itu muncul kembali. Mereka pikir keadaan sudah normal kembali. Para peserta aman di rumah para warga, sementara yang mampu masih berpatroli di sekitar dengan berbagai macam senjata domestik: panci, wajan, pemukul baseball, tongkat pancing, apapun yang bisa mereka gunakan untuk membela diri, walau mereka tak tahu apakah bisa memusnahkan makhluk-makhluk itu. Tak terlepas juga ke-13 anak lelaki yang bersiaga di sana. Kantuk dan letih menggerogoti mereka, namun ditahan sebelum mereka memastikan bahwa semua telah baik-baik saja.
Mingyu mulai bergerak gelisah. Minghao yang tidak semenit pun meninggalkan sisinya, mengangkat sebelah alis. Ketika tatap mereka bersirobok, Mingyu merona merah. Minghao tertawa geli lalu menyuruh temannya itu untuk menuntaskan haknya buang air kecil. Masih malu, Mingyu menggumam rendah kalau ia akan segera kembali dan berjalan ke rumah warga terdekat. Ia melewati gang sempit sambil lalu, terlalu terpaku pada rasa kebeletnya, ketika sebuah tangan hitam berkuku panjang merenggut lehernya dari belakang dan tanpa ampun menyeretnya masuk ke dalam kegelapan.
Mingyu boleh dikatakan yang paling kuat di antara mereka dengan badannya yang tinggi tegap dan otot-otot yang terbentuk, namun cengkeraman tangan itu begitu kokoh di lehernya. Tubuhnya terangkat hingga melayang. Ia mati-matian mencakari tangan itu. Udara mendadak begitu tipis. Batang tenggorokannya ditekan kuat. Sakit. Sakit! Cakarannya yang ganas tanpa henti membuat pemilik tangan itu menggeram kesal dan melonggarkan cekikannya pada leher Mingyu. Anak itu mengambil kesempatan tersebut untuk meraup udara banyak-banyak dan berteriak sekuat tenaga.
“TO-TOLONG!!”
Semua orang seketika menegang. Minghao yang bergerak terlebih dahulu, refleksnya lebih cepat daripada proses otaknya, sebab ia kenal betul suara itu di luar kepala. Melihat Minghao mengarah ke satu tujuan pasti, mereka semua mengikutinya berbondong-bondong. Beberapa yang lebih berkepala dingin, termasuk Joshua, Wonwoo, Jeonghan, Hansol, dan yang terlalu takut untuk bergerak seperti Seokmin dan Seungkwan, memutuskan untuk tinggal dan berjaga. Wonwoo melirik ke arah Jihoon yang juga tidak bergerak dari tempatnya berdiri, hanya memandangi arah tujuan kelompok itu.
Sepatu Minghao berdecit karena ia berhenti tiba-tiba. Di muka gang sempit, Mingyu meronta putus asa di udara. Sebuah tangan tengah mencekiknya.
“GYU!”
Mingyu membuka satu mata. “H-Hao…,” keluar amat kering, bagai pasir. Ia sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan. Persediaan udaranya kian menipis. Sebentar lagi otaknya takkan berfungsi. Jantungnya pun—
Minghao merunduk, memasang kuda-kuda dengan gesit, bersiap untuk menyerang tangan misterius itu, tak peduli apakah justru dirinya yang akan terluka atau malah tidak bisa menyentuh makhluk itu sama sekali.
“HAO!” itu suara Jun. Minghao mematerikannya, namun tak mengindahkannya. Pikirannya hanya terpusat pada Mingyu yang mulai lemas tak bisa bernapas. “HAO! JANGAN!”
“DIEM, JUN! INI NYAWA GYU!”
“BUKAN! MAKSUDKU—“ Jun frustasi. Lidahnya hampir tergigit karena ia berucap terburu-buru. “LIHAT ATAS, HAO!”
Atas…?
Mau tak mau, Minghao mendongak.
Persis di atas kepalanya, banyak arwah bergentayangan. Bola api berwarna putih melayang kesana-kemari. Arwah-arwah manusia yang berdiam diri, tak bergerak memandangi makhluk di dalam kegelapan. Lebih dari takut, anak lelaki itu terpana. Mereka berwarna putih, beberapa bahkan semi-transparan, dari ujung rambut hingga ujung kaki, membiaskan pemandangan langit malam berbintang yang indah di balik tubuh mereka.
Minghao secara refleks mundur beberapa langkah ketika arwah-arwah itu menyerang si makhluk. Menggigit, mencakar, memaksa tangan itu melepaskan si anak lelaki yang ia gantungkan nyawanya. Beberapa arwah binatang harus rela dirobek tubuhnya dan darahnya tumpah ke dekat kaki Minghao. Yang satu merelakan lengannya tercabik agar arwah yang lain dapat menggigit lepas salah satu jari hitam si makhluk. Mereka semua bergulat di antara merah darah dan bagian-bagian tubuh yang putih, meninggalkan Minghao menelan ludah dalam keraguan, begitu juga dengan kumpulan orang di belakangnya. Ia kira ia bisa mendengar Seungcheol atau Chan muntah ke pinggir jalan.
Saat terdengar pekikan kencang dan kering seperti kuburan, makhluk itu pun tumbang, tidak lagi berjari. Tangan besar itu menggeliat ganas sebelum mendadak berhenti total, lalu menjadi serpihan kecil debu yang tersapu angin. Mingyu dibawa turun perlahan oleh para arwah untuk direbahkan ke jalan. Minghao menguatkan dirinya untuk berlari menghampiri Mingyu, berusaha menutup mata akan bercak darah dan potongan tubuh yang ia lewati.
“Gyu! Gyu!” ia menepuk-nepuk pipinya sambil komat-kamit berdoa. “GYU!”
“Hao!”
Teriakan Jun, lagi-lagi, menyadarkannya. Minghao dan Mingyu ada di tengah lingkaran arwah. Mereka semua menatap kopong padanya. Meski mereka telah menolong Mingyu, Minghao tidak tahu apakah mereka aman baginya. Bisa saja kali ini mereka berbalik menyerangnya. Ia sudah siap, tanpa berpikir dipasangnya kuda-kuda. Apapun yang terjadi, ia harus membawa Mingyu keluar dari sini. Apapun, apapun…
“Xiao ba…”
Minghao menahan napas. Hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu. Sesosok arwah berjalan maju, keluar dari lingkaran, mendekatinya. Perlahan tapi pasti, sosok itu kian jelas. Tubuhnya terbentuk. Rambutnya yang panjang dicepol. Lalu wajahnya…
…Oh.
Tentu saja.
“…Mama…”
Wanita itu tersenyum lembut. Minghao sesaat melupakan Mingyu untuk menghampiri arwah ibunya dan memeluknya erat. Ia berusaha agar tangisnya tidak tumpah, karena ibunya selalu bilang kalau ia akan sedih melihat Minghao menangis, namun ia gagal dengan suksesnya. Bulir air matanya berjatuhan. Ibunya masih sama seperti 10 tahun yang lalu. Pelukannya masih hangat. Aromanya masih harum lavender. “Mama….Mama…,” anak lelaki itu terisak sejadi-jadinya. “Kangen…” Tidak ada satu hari pun ia lewati tanpa mendoakan arwah ibunya di altar yang dipasang di ruang keluarga mereka.
Mendadak terdengar bunyi tercekat dan kelontangan. Minghao menoleh dengan pipi masih bersimbah tangis dan ia melihat bagaimana orang-orang mulai memeluk dan menangis ketika masing-masing arwah mendekati mereka. Seungcheol menutup wajah bagian bawahnya di depan sosok seorang gadis. Matanya merah dan basah. Mendiang pacarnya, pikir Minghao otomatis. Chan dan Jun tidak didatangi arwah manapun karena keluarga Chan tidak ada yang dikubur di sini dan Jun tinggal sendirian setelah orangtuanya pindah ke Cina untuk menemani adik lelakinya, meninggalkan Jun meneruskan usaha keluarga di luar jam sekolahnya. Mereka berdua mendekati Mingyu.
“Gyu, bangun!” Jun menepuk-nepuk pipi Mingyu.
Chan menaruh telunjuknya di bawah hidung Mingyu.
“Napas sih,” ujarnya. Sepertinya hanya pingsan karena kekurangan oksigen. “Apa perlu kita siram air—“
“GUK GUK!!”
Itu arwah anjing piaraan Mingyu. Anjing kecil dan gemuk itu berlari senang, lalu meloncat bebas ke perut majikannya, mendarat berat dengan membawa beban lemaknya.
“GUUHH!!”
“MINGYU!!”
“Whoa…jadi itu cara bangunin orang versi arwah…,” Chan menggumam.
“ANJIR, SIAPA SIH?! SAKIT TAU!”
“MINGYU!!”
Si anak lelaki belum sepenuhnya sadar ketika Minghao menubruknya, lengan melingkari lehernya sekuat tenaga. Seharusnya Mingyu trauma karena ia baru saja hampir mati tercekik, namun mendengar suara bergetar sahabatnya di telinga, menuturkan ‘syukurlah’ tanpa henti, dan bagaimana pelukannya semakin erat, Mingyu hanya bisa tersenyum dan menangkup bagian belakang kepala Minghao, mengelusnya pelan.
Sementara itu, para arwah juga menyambangi mereka yang tadi tetap tinggal di tempat untuk berjaga. Joshua bertemu lagi dengan ayahnya, kali ini ia mendorong ibunya untuk ikut bertemu mendiang suaminya. Wanita itu menutup wajahnya, tersedu-sedu, dan Joshua terus memeluknya, sampai ayahnya melingkari lengannya pada mereka berdua. Jeonghan tersenyum menonton bagaimana keluarga kecil itu berpelukan melepas rindu. Ia sendiri menggengam tangan arwah adik perempuannya yang tewas tenggelam ketika masih kecil. Seungkwan tersenyum lebar menemui neneknya lagi bersama kedua orangtuanya. Hansol dan adik perempuannya memainkan si arwah kura-kura di pundaknya, mengajak Seokmin yang masih ketakutan untuk ikut bermain.
Arwah kucing Wonwoo melingkari kakinya, mendengkur minta dimanja. Wonwoo mengangkatnya lalu mengarahkannya pada Jihoon. “Ini,” di belakang Jihoon, ia melihat orangtua Jihoon tergopoh-gopoh menghampiri anak lelakinya.
“Buat apa?” Jihoon mengernyit.
“Aku mau kalian temenan.”
Wonwoo tersenyum ketika Jihoon, masih mengernyit, menerima kucing itu dalam pelukannya. Ia berbalik ketika ibunya membombardirnya dengan pertanyaan dan usapan penuh sayang, sedangkan ayahnya mengacak rambutnya, sedikit memarahi anak semata wayang mereka agar jangan lagi membuat ibunya khawatir begitu. Jihoon hanya tersenyum kecil sebelum mengangguk.
Hari itu tanggal 31 Oktober. Malam tanpa awan dimana bintang berkerlap-kerlip. Ketika makhluk-makhluk penyimpan dendam kalah oleh mereka yang disayangi dan menyayangi orang-orang yang mereka tinggalkan. Ketika penyesalan tidak akan pernah menang dari kerelaan. Ketika cinta menolong nyawa yang hidup dari angkara si mati.
“Hei, lihat…,” anak-anak sekolah yang bersembunyi di rumah pun mengintip dari jendela-jendela yang terbuka, terlalu terpukau untuk ketakutan oleh pemandangan yang mustahil terjadi.
Para warga jalan pertokoan berpesta pora bersama para arwah. Suami, istri, ayah, ibu, kakak, adik, anak, cucu, nenek, kakek, teman, pacar, hewan peliharaan…semua yang bernyawa dan pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Mereka tertawa, menangis, menari dan memeluk.
Perayaan Halloween yang tiada duanya.
Seperti semua kisah dimulai, maka semua kisah tentu harus diakhiri. Malam pun berubah menjadi pagi. Ketika semburat sinar mentari pertama menyinari jalan pertokoan, para arwah berhenti berpesta. Kemudian, salam perpisahan ditukarkan. Kecupan di pipi. Tangis yang turun lagi. Pelukan yang tak sudi dilepas. Jari-jemari yang baru terpisah di ujung. Mereka berjalan satu persatu menuju satu-satunya tempat mereka kembali tertidur lelap. Kuil keluarga Jeon merangkap kuburan kota itu.
“Jaga ibumu…,” ayah Joshua mengelus pipi anak lelakinya, mengecup ujung hidung istrinya, sebelum melepas topi yang ia kenakan untuk berpamitan dan berbalik pergi.
Kura-kura Hansol menumpang punggung anjing piaraan Mingyu yang menggoyangkan ekornya, berlari senang menuju kuil. Tapi kemudian ia berhenti berlari, memutuskan untuk berjalan di samping nenek Seungkwan, menjaganya bagai pelindung. Nenek Seungkwan tertawa, lalu mengusap kepala anjing ramah itu.
Jeonghan meringis ketika Seungcheol mencium bibir pacarnya untuk terakhir kali. Mereka berpegangan tangan. Tidak ada tangis di sana, hanya senyuman dan bisikan rendah yang sarat akan rindu. Pacarnya mengingatkan Seungcheol untuk menjaga baik-baik pacarnya yang sekarang. Seungcheol berjanji, mengaitkan kelingking mereka. Gadis itu mengecup pipinya lagi, kemudian melambai dengan senyum termanis yang pernah Seungcheol lihat. Bersama dengan adik perempuan Jeonghan, kedua gadis itu berjalan berpegangan tangan.
Ibu Minghao berdiri di depan anak lelaki dan suaminya, memandang mereka lembut tanpa suara, sampai Minghao tiba-tiba saja membungkukkan badan. “Terima kasih karena sudah melahirkanku, Mama…,” lagi, air mata berderai. “Terima kasih sudah menjadi ibuku…” Susut ingus terdengar. Ibunya tersenyum. Dikecupnya puncak kepala Minghao, lalu ia balas membungkuk. Ketika Minghao tegap kembali, ibunya membungkuk sejenak untuk pamit pada mereka berdua. Tangan ayahnya meremas pundak Minghao, balas membungkuk sambil menangis pada istrinya. Wanita itu berbalik dan menjauh.
Mereka semua terdiam memandangi arwah-arwah itu berjalan pergi. Suasana terlalu khidmat untuk dirusak oleh perkataan seseorang. Meskipun begitu, Wonwoo memutuskan untuk angkat bicara.
“Jihoon,” didekatinya sahabatnya yang masih memeluk kucing Wonwoo. “Ayo pulang.”
“Oh,” seolah ia baru sadar ada kucing Wonwoo bersamanya. “Sori, sori. Aku lupa kucing kamu juga harus pulang.”
Wonwoo menggeleng.
“Lee Jihoon,” dipegangnya pergelangan tangan anak itu. “Sudah pagi. Kamu juga harus pulang. Aku anterin.”
…..
“…Eh?”
Jihoon mengerjap dua kali. Ada tarikan napas kencang. Wonwoo menduga itu Jeonghan karena daya tangkapnya jauh lebih cepat dari siapapun. Orangtua Jihoon memproses itu semua untuk beberapa saat…lalu mata mereka membelalak.
“W-won…? Maksud kamu…apa..?” Soonyoung mendesak jawaban.
“Kamu lupa, Ji? Aku nemuin kamu di halaman belakang kuilku kemarin sebelum acara mulai,” Wonwoo tertawa kering. Ia menghela napas dengan berat. Terkadang, ia benci sekali dengan kemampuannya ini. Takdir memang terlalu kejam dengan melahirkannya sebagai keluarga penjaga kuil dan indra keenam sekaligus. Sudah cukup ramai kuil utama setiap malam sampai ia susah tidur, ia tidak perlu menjadi orang pertama yang menyadari bahwa sahabatnya…
“Kamu nggak inget?” lanjutnya. Matanya letih, berbalur sembab. “Aku nemu jasad kamu di semak-semak itu. Bagian belakang tengkorak kamu retak. Makanya dengerin kata ibu kamu, kata aku juga kadang-kadang, kamu jangan menyendiri mulu. Kalau mau nulis lagu tuh di tempat yang ada Jun, ada Soonyoung, ada aku—“
Wonwoo tercekik tangisnya sendiri. Ia sudah tak bisa menahannya lagi. Tangisnya tumpah. Suaranya serak.
“—a-aku nggak tau orangtua kamu mau kamu dibakar atau dikubur, jadi untuk sementara tadi keluargaku nguburin k-kamu—“
Ibu Jihoon menggelengkan kepala, juga menangis menggerung. Lolongannya tak percaya. Ayahnya memeluk ibunya erat. Jihoon mengernyit memandang mereka. Dan ketika ia menoleh ke para sahabatnya, mereka juga menangis tersedu-sedu. Wonwoo mengusap matanya dengan punggung tangan, menaikkan kacamatanya dalam proses. Tangan yang lain mengambil buku catatan kecil yang sangat familier bagi mereka.
“B-buku lirik k-kamu—“
….Oh.
Jadi betul ya, kalau ia sudah tewas? Secepat ini? Dia tahun depan lulus lho. Sudah berniat pergi ke kota besar dan belajar menjadi komposer. Baru saja restu ibunya turun awal tahun ini, membuatnya lebih rajin menulis lagu di kala senggang. Jun masih hutang janji mengajaknya jalan-jalan ke kampung halamannya sebagai pesta perpisahan mereka. Wonwoo juga sekolah ke kota besar nanti setelah lulus, mau jadi penulis, katanya. Ada celetukan ide kalau menyewa tempat berdua sepertinya lebih murah daripada tinggal sendiri dan Jihoon masih mempertimbangkan ide itu. Dan Soonyoung—
Soonyoung.
Jihoon berbalik ke sahabatnya dan menemukan anak lelaki itu tangisnya membanjir. Ingusnya turun, wajahnya sungguh merah. “Bohong kan…? Jihoonie…?” tanyanya putus asa. Jihoon tidak tahu harus berekspresi apa, karena toh ia sendiri masih tidak percaya, masih tak bisa memproses ini semua. Tapi, anehnya, tak ada rasa penyesalan sama sekali.
“Soonyoungie…ini buat kamu,” diserahkannya buku catatan itu. Soonyoung menerimanya dengan gemetar kentara. “Kamu mau ke kota kan? Jadi dancer di sana? Aku selalu tau kamu pasti sukses karena kamu berbakat. Nanti kalau tinggal sama Wonwoo, ingetin dia buat selalu makan yang bener. Kalau Jun jadi pulang kampung, tolong ceritain ke aku bener nggak apa yang dia bilang selama ini soal kampung halamannya.”
Sesengukan terdengar dari mana-mana.
“Nariin lagu aku ya, Soonyoungie?”
Soonyoung tak bisa menjawab. Isaknya keras. Ia tak mau dengar. Tak mau menerima sahabatnya telah pergi begitu mendadak. Tapi ia harus dengarkan, karena ini mungkin permohonan Jihoon yang pertama dan terakhir baginya. Jihoon memeluk dan mengecup ibunya, yang masih belum menerima kenyataan ini. Ayahnya merenggutnya erat, mencium keningnya berkali-kali. Di sudut terdalam hati, mereka tahu, bahwa anak mereka memang telah tiada. Anak semata wayang mereka…
Kemudian, dengan bibir bergetar, Lee Jihoon menatap mereka. Para saudara tidak sedarahnya. 12 pasang mata yang merah dan basah memandang balik. Seungkwan yang pertama menghambur, memeluk Jihoon. Kemudian mereka semua memeluknya. Mengecup pipinya, mengucapkan selamat jalan. Memohon maaf. Mendoakan.
“Seungcheol…”
Anak lelaki itu hanya menjilat bibir. Pipi basah dan hidungnya memerah. Ia memukul pelan kening Jihoon. “Lain kali dengerin makanya omongan orang,” dihukumnya Jihoon. Ingin ia menjawab bahwa takkan ada lain kali, namun ia memutuskan untuk diam saja dan memeluk erat orang yang paling ia anggap sebagai kakak lelaki di antara mereka semua.
“Jihoon,” Wonwoo memanggilnya. Ia mengulurkan tangan. Kucing Wonwoo masih bersamanya, anteng di pelukan Jihoon. “Ayo pulang.”
Lee Jihoon tersenyum. Sinar mentari lembut menimpa rambut pirang platinanya. Ia menggamit tangan Wonwoo. Erat.
Lalu berbalik.
“Terima kasih, semuanya. Sampai jumpa Halloween tahun depan!”