Soonwoo Balance Unlimited AU: Fluff, Swear words, Musetta’s Waltz by Giacomo Puccini
“Gue masih nggak nyangka.”
“Hmm?”
Siang hari itu seperti yang sudah-sudah. Jeon Wonwoo bertandang ke rumah……uh, bukan rumah sih lebih tepatnya, malah bisa dibilang mansion. Wonwoo tau banget anak Kwon itu tajir mampus, tapi pas dia diundang ke mansion pribadi Soonyoung, barulah dia paham perbedaan besar di antara mereka yang benar-benar nyata.
Soonyoung tentu aja mengibas fakta itu dengan santai karena dia nggak peduli, tapi Wonwoo sempet awkward beberapa hari sampai Soonyoung datang ke apartemen kecilnya dengan takut-takut, bertanya dimana salahnya kali ini. Wonwoo, mau nggak mau, ketawa dan minta maaf karena udah buat Soonyoung mikir begitu.
(Soonyoung mah pas liat Wonwoo ketawa juga auto seneng lagi hehe 🥰)
“Ini.”
Si anak berkacamata menunjuk ke udara. Soonyoung jadi bingung.
Wonwoo menghela napas, “Maksud gue ini. Musik ini.”
“Ooh. Kenapa emangnya?” di seberangnya, Soonyoung menelengkan kepala.
Mereka duduk di ruang tengah yang diisi sofa set, meja pendek dan gramofon tua. Piringan hitam berputar mengalunkan musik yang, sumpah, Wonwoo nggak abis pikir bisa-bisanya anak Kwon itu diasosiasikan sama musik klasik begini. Maksud Wonwoo, bikin kaget aja, gitu. Kalo dari kapstok Soonyoung, Wonwoo kira dia doyannya musik RnB ato malah Kpop sekalian.
Taunya…ini.
“Nggak cocok ama lo.”
Soonyoung shock.
“Kok lo gitu??”
“Ya abisan??” nggak mau kalah, anak Jeon, keras kepala. “Ngeliat elu kayak begini terus tetau hobi lo dengerin LD… Anjir, lo berasa aristokrat banget. Kagak cocok.”
“Hah??” Soonyoung makin bingung. Pipinya menggembung. “Kan nggak ada hubungannya hobi sama orangnya?? Lo sendiri suka kucing padahal lo kayak begini—”
Mendadak, kerah Soonyoung ditarik.
“Maksud lo apa hah??” 💢
“A-ampun—” 😱
Skip beberapa saat, akhirnya mereka kembali duduk damai, Pemirsa. Maklum lah, orang emang nggak bisa berubah secepet itu. Wonwoo masih kaum sumbu pendek dan Soonyoung suka keceplosan, biarpun mereka udah berkawan sekarang (setelah perjalanan yang super panjang) 🙃
“Ini,” Soonyoung menoleh ke gramofon yang mengalunkan musik agak sendu. “Judulnya Valse Sentimentale. Tchaikovsky.”
“Hee…,” padahal Wonwoo juga nggak paham.
“Gue…suka karena…bikin gue tenang…”
Soonyoung menutup matanya. Wonwoo diam memperhatikan anak itu sambil meminum tehnya.
“Hao, adek sepupu gue, sama Josh yang pertama ngenalin gue sama musik klasik. Gimana ya bilangnya…pas gue denger pertama kali, kayaknya pernyataan kalo musik itu bahasa universal tuh langsung masuk gitu ke otak gue. Kayak…,” mata si anak Kwon membuka, berbinar-binar. “…musik nggak peduli lo siapa, status lo apa. Lo bisa nikmatin dengan bebas.”
“Hmm…,” Wonwoo bergumam. “Musik klasik banget, tapi?”
“Gue dengerin yang lain juga kok,” ujarnya membela diri. “Tapi, musik jenis ini…interpretasinya sebebas kita aja. Suka-suka kita. Satu lagu bisa diinterpretasiin macem-macem sama tiap orang. Tentu aja ada pandangan sendiri dari yang buat, tapi kita juga bebas mau nangkep lagu ini soal apa.”
Wonwoo mengerjapkan mata. Soonyoung kemudian melompat dari duduknya. Musik berganti. Lebih riang kini. Lebih cocok disebut sebagai musik dansa ketimbang gesekan biola mendayu-dayu sebelumnya. Anak Kwon menggamit tangan Wonwoo, dan, sebelum Wonwoo bisa memahami apa yang bakal terjadi, dirinya sudah ditarik berdiri.
“Tangan di sini.”
“Hah?”
“Pelok pinggang gue.”
“Eh?”
Kwon Soonyoung meringis. Wajah mereka kini dekat.
“Quando me’n vo’,” bisiknya. “Also known as Musetta’s Waltz.”
Bola mata Wonwoo melebar.
“Lo bisa dansa, Jeon Wonwoo?”
“A…”
Ya mana bisa, anjirr.
Tapi, terlambat, Soonyoung sudah bergerak, membuat Wonwoo terpaksa ikut bergerak. Dia didorong hingga harus melangkah mundur, terus dibawa ke samping setelahnya, bagai boneka marionette yang talinya dihela oleh anak Kwon. Saat musik mencapai klimaks, Soonyoung mengangkat lengannya dan memutar dirinya sendiri, membuat Wonwoo takjub. Anak Kwon tertawa ceria dalam dansa Waltz mereka yang payah dan banyak salah.
Sampai akhirnya Jeon Wonwoo nggak sengaja menginjak kaki Kwon Soonyoung, lalu mereka jatuh terduduk berdua di lantai.
“Sori, lo nggak apa kan?!” Wonwoo panik, segera mengecek kaki yang dia injak.
Soonyoung cuma ketawa makin kencang dan mengibaskan tangan. Melihat anak itu baik-baik aja, Wonwoo menghela napas lega. Kepala Soonyoung kemudian bersandar di bahu Wonwoo, membuat jantung anak berkacamata itu melonjak sedikit.
“Hehe.”
“…N-napa lo?”
“Gue seneng,” Soonyoung mengusrek kepalanya di bahu itu. Harum shampoonya merasuk benak Wonwoo, membuat pikirannya mulai kacau. “Dansa pertama gue rupanya sama lo.”
Wonwoo diam-diam berharap Soonyoung nggak mendengar degup jantungnya saat ini.
“Jadi temen lo, bisa dansa kayak gini sama lo…gue seneng banget,” lalu, kepala itu terangkat untuk menoleh. Bibir menyunggingkan senyum paling manis yang Wonwoo pernah lihat seumur hidupnya. “Makasih ya Won…”
“Soon—”
Kemudian, kecupan lembut.
Ah. Kebiasaan itu. Kebiasaan buruk Soonyoung dalam memperlihatkan rasa terima kasihnya. Kebiasaan yang, terus terang, Wonwoo manfaatkan to his heart content.
Soonyoung melepas ciuman mereka, hanya untuk Wonwoo menarik tengkuknya dan menciumnya lagi. Lebih lama, kali ini, gesekan bibir dengan bibir. Lalu, keduanya lekat menyelot antara satu sama lain. Wonwoo perlahan hilang akal dan Soonyoung perlahan lumer di bawah ciuman itu. Geliginya menangkap lembut bibir bawah Soonyoung dan menariknya, membuat si anak tanpa sadar mengerang. Hasrat, begitu pekat, menyelimuti udara di sekeliling mereka berdua. Nggak mungkin anak Kwon nggak merasakan perbedaan besar tersebut.
Dan, begitu mereka saling menjauh untuk menghirup oksigen, Wonwoo yakin dia melihat hasrat yang sama di mata anak itu.
“Shit…,” seloroh Wonwoo. Lidahnya menjilat bagian bawah bibirnya, mengambil sisa-sisa rasa Soonyoung dari sana. Napasnya memburu. “…shit…”
Ibu jari Wonwoo mengelus bibir basah itu, lalu menekan bagian bawahnya, memperlihatkan sekelebat deretan gigi dan ujung lidah Kwon Soonyoung.
“…Won…?” dengan kedua pipi merona manis, anak Kwon bertanya. Suaranya getir. Tatapnya bingung.
Wonwoo meneguk ludah. “Kan udah gue bilang lo jangan cium-cium bibir gue…,” dia menggeram rendah, nyaris di ambang batas. Jarinya menjauh dari bibir Soonyoung.
“S-sori…,” sedih, Soonyoung menunduk. “Kebiasaan…”
“Kebiasaan,” cemooh Wonwoo. Dia pun berdiri. “Better stop that, Kwon, or else.”
Wonwoo kemudian berjalan menjauh.
“Jeon Wonwoo!” panggil si anak yang masih kebingungan di lantai. “Mau ke mana?”
“Toilet!”
Anjir lah. Masa tiap dicium tuh anak, harus banget gue ke toilet.
Di toilet, Wonwoo menghela napas. Bagian depan jinsnya semakin nggak nyaman. Dia pun mulai melepas kancing celana.
Gawat, batinnya. Gue nggak tau sampe kapan bisa nahan diri kalo dia nyium gue terus gini…
Dibekapnya muka dengan kedua tangan.
“Fuck you, Kwon Soonyoung...”