Cheolsoo AU for FFFL Project: Hybrid, Slice of Life, Friends to Lovers, Something I Need by OneRepublic
Joshua Hong. Usia 6 tahun. ‘Anak yang baik’ adalah titel yang ia dapatkan dari orangtua dan tetangga sekitar rumahnya. Bagi teman-temannya, Joshua adalah anak yang ‘selalu tersenyum’, menjadikannya sasaran empuk anak-anak lelaki yang lebih besar, namun, dia tidak pernah membalas, hanya menyeka debu dari bajunya setelah didorong ke tanah, lalu pulang.
Dia pikir, ‘Ah, untuk apa dibales, nggak ada untungnya, bikin tangan sakit aja.’
Selama tidak ada luka tertoreh atau darah menetes, ia menolerir semua perlakuan buruk yang datang kepadanya. Karena Joshua kecil yakin, percaya, bahwa keburukan yang dibalas keburukan, hanya akan menimbulkan keburukan yang lebih besar.
[An eye for an eye only ends up making the whole world blind.]
Joshua mengerjapkan mata di depan bukunya. “Ma,” panggilnya pada sang ibu yang sedang mengurus tanaman herbal dalam potnya. “Mama, ini siapa?”
“Hmm?” ibunya menoleh. “Oh. Itu Mahatma Ghandi. Pengacara dari India.”
“Orang hebat?”
“Orang bijak,” ia mengangguk membenarkan.
“India jauh ya dari sini?”
Spontan, wanita itu tertawa. “Kalau dari LA ya jauh. Kalau dari Korea, mungkin lebih dekat? Entahlah?” ucapnya.
Mendengar tanah kelahiran ayah dan ibunya disebut, Joshua pun menyambar. “Korea! Aku mau ke Korea! Aku mau ketemu nenek, ketemu kakek!” rengekan pun datang bertubi-tubi, membuat ibunya tertawa makin renyah.
“Kalau begitu, kabar baik, Tuan Muda Jisoo,” disentilnya ujung hidung anak lelaki semata wayangnya penuh sayang. “Kita bakal pindah ke Korea tahun depan.”
“Beneran??”
“Bener.”
“Yaayyy!!”
Yah, mungkin di Korea, dia tidak akan dijahati lagi.
.
.
.
Betapa salahnya pemikiran itu.
Joshua Hong, kini usia 7, belajar dengan pahit bahwa perpeloncoan itu terjadi di seluruh dunia dan hanya faktor keberuntungan yang menentukan kau dijadikan tumbal atau tidak. Kali ini, bukan karena ia tampak lemah, melainkan aksen bahasa Koreanya yang aneh. Orang asing, bisik mereka. Dia tidak didorong ke tanah seperti di Amerika, tetapi tak ada yang mau bermain dengannya. Dan, bisik-bisik, bisik-bisik itu…
Secara fisik, ia baik-baik saja.
Secara mental, ia terluka.
Karena itu, ketika ibunya menyadari gelagat anak lelakinya mulai ganjil, mulai sering menyendiri dan menolak bermain dengan anak-anak sebayanya, ia mengajak Joshua menemui kakek-neneknya di daerah pedesaan. Rubah suasana, bujuk ibunya, cari angin segar.
Sungkan menolak walau sedang tidak mood, Joshua menurut.
Dalam pelukan erat kakek-neneknya, keengganan itu perlahan mencair. Ia merasa disayang, diperlakukan seolah ia pantas terlahir lagi. Disajikannya kue yang enak, jus yang ia suka, serta pembicaraan yang sangat rumahan, membuat beban dalam tubuh kecil itu terangkat sedikit. Selesai menyantap makan siang yang lezat, Joshua duduk-duduk di bagian rumah yang menghadap ke halaman belakang langsung, pintu gesernya dibuka lebar sehingga ia bisa menikmati curahan hangat mentari hari itu. Cuaca yang tentram, tak terlalu terik dan tak terlalu kelam.
Joshua kecil mengayun-ayunkan kakinya hingga sandalnya tak sengaja terlempar cukup jauh. “Ah,” wah, sebuah kecerobohan. Meski merepotkan, ia harus mengambil sandalnya ke bagian yang cukup rimbun di halaman belakang itu. Terseok-seok, si anak, dan begitu ketemu, ia membungkuk, mengulurkan tangan…
“Grrrr…”
Hatinya mencelos. Dengan mata melotot, Joshua Hong menoleh dan menemukan dirinya terikat oleh tatap mata ganas makhluk lain. Bukan manusia. Itu seekor binatang. Matanya tajam, benderang di antara rimbun semak yang gelap bagai malam.
“Guk, guk!”
Kemudian, hembusan napas lega, karena ia menyadari itu hanyalah seekor anak anjing.
“Kaget aku…,” diusapnya dada, sambil mengajak anak anjing itu mengobrol. “Kamu kenapa di sini? Kesasar ya? Kamu punyanya tetangga kakek-nenekku ya? Hmm?”
Mungkin, mungkin, karena melihat bagaimana ramahnya senyuman anak itu, bagaimana lembut suaranya dan tulus tatapnya, geraman si anak anjing berubah menjadi dengkingan. Joshua tersenyum makin lebar. Ia mulai berani mengulurkan tangan untuk mengusap kepala anak anjing itu, yang mana dibiarkan, dan malah mendusel manja ke telapaknya.
“Lucunya…nama kamu siapa? Aku Joshua!”
Bukan gonggongan, melainkan kibasan ekor mungil sebagai jawabannya.
“Aku dari Amerika! Tapi aku udah pindah ke sini!” kedua alisnya terangkat ketika ia dengan cepat menyadari kesalahannya. “Ah, bukan di sini di sini, tapi di rumahku di kota. Kamu tau kota? Itu tempat yang rameee, banyak oraaanng, banyak mobiilll.” Dibukanya lengan lebar-lebar. “Bahaya buat kamu sih. Jadi kamu di sini aja. Di desa. Banyak pohon. Banyak tempat main.”
Elusan, lagi dan lagi. Si anak anjing mendengarkan dengan khidmat seolah ia paham perkataan Joshua. Benar-benar jinak. Pasti peliharaan seseorang dalam sesi bermainnya.
“…..Coba aku bisa bawa kamu ke rumahku dan jadi temanku…”
Usap, usap.
“Josh! Ayo pulang, Nak!”
“Iyaaaa,” ditatapnya lagi anak anjing itu. “Aku balik dulu yah. Jangan kesasar lagi, kamu, cepet pulang ke rumah. Kapan-kapan, kalo aku ke sini lagi, kita main yah?”
Dengan seutas senyuman serta elusan terakhir, Joshua pun pergi.
Hari ini pun sama buruknya dengan kemarin. Well, mungkin tidak terlalu buruk, karena hari ini ada kelas olahraga dan, bisa ditebak, ia tak punya partner untuk main lempar-tangkap bola. Mau tak mau, Joshua berpura-pura sakit perut agar disuruh ke UKS saja. Ruang kesehatan itu nyaman, jendelanya besar, jadi ia bisa tiduran dinaungi mentari hangat dan memandangi dedaunan yang mulai kecoklatan.
Joshua berjalan pulang seperti biasa dan membuka kunci pintu rumah sendirian seperti biasa (ayah dan ibunya bekerja), namun, hari itu, ada suatu momen yang tidak seperti biasanya. Ketika Joshua kecil masuk, ia mendengar suara asing. Suara…garukan? Juga geraman kecil? Nihil takut, anak itu mencari sumber suara, lebih karena rasa penasaran yang melanda lebih kuat daripada logikanya (dan, ah, itulah indahnya masa kecil, ketika kau hanya sebuah kanvas kosong menunggu dicoreti warna).
“Siapa di situ…?” panggilnya ke keheningan. Disusurinya selasar berlantai kayu itu, tak terpikir untuk membawa alat perlindungan diri andaikata ada maling yang masuk. Suara itu membimbingnya ke halaman belakang. Begitu Joshua membuka pintu, di situ, terduduklah seekor anak anjing.
Anak anjing yang sama yang ia temui di rumah kakek-neneknya.
Tentunya, Joshua kecil kaget bercampur senang. Ia lantas berjongkok, memudahkan si anak anjing—lebih basah dan lebih kotor dari ingatannya, namun tak ia pedulikan akibatnya terhadap bajunya—untuk naik ke atas pangkuannya. Kibasan ekor kian cepat, pertanda anak anjing itu sama senangnya dengan Joshua saat ini.
“Kamu kenapa ada di sini? Kok bisa??” tanyanya, yang dibalas oleh kaingan. “Kamu nyasar lagi? Tapi nggak mungkin, dari desa ke sini kan jauh?? Yang punya kamu apa enggak nyariin??” Berbagai pertanyaan yang ia ajukan jatuh ke kebisuan, hanya terhela angin siang yang sejuk di musim gugur itu.
Mata bulat si anjing kecil menatap Joshua tanpa ragu, tanpa takut, sehingga si anak mengambil kesimpulan kalau…
“…Kamu, nyusul aku?”
Denkingan yang ringan seolah tiada beban.
“Kamu…mau tinggal sama aku? Mau jadi temen aku?”
Hati kecilnya tahu bahwa ia harusnya mengembalikan anak anjing ini ke siapapun pemiliknya, namun keegoisannya menang, mengalir deras melalui darah dalam nadinya. Anjing kecil ini ingin menjadi temannya, ketika tak ada seorang pun yang berpikiran serupa.
Tanpa tedeng aling-aling, Joshua memeluk anak anjing itu. Memeluknya erat bagai pegangan hidupnya. Lidah si anjing terjulur keluar dari mulut yang membuka dan kibasan ekornya tidak berhenti, ke kanan dan ke kiri. Anjing itu nampak bahagia, atau setidaknya Joshua berharap begitu. Baru kali ini, ia tidak rela melepaskan sesuatu di dalam dekapannya.
“Kita bakal terus jadi temen selamanya ya…?”
Dengkingan.
“Janji ya?”
Lalu, anak anjing itu, di luar dugaan Joshua, menjauhkan moncongnya dari sela leher si anak agar ia bisa menjilat bibir dan wajahnya. Joshua pun terpingkal-pingkal karena kegelian. Jilatan demi jilatan mengembangkan bibit kasih sayang yang tertanam dalam dadanya, yang menunggu seseorang, siapapun, apapun, datang dan mengairi rasa haus akan cintanya yang begitu dalam.
Siapa sangka Joshua Hong menemukannya dalam sosok seekor anjing kecil.
“Hehe.”
“? Kenapa, kok ketawa?”
“Nggak…,” ia mendusel sisi leher Joshua yang berada dalam pelukannya, lengan memutari lingkar pinggang lelaki itu. Mereka duduk berdua di bagian belakang rumah mereka dengan kepala Joshua di bahunya dan punggung bersandar pada dadanya, sambil memandangi mentari musim gugur yang perlahan tapi pasti tenggelam. Seungcheol mengecup sisi leher lelaki itu, menyeka lembut kulit yang kemerahan di sana dengan bibirnya. Joshua hanya mengerang pelan, tidak menolak maupun menyambutnya. “Aku mendadak jadi inget pertama aku cium bibir kamu…”
“Pas kamu ngasih liat wujud manusia kamu ke aku itu?” kalau tidak salah sekitar pertengahan kelas 3 SMP, kejadian itu. Seungcheol lepas kendali karena malam bulan purnama. Ia lebih sering berada dalam wujud hewannya sampai Joshua menginjak usia remaja, semata karena tidak ingin teman dekatnya itu ketakutan, sehingga, ketika malam bulan purnama datang, energi manusianya membuncah dan merubahnya berkebalikan dari sejenisnya.
(Joshua hanya melongo menatapnya, cangkir berisikan minuman cokelat panas jatuh mengotori karpet, dan anak itu pingsan sampai esok hari. Untunglah kemampuan beradaptasi keluarga Hong sungguh hebat. Hanya membutuhkan waktu seminggu sampai keadaan rumah menjadi normal kembali, terlepas dari bertambahnya satu anak lelaki mereka secara misterius.)
“Bukan,” Seungcheol menggeleng. “Pas aku baru ketemu kamu. Pas aku ngejer kamu ke rumah ini.”
Alis Joshua Hong berkerut, mencoba mengingat kejadian yang sudah lama sekali itu. Kini ia berada di tahun terakhirnya kuliah. Sebentar lagi hidupnya akan dipenuhi pencarian kerja dan teman-teman minum, serta lika-liku kehidupan bujangan lainnya, makanya ia memanfaatkan momen kecil seperti ini untuk bermanja pada Seungcheol sebelum waktu bermanjanya berkurang drastis setahun ke depan.
Pada anak anjing yang ia adopsi belasan tahun lalu di perkarangan belakang rumahnya.
Desir ekor Seungcheol terdengar lembut, menyapu lantai kayu dengan tenang. Kuping serigalanya berkedut-kedut. Joshua memerhatikan betapa indah telinga Seungcheol bertengger di antara rimbun hitamnya yang halus, sebelum tanpa sadar mengulurkan tangan untuk membelai telinga sekaligus rambut itu. Seungcheol tersenyum. Bibirnya yang merah kian merekah indah.
“Ciuman? Lebih mirip jilatan anak anjing tuh,” kekeh Joshua, bercanda.
“Jilatan itu ciuman di bahasa hybrid serigala,” tak mau kalah, Seungcheol membalasnya.
“Wah? Berarti aku dicium paksa pas masih 7 tahun? Ckckck, Choi Seungcheol, sebagai calon pengacara peradilan anak, aku bisa menuntutmu tau!”
“Aku mengaku bersalah,” cepat, sambil tertawa geli, Seungcheol menyerah. Hidungnya mendusel hidung Joshua yang tengah mendongak padanya. “To be fair, aku masih 9 tahun pas itu, jadi masih di bawah umur juga, kalo itu bisa ringanin hukumanku.”
Joshua balas tertawa. Tangannya menyentuh kedua lengan Seungcheol di pinggangnya. Ia mendesah bahagia. Di sini, di dalam dekapan sahabat sekaligus kekasihnya, ia merasa aman dan dicintai, sebagaimana Seungcheol memberikannya perasaan yang sama dahulu kala, ketika ia masih anak kecil yang lemah dan mendambakan bagaimana rasanya menjadi penting bagi orang lain.
“Joshua, dingin nih, tutup dong pintunya,” panggil ibunya dari arah dapur.
“Yes, Mom…,” diputarnya bola mata.
“Cheol, Mama hari ini masak ayam. Kamu mau ayam?”
“Mau, Ma!” kibasan ekornya semakin kencang. Ia melepaskan pelukan dari tubuh kekasihnya untuk berjalan menuju dapur. Joshua mengernyit sesaat, sebelum mengangkat bahu sambil lalu, membiarkan kekasihnya membantu ibunya memasak. Jujur saja, ia bersyukur orangtuanya menerima fakta bahwa anak lelaki tunggal mereka berpacaran dengan hybrid serigala yang awalnya mereka adopsi sebagai peliharaan, yang kemudian menjadi anak lelaki mereka.
Joshua menoleh, memandang langit senja. Semburat jingga dan kuning bercampur baur, hampir terlalap gelap di ufuk Barat. Mentari berbentuk bulat tak sempurna dan memerah lemah, menanti detik-detik ia bertukar tempat dengan dewi malam yang syahdu.
(“Ayamnya mau Mama masak jadi apa?”)
(“Mama kepikiran dipanggang pakai rosemary. Gimana?”)
(“Asik! Aku buatin mashed potatoesnya ya Ma!”)
Joshua Hong. Usia 22 tahun. Tersenyum indah ke arah langit. Bersyukur, bahwa hidup memberikannya apa yang ia selalu dambakan sepenuh hati. Bahwa hidup telah memberikannya cinta.
Cheolsoo 😍😍😍
Suka banget kalo ada cerita tentang cheolsoo. Makasih udah buat cerita yg menarik tetap semangat💪🏻😘
sama-sama, terima kasih udah baca ya <3