Soonwoo AU: Part 1-4, Modern hybrid, Ears and tails, Dorm, Divination, Rivalry, Rivals to friends to lovers, Top!Soonyoung, Bottom!Wonwoo
Part 1
“Oho?”
“Hmm?”
“Ya, ya, menarik sekali…,” gumaman Jeonghan, sang Oracle, membuat Wonwoo mengencangkan rahang.
Adalah kewajiban bagi semua anak hybrid untuk berkonsultasi dengan Oracle mengenai jodoh mereka ketika mereka sudah mencapai akil baligh, yakni ketika mereka sudah mengalami Rut atau Heat yang pertama. Terlebih lagi ketika kau adalah anak pertama pemimpin klan, seperti dirinya ini.
“Kenapa, Oracle?” Wonwoo mendengar ayahnya, Jihoon, di sebelahnya bertanya. Ada panik terbersit di dalamnya.
“Jeon Wonwoo. Anak lelaki pertama pemimpin klan Kucing Hitam, Jihoon. Sungguh menarik, sungguh sangat menarik…,” Jeonghan mengangguk-angguk sambil terkekeh. Alis Wonwoo berkedut, mulai tak sabar. Ternyata benar sebuah rumor bahwa Oracle sifatnya tidak semenyenangkan itu. “Ah, tapi, apa kau betul ingin tahu, Hoonie? Kau tidak akan suka apa yang akan kukatakan mengenai jodoh anakmu.”
“Hyung,” Jihoon, mengenyahkan batas keprofesionalan mereka dan kembali menjadi teman lama Jeonghan, mendesis. “Tahun lalu kau datang dan mengatakan anakku tidak punya jodoh sama sekali. Apa yang bakal lebih parah dari itu?”
Jeonghan tersenyum, timpang dan bermakna ganda. Kemudian, ia memandangi wajah Wonwoo dengan seksama.
“Jeon Wonwoo. Hasil ramalanmu sudah keluar,” ia berucap dalam nada yang pasti. “Jodohmu ada di tengah kota besar, membangun jalan hidupnya dengan hasrat, keringat dan air mata, dengan tubuhnya yang indah dan tariannya yang menghipnotis banyak insan. Ia lahir dari tengah-tengah raungan ganas serta jilatan penuh sayang sang ibu, jauh di Selatan. Kau akan tahu itu jodohmu ketika kau melihat matanya yang tajam, karena di sana lah seluruh hatinya berada.”
Jeon Wonwoo mengernyit semakin dalam. Perkataan Oracle amat membingungkan. Syaraf otaknya menyatukan satu demi satu potongan puzzle hingga membentuk gambaran yang lebih jelas.
Ah.
“Maksudnya—”
“Jangan-jangan—” ayahnya beranjak sedikit dari duduknya, tegang dan sama terkejut dengannya.
Mereka berbicara bersamaan.
“—jodohku penari eksotis??“
“—anak Kwon??“
Jeonghan sang Oracle tertawa lepas akan situasi ini.
Part 2
(“Yah, walau aku tidak begitu senang, tapi karena sudah ditentukan Oracle, mau bilang apa? Pergilah, anakku, temui jodohmu.”)
Seoul Hybrid National University. Di sinilah ia berada sekarang. Gerbang depan perguruan tinggi negara satu-satunya yang berdiri tepat di tengah kota Seoul. Tempat yang dibocorkan Oracle padanya akan keberadaan jodohnya (tentu dengan bayaran setimpal, yakni tiga kilo ikan cakalang asap, komoditas utama klan Kucing Hitam). Bukan hal sulit bagi ayahnya untuk memproses kepindahan Wonwoo dari universitas di Changwon ke tempat ini, apalagi dengan rekomendasi salah satu Oracle termashur negeri ini.
Jeon Wonwoo menghela napas. Kedua tangannya masuk ke dalam saku. Sebuah ransel tersampir di bahu kiri. Ia mengenakan kacamata bulat, celana jins agak pudar dan kemeja flanel tebal warna hijau di atas kaus putih polos. Sneakersnya ungu dengan aksen putih di bagian bawah serta gambar kartun kucing menggemaskan. Rambut hitam Wonwoo yang biasanya jatuh lurus bagai jerami kering, kali ini sedikit kusut karena teracak angin bulan April. Seharusnya kini sudah memasuki musim semi, tapi cuaca masih sedikit dingin untuk standarnya. Meski begitu, suasana ceria musim semi tetap menyambutnya ketika ia melangkah masuk ke perguruan tinggi tersebut.
Bunga plum menjuntai dari ranting-ranting, memenuhi jalan masuk dengan bentuknya yang kecil-kecil berwarna merah muda. Di antaranya, tumbuh satu-dua pohon penuh dengan bunga magnolia, memberi selingan putih di antara lautan pink. Rerumputan hijau yang segar di sisi jalan lebar berlapis konblok yang ia lalui tidak mau kalah, turut menyumbang bentangan kuning cerah kumpulan bunga rapa di sini dan di sana.
Hembus angin membelai tengkuk si anak kucing hitam. Telinga Wonwoo yang warna bulunya sama dengan warna rambutnya pun berkedut-kedut. Ekornya menukik ke bawah, bergerak kian-kemari. Apabila orang tidak melihat bagaimana kedua mata legam Wonwoo bersinar senang, mungkin bisa disalah artikan dengan kemarahan.
Harum bunga. Kupu-kupu yang terbang bersayapkan biru elektrik pun mengecup ujung hidungnya amat halus—
…kupu-kupu?
“Meow!“
Bagai terhipnotis, pupil anak itu menyempit menjadi hampir sebuah garis vertikal. Fokusnya berpusat pada kepak sayap di udara. Jeon Wonwoo berlari, sesekali melompat ketika kupu-kupu itu terbang agak tinggi. Tak dihiraukannya keadaan sekeliling, maupun kekeh murid lain menyaksikan tingkahnya.
(“Lihat, klan Domestik. Lucu sekali.”)
(“Mengejar kupu-kupu? Hidupnya enak ya, mudah, nggak perlu belajar mati-matian buat ngalahin klan lain.”)
(“Masih dengan obsesi ibumu mengambil alih klan Singa?”)
(“Sumpah, aku mau gila! Denger deh—”)
Masa bodoh. Wonwoo tidak dengar. Yang ia lihat hanya kupu-kupu itu dan, dalam satu ayunan tangan, ia akan bisa meraih keindahan alam itu…
Dug! Blugh!
“Uwaaahhhhhhhhh…,” sak demi sak tepung bertebaran di atas konblok, menyelimutinya dengan warna putih. Wonwoo yang kehilangan sang kupu-kupu akhirnya sadar dan berbalik menghadap orang yang ia tabrak, hendak meminta maaf.
“Ma—”
“Aaahh, bagaimana ini?? Aku bisa diterkam!” lelaki itu memegangi kepalanya. Mukanya pucat pasi. “Aaah!! Kamu!!” Wonwoo kaget karena suara keras mendadak yang penuh ancaman ditujukan padanya. Kuping kucingnya berkedut secara refleks. “Ngapain sih kamu?? Kalo jalan tuh pakai mata! Liat nih, jatuh semua tepungku! Memangnya kamu mau tanggung jawab, ha? Ha?? Sekarang apa yang harus kulakukan? Memangnya kamu bisa bantu aku ngumpulin semua tepung ini, ha??? Ayo cepetan, jangan bengong di situ aja!!”
Wonwoo mengerjap satu kali. Otaknya berjalan cukup lambat dalam memproses tembakan kalimat tanpa jeda lelaki itu. Dan-uh–
Wonwoo mengernyitkan hidung.
Bau anjing memang tajam sekali, ia tidak suka.
Part 3
Wonwoo memandang punggung besar lelaki yang sedang berjongkok itu, yang tengah sibuk mencari solusi untuk mengikat sak tepung yang terburai. Ia mengomel sendirian, memanggil seorang gadis yang kebetulan lewat dan meminta (dengan mata memelas khas anak anjing) ikat rambutnya.
“Kamu!” lagi, Wonwoo tersentak. “Masih bengong saja! Buruan, minta ikat apa kek ke orang-orang! Tanggung jawab dong! Ini salahmu juga nabrak orang nggak lihat-lihat! Cepetan! Kamu mau lihat aku diterkam kalau telat antar ini?!”
…Bisa tidak sih anjing ini tidak mengagetkannya begitu?? Dia tau tidak sih kalau kucing tidak suka bunyi menggelegar mendadak??
Decakan lidah. Wonwoo mengernyit dalam-dalam sekarang, menimbulkan kerutan jelas di dahinya. Ekor hitamnya menyapu tanah, dihelanya seolah seutas cambuk. Bibir Wonwoo naik ke atas sedikit, memamerkan taringnya. Ia kesal. Ia sudah mulai kesal. Begitu geraman rendah terdengar, anjing itu pun berhenti. Ia menoleh dan mendapati seekor kucing domestik dalam mode marahnya. Si anjing terpana, sejenak, sebelum tawanya meledak. Sontak, Wonwoo malah jadi bingung.
“A-a-apa-“
“Aku nggak takut, weee,” lidah si anjing terjulur keluar. “Kucing domestik macam kamu bisa apa sih? Cakar? Gigit? Aku bisa matahin leher kamu dengan taringku, tahu?” Dibukanya rahang dan, benar saja, taring si anjing jauh lebih besar dan kokoh dari miliknya sendiri. Tapi, Wonwoo bukanlah Wonwoo bila tidak memiliki ego lebih tinggi dari makhluk tolol di hadapannya.
“Aku kucing hitam,” ancam Wonwoo.
Satu kata tersebut sukses membuat si anjing bungkam. Bukan rahasia umum bahwa kucing hitam hidup membawa kutukan, menguntit di balik punggung mereka masing-masing, diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, dahulu sempat santer rumor jika kucing hitam melintasi jalanmu, kesialan akan langsung menimpa.
…Tunggu sebentar. Kucing hitam melintasi jalannya. Tepungnya jatuh.
Agak bergidik, si anjing mundur satu langkah. Wonwoo, menyadari hal ini, mengangkat dagu dengan pongah. Puas karena sanggup menimbulkan kewaspadaan dari lawan bicaranya. Ia bahkan balas menantang, melangkah sekali ke depan, sedangkan si anjing otomatis mundur lagi selangkah ke belakang.
Selangkah lagi…
“Kim Mingyu.”
Tiba-tiba, punggung Wonwoo bergidik. Ia mendongak untuk menemukan sesosok karnivora liar yang statusnya jelas di atas mereka berdua. Sosok yang cantik dengan mata biru indah, kuping dan ekor lembut berwarna seputih salju. “Hyung!” sambil merengek, si anjing besar pun mendekati sosok itu, memeluk beberapa sak tepung yang bisa terselamatkan.
“Kenapa lama?” suara yang halus tetapi penuh otoritas.
“Ini, Hyung, kucing hitam lewat depanku~” ditunjuknya Wonwoo, seakan menuduh. Ingin Wonwoo mendesis galak atas acungan telunjuk kurang ajar itu, namun ia terpaku di tempat.
Mata biru itu menangkap matanya. Sebuah senyuman, pelan, tenang, namun mengerikan. “Kucing hitam…,” ekor putih berdesir menyapu permukaan. Wonwoo meneguk ludah.
Serigala.
“Hyung…?” si anjing bernama Kim Mingyu memandang ragu-ragu pada sosok itu.
Ternyata bukan hanya Wonwoo yang bisa merasakan aura tak biasa dari lelaki itu. Padahal, di samping Kim Mingyu, sosok itu nampak mungil dan ramping. Nampak lemah. Satu langkah mendekat dari sang serigala dan insting Wonwoo adalah melompat ke belakang, bertengger di sandaran sebuah bangku taman. Kuping dan ekornya kini tegak. Waspada akan bahaya yang jauh lebih mengerikan daripada gonggongan anjing besar.
(“Kyaaa! Kucing hitam!”)
Gadis-gadis herbivora yang tengah mengobrol di bangku taman itu pun tunggang langgang. Mereka tahu tak ada yang berakhir baik bila berurusan dengan kucing hitam.
Deg, deg. Deg, deg. Deg, deg.
Tap.
Setitik peluh turun dari kening Wonwoo.
Deg, deg.
Tap.
Senyuman. Semakin, semakin dekat…
Tap.
Deg!
“Joshua.”
Bagai air di tengah api, Oracle entah bagaimana telah berdiri di antaranya dan serigala itu. Auranya yang tenang tanpa intimidasi memecahkan beban tak kasat mata yang menggantung di wilayah tersebut. Kim Mingyu melepas napas yang tanpa sadar ditahannya, begitu pula Wonwoo, meski yang terakhir mulai mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi paru-paru. Sarat akan ketegangan di sekujur tubuhnya pun mulai lepas dengan cepat.
Si serigala tersenyum lembut pada sang Oracle. “Hani,” suaranya semanis madu. “Kau yang bawa dia ke sini?”
“Bisa dibilang begitu. Dia anak teman lamaku.”
“Hmm,” mata menelisik, mencoba menembus batok kepala si kucing hitam. “Siapa namamu, Kucing Hitam?”
Enggan menjawab, ia, apabila tidak karena sentuhan tangan Oracle pada bahunya.
“………….Jeon Wonwoo.”
“Jeon Wonwoo,” si serigala menarik bibirnya. “Hong Jisoo. Jangan memanggilku Joshua karena itu hanya untuk Hani. Dan, oh, di sini wilayahku. Aku tidak masalah kalian bermain di sini, tapi kalau mengacau atau membuat susah adik-adikku, bahkan Hani takkan bisa menyelamatkanmu.”
Telinga Wonwoo hampir rata ke rambutnya, “…Maaf.”
Senyuman serigala itu makin lebar.
“Mingyu juga.”
“Ehhh?? Tapi dia yang menabrakku, Hyung!”
“Mingyu.”
“………..,” mengerut tak suka, anjing bernama Kim Mingyu itu menatap Jeon Wonwoo si kucing hitam. “Maaf.”
“Anak baik,” puas, Joshua mengusap-usap kepala Mingyu. Kibasan ekor si anjing dengan jujur menyatakan kesenangannya akan pujian tersebut. “Sampai ketemu lagi, Hani, Jeon Wonwoo.”
Lalu, dengan senyuman terakhir, mereka berlalu.
Semakin mengecil sosok mereka, semakin mudah bagi Jeon Wonwoo untuk bernapas. Ia sudah turun dan kini duduk di bangku taman. Sang Oracle menghela napas, lalu ikut duduk bersamanya. “Kenapa kau bisa tersasar ke area mereka, Jeon Wonwoo?” tanyanya, dengan tawa sama riang di ruang keluarga klan Kucing Hitam.
“Aku…lihat………..kupu-kupu,” mau tak mau, pipinya memerah.
“Aigoo,” tak kuasa menahan cengiran, Jeonghan mengunyel pipi Wonwoo. “Apa betul kau anak Hoonie? Rasanya aneh sekali. Muka batu macam dia bisa punya anak semanismu.”
“Tidak. Manis,” digertakkannya gigi. “Benci. Jangan sebut begitu. Aku tidak manis.”
Jeonghan mengangkat bahu. “Baik, baik. Santai saja. Semua anak hybrid manis di mataku, bahkan Joshua,” kekehnya.
Mengingat si serigala tadi, Wonwoo menelan ludah lagi. “Dia…kenalanmu?” tanyanya penasaran.
“Aku meramalkan jodohnya kira-kira dua tahun yang lalu,” Jeonghan mendongak menatap awan putih yang berarak di langit biru. Tengkuknya beristirahat pada sandaran. “Tidak berakhir baik.”
“Kenapa?”
“Dia sama sepertimu, Jeon Wonwoo,” Jeonghan menoleh. “Aku tidak bisa melihat siapapun di masa depannya.”
Lone wolf.
“Tapi…jodohku muncul?”
Sang Oracle meringis. “Yah, syukurlah. Kau beruntung,” kemudian, ia menghela napas. “Tapi anak itu kurang beruntung. Seharusnya aku meramalnya lagi tahun ini, tapi tak ada panggilan dari klan Serigala Arktik. Tidak juga dari anak itu.”
Wonwoo diam sejenak. “…Dia sudah menyerah?” sambungnya.
“Mungkin. Aku tidak tahu. Tugasku hanya meramal kalian,” santai, Jeonghan tertawa. “Hanya itu, sejak dulu…” Diangkatnya lengan hingga punggung tangan menghalangi sinar matahari mengenai matanya langsung.
“……Kau….tidak kesepian?”
“….”
Mendadak, sang Oracle beranjak. “Ayo, kuantar kau ke tempat para kucing dan keluarganya, Jeon Wonwoo,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Bukan hanya serigala itu yang berbahaya di area sebelah sini.”
Mengangguk, Wonwoo tidak mengambil tangan yang diulurkan, melainkan langsung berdiri, siap untuk dibawa kemanapun. Jeonghan tersenyum, lalu mulai berjalan. Kedua tangannya masuk ke saku celana.
Part 4
Begitu mereka memasuki area ini, udara seketika berubah. Berbagai macam bau dari berbagai macam hewan tetap bercampur baur, namun setidaknya sebagian besar dari mereka adalah famiglia felidae. Bau yang menguar tidak sekencang bau anjing yang tengik. Jeon Wonwoo kini lebih tenang karena bisa bernapas seperti biasa lagi. Mereka memasuki jalan konblok yang dipadati para pemilik kuping dan ekor keluarga kucing. Seekor calico yang cantik menawarkan selebaran klub padanya. Di sisi lain, sepasang kucing siam kembar mulai bernyanyi riang. Beberapa yang lebih superstisius segera menghindar saat melihatnya.
(“Kucing hitam?? Mereka beneran ada??”)
Jeon Wonwoo tak mengindahkan.
“Oke, kau sudah di tempat yang benar. Kutinggal ya?” sebuah tepukan ringan pada pundaknya.
“Oh,” ia pun mengangguk sebagai tandanya berterima kasih pada Jeonghan. Sang Oracle tersenyum, lalu berbalik badan dan meninggalkan dirinya di tengah kerumunan hybrid keluarga kucing.
Ia tidak begitu ingat jenis apa saja yang ia temui. Mereka semua rata-rata menawarkan pendaftaran klub atau himpunan kepada para anak baru, juga pengenalan kehidupan di kampus, misalnya peraturan asrama, jasa pencatatan mata kuliah untuk hybrid yang membutuhkan bantuan dari segi fisik, bagaimana mendapatkan uang dari kerja sambilan di jam-jam kosong, dan sebagainya. Menarik, sebenarnya, tapi kerumunan di ujung jalan lebih menyita perhatian Jeon Wonwoo. Semakin ia mendekati bangunan utama, semakin besar kerumunan itu. Penuh teriakan dan semangat anak muda. Wonwoo mengerutkan alis, kedua tangan tetap di saku celana, ketika ia berjalan semakin dan semakin dekat.
Kemudian, ia berhenti. Tertahan oleh punggung sesama klan domestik dan beberapa herbivora non-felidae. Sisanya, yang terdepan dari kerumunan, dipenuhi klan karnivora. Mereka mengumbarkan yel-yel, entah apa. Sepertinya ada seseorang yang menjadi pusat kerumunan itu.
“Rame ya.”
Tanpa sadar, ada yang berdiri di sampingnya. Jeon Wonwoo menengok, lalu terhenyak. Kuping dan ekornya langsung berdiri, reaksi otomatisnya ketika klan karnivora mendekat, seperti serigala tadi. Ia hendak mundur, namun ketika melangkah, ia sudah menabrak orang di sampingnya lagi. Sang karnivora, menyadari bagaimana reaksi Wonwoo, alih-alih menebarkan aura kemana-mana, malah semakin menekannya. Ia berusaha menyembunyikan baunya yang mengintimidasi. Hal ini menimbulkan kebingungan teramat sangat bagi anak Kucing Hitam. Apalagi, karnivora itu tersenyum ramah padanya.
“Maaf…,” ucapnya dengan sesal. “Nggak bermaksud ngagetin kamu gitu kok.”
Jeon Wonwoo diam saja, tetapi tetap waspada. Ia menelisik perawakan sang karnivora. Telinganya berbulu hitam seperti rambutnya, namun beda dari telinga Wonwoo yang cukup lancip, telinga karnivora itu tumpul. Ekornya panjang dan legam, licin bagai rapi disisir. Panjang sekali, lebih panjang dari ekornya. Dan ketika sang karnivora tersenyum, kedua taring atasnya lebih panjang dari bawahnya.
Mata Wonwoo membulat. “…Macan kumbang?” sahutnya ragu.
“Ping, pong!” sang karnivora terkekeh. “Kamu peka juga ya? Namaku Jun. Wen Junhui, tapi panggil Jun aja. Kamu?”
“….”
“Hmmm?”
“…Jeon Wonwoo.”
“Wonwoo~” tubuh Wonwoo menegang ketika karnivora itu–Junhui–menepuk-nepuk punggungnya. “Udah, udah, jangan tegang banget ah, aku nggak gigit kok~”
Right. Seekor karnivora mengatakan dirinya tidak menggigit. Jeon Wonwoo mungkin tinggal jauh dari pusat budaya, namun dirinya tidak bodoh, terima kasih.
(“Jangan mudah percaya omongan karnivora, Anakku.”)
Dia tidak akan menanggalkan ajaran ayahnya yang telah ditanam sedari kecil hanya karena satu karnivora anomali, terima kasih. Pemikiran sarkasnya terpaksa berhenti karena kerumunan di depan dan di sekitarnya mulai berteriak lantang.
(“UWWOOOGGHH!!”)
(“MANA SEMANGATNYA?? KURANG! AYO SEKALI LAGI!! FELIDAEEEEEE–”)
(“UWWWWWWOOOGGGGGHHHH!!!”)
“A-apa-” kebingungan, Wonwoo menoleh ke kanan dan ke kiri. Wajah-wajah para hybrid muda yang terbakar semangat, seolah tak sabar untuk menyambut kehidupan kampus yang baru. Mereka lagi-lagi berteriak, menyerukan yel-yel atas komando…seseorang itu. Seseorang yang dari tadi menyetir gerombolan di depan sana.
“A~ah~” Junhui menghela napas. “Lagi-lagi dia terlalu bersemangat. Semoga nggak kedengaran sampai area Jisoo-hyung…”
Mendengar nama sang serigala disebut, Wonwoo tersentak. Ditatapnya Wen Junhui.
“…Kau kenal dia?” tanyanya.
“Jisoo-hyung?” macan kumbang itu terkekeh. “Semua kenal dia, Wonwoo. Klan Serigala Arktik, Hong Jisoo. Pemimpin famiglia Canidae. Semua keluarga anjing menurut padanya, kau tahu?”
Tidak, Jeon Wonwoo tidak tahu.
“Dan dia juga rival abadi keluarga kita. Anjing versus kucing. Klasik.”
Junhui mendadak menarik lengan Wonwoo sambil membuka kerumunan. Wonwoo tidak sempat bereaksi ketika dirinya dibawa melewati punggung para hybrid, semakin dan semakin dekat ke tengah kerumunan, ke lapisan para karnivora. Ia pun bergerak tanpa benar-benar berpikir akan apapun, terlalu takjub akan tarikan tiba-tiba itu.
“Sini, kukenalin. Dia pemimpin keluarga kucing di sini sekarang.”
Menjadi pusat kerumunan, seorang lelaki berdiri. Ia sedang melantunkan aba-aba untuk yel-yel lagi. Kaus lengan panjang yang ia pakai berwarna kuning mencolok. Jinsnya dipenuhi cecoretan random, seperti ada yang menggambari. Rambutnya pirang, hampir putih. Platina, batin Wonwoo. Fokusnya pun berpindah ke telinga dan ekor lelaki itu. Bulunya pendek, menempel ke kulit. Corak yang tak asing.
“Klan Harimau.”
Namun, saat Jeon Wonwoo menatap wajahnya, seketika itu juga si lelaki balas memandangnya. Matanya yang sebelumnya menyipit akibat senyuman lebar, kini membulat. Orbs kembar hitam yang terang…penuh kehidupan dan gairah, dan…
“Kwon Soonyoung.”
…tatapannya tajam.
YA AMPUN???? INI KEREN BGT DEH KAKKKK AKU SUKA BGTTT awalnya liat prompt nya menarikkk bgt terus aku mikir kayanya ini bakal seru dehhh terus pas baca ternyata beneran seru!!!! SUKAAAA POKONYA <33 semangat ya kakkk 😀
wah thank you udah baca <3 cuma sayang ini aku udah lama drop sih, jadi cuma sampe segitu aja xD;
aargh suka dgn tulisan kaka yang penuh imajinasi dan fantasy gini deeeh ❤️❤️❤️
thank you for reading hehe glad to hear that 😉♥️