Seoksoo AU for FFFL Project: Marriage life, Fluff, Northern Downpour by Panic! At The Disco
Keran air dimatikan. Sontak, air panas pun berhenti mengucur. Seokmin menyisir rambutnya yang basah ke belakang. Ia memandangi dirinya melalui cermin besar di kamar mandi berlilitkan handuk sepinggang. Toner ditepuk-tepukkannya ke muka. Ia mendongak, mengecek bakal janggutnya di dagu. Memutuskan bahwa bakal janggutnya masih belum panjang dan bahwa mereka masih ada satu hari libur lagi, Seokmin tidak jadi mengambil pencukur elektroniknya.
Baru ia hendak keluar kamar mandi, pintu pun terbuka.
“Ah, bener kan? Kamu nih, kalo abis mandi langsung dikeringin rambutnya, kebiasaan deh,” mendecak, Joshua menyampirkan handuk baru ke kepala Seokmin, lalu dengan agak kasar ia mengusreknya. “Harus kubilangin berapa kali, sih? Nanti kamu bisa sakit!”
Srek, srek, srek.
“Baju kotor juga begitu nih! Kan udah kubilang, sebelom mandi, langsung taro di tempat pakaian kotor, jangan dibiarin di lantai gini!” lanjut ia misuh-misuh sambil terus mengusrek kepala Seokmin. Keningnya pun mengerut.
Seokmin hanya tersenyum memandangi suaminya. “Maafin aku,” ujarnya. Dia tahu bagaimana senyumannya sanggup mempengaruhi Joshua, sehingga ia tidak heran ketika suaminya itu, perlahan tapi pasti, mengulum bibirnya menjadi sebuah senyuman juga.
“Diinget.”
“Mm.”
Srek, srek.
Dirasa sudah cukup kering, Joshua menarik tangannya dan membiarkan handuk yang kini lembab itu tetap bertengger di kepala suaminya. Persis ketika Joshua mulai menjauh, lengan Seokmin bergerak. Ia merangkul pinggang Joshua dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menangkup wajahnya. Ciuman yang diberikan kemudian pun lembut dan menenangkan, seolah ia tengah meminta maaf dengan selaksana kecupan.
Joshua tersenyum pada bibir suaminya. Lengannya sendiri otomatis mengalungi leher Seokmin. Tiga ciuman kemudian, barulah ia dilepaskan. Salah. Empat. Seokmin maju lagi untuk mendaratkan ciuman curian ke bibir kekasih hatinya itu, yang mana membuat Joshua tak kuasa tertawa.
“Sana ah, pake baju,” dipukulnya perlahan lengan atas suaminya. “Gantian. Aku mau mandi.”
“Mau mandi bareng?” iseng, Seokmin menggerakkan alisnya dengan jahil. “Aku nggak apa lho mandi lagi.”
Joshua hanya memutar bola mata sebelum mendorong Seokmin ke pintu kamar mandi. Lelaki itu tertawa kencang, memunguti pakaian kotornya dan, akhirnya, keluar. Sementara bunyi pancuran air mulai terdengar, Seokmin mengenakan kaus rumah dan celana training hitam sambil berdendang tanpa lirik. Berkat Joshua, rambutnya cukup kering untuk tidak menyalakan hair dryer, hanya perlu disisir saja.
“Sayang,” ia membuka pintu kamar mandi, melongokkan kepala. “Aku buat sarapan ya. Kamu mau telornya gimana? Diceplok, didadar? Orak-arik?”
“Aku udah bikin omelette tadi,” datang sebuah jawaban. Melalui pintu kaca susu bilik pancuran yang ia turut buka, Joshua memberitahu. Diusapnya muka dari butiran air. “Sama roti bakar, bacon, sosis.”
“American breakfast?”
“Yeah,” senyumnya.
“Oke. Kalo gitu aku buatin salad aja?”
“Kacang merah kaleng di laci atas. Ada alpukat di kulkas juga, di Tupperware biru. Udah aku potong-potong.”
“Roger.“
“Ah, Seokkie.”
“Iya?”
“Bawain aku handuk.”
“Oke,” menutup pintu, mengambil lipatan handuk baru untuk ditaruh di pegangan pintu bilik, Seokmin lalu menuju dapur untuk melaksanakan tugas negaranya.
Begitu Joshua kelar mandi, Nampak segar dan wangi sabun, ia menemukan suaminya sedang mengaduk semangkuk salad porsi untuk berdua. Selada keriting, selada romaine, selada merah, cacahan wortel dan potongan alpukat sebagai isinya. Kacang merahnya ditumis dan disajikan di piring masing-masing. Seokmin bahkan memanggang potongan kotak-kotak kecil roti hingga kering untuk ditaburkan di atas saladnya. Menyadari ada yang mendekat, Seokmin berbalik, hanya untuk terpaku sejenak.
“Pinjem ya,” tersipu, Joshua, dalam balutan kaus Seokmin yang kedodoran di badannya. Pegangan Seokmin pada mangkuk salad mengerat, hamper tak mampu menahan diri untuk tidak mengangkat dan menciumi Joshua di atas konter sampai mereka berdua kehabisan napas.
Dengan bantuan Joshua dalam menata meja, semua hidangan dapat disajikan hanya dalam sepuluh menit. Dua gelas jus jeruk, dua cangkir kopi, semangkuk salad di antara mereka, di tengah-tengah meja, dan dua piring makan lebar terbuat dari keramik putih yang penuh protein juga karbohidrat.
“Cheers.”
Joshua tertawa, mengangkat jus jeruknya untuk didentingkan ke gelas suaminya. “Cheers,” timpalnya balik.
Mereka makan dengan santai, sambil sesekali mengangkat wajah dari piring ataupun handphone untuk memandangi jendela panjang persis di samping mereka. Cuaca pagi itu cerah. Burung-burung berkicauan. Langit biru benderang. Dedaunan hijau segar menjuntai dari dahan-dahan. Bebungaan di halaman mereka mekar beraneka warna berkat kemampuan bertanam Joshua, begitu pula dengan koleksi bonsai mini kebanggaannya yang tumbuh dengan sehat.
Harum kopi yang menyeruak. Bunyi denting peralatan makan. Samar-samar suara Brendon Urie terdengar diiringi petikan gitar dan tabuhan drum dari pemutar Spotify yang Joshua nyalakan di iPad.
I know the world’s a broken bone
But melt your headaches, call it home
Semburat sinar mentari pagi yang hangat menyoroti sang kekasih hati yang sedang duduk menikmati sarapan di hadapannya. Cincin emas yang cantik bertengger di jari manisnya. Tulus, Seokmin tersenyum. Ditopangnya dagu dengan kedua punggung tangan.
“Hari ini cerah.”
Joshua refleks mendongak. “Mm,” ia setuju. “Kayaknya aku mau nyuci baju, seprai, sarung bantal, yang kain-kain semua, hari ini deh.”
“Mau kubantu?”
“Mau banget,” kini, Joshua yang tersenyum.
Senyumnya itu tidak pudar ketika Seokmin menyendok salad yang sudah ia aduk dengan dressing, lalu disuapkannya pada Joshua yang langsung memakannya.
“Enak?”
“Mm,” puji suaminya sambil mengunyah.
“Nanti malem aku masakin sup seafood pedes, mau?”
“Oh my God, yes please,” ucapnya segera setelah menelan makanannya. Sup seafood pedas buatan Seokmin adalah hidangan dari khayangan, if he ever tasted one.
Dalam derai tawa ringan dan kaki yang saling menyentuh di bawah meja makan, detik demi detik berlalu dalam kedamaian bagi pasangan pengantin baru itu.
You are at the top of my lungs
Drawn to the ones who never yawn