Woncheol/Minwon AU: Part 1-3, Major character death, Angst, Supernatural, Do I Wanna Know by Arctic Monkeys
Part 1
“Berita selanjutnya—”
Senyuman kecil. Kemeja dan jas yang rapi. Profesinya sebagai pembaca berita membuat Wonwoo harus segar setiap pagi, menyambut dunia dengan sapaannya yang ramah.
“—telah terjadi kecelakaan antara mobil dengan truk gandeng di area—”
Meski, tidak semua berita yang ia sajikan membawa senyuman ke dunia. Ia berusaha untuk tidak mengernyitkan alis. Sepat lidahnya, mengucap berita duka di pagi yang cerah ceria.
“—penumpang mobil tewas, sementara supir truk melarikan diri dari tempat perkara—”
Dari balik lensa kontaknya, Wonwoo terus membaca teleprompter terkait berita tersebut.
“—korban tewas bernama—”
Hening.
Kru stasiun televisi dan rekan pembawa beritanya menoleh ke arah Wonwoo. Riuh rendah bisikan pun terdengar. Seseorang menyuruh untuk memotong, yang lain melirik ke rekan Wonwoo. Rekan tersebut berbisik, berusaha memanggil lelaki itu.
“Psst, Won,” panggil Junhui. “Won.”
Tidak ada jawaban. Ketika Junhui hendak mengambil alih, getir suara Wonwoo terdengar, membuat semua orang diam.
“—k-korban tewas bernama K-Kim Mingyu, 27 tahun, putra kedua dari pemilik Kim Group. Jenasah akan disemayamkan di rumah duka mulai malam ini-“
Mata Junhui perlahan melebar. Jeon Wonwoo masih terpaku di tempatnya. Jiwa bagai melayang. Lenyap.
“—k-kepada keluarga dan-“
Napas Wonwoo mulai tercekat.
“-dan tunangannya, yang seharusnya menikahinya minggu depan-“
Digamitnya kertas di meja kuat-kuat. Bibir bawahnya gemetar.
“-segenap kru mengucapkan duka cita y-yang mendalam-“
Junhui pun menggigit bibir menatapnya.
“-d-d-dan-“
“Won-“
Wonwoo memejamkan mata, meneguk ludah, mendorong air matanya kembali. Ia mengambil napas dalam-dalam, dihembuskan. Kemudian, ditatapnya kamera dengan mantap.
“Semoga diberi ketabahan bagi yang ditinggalkan.”
Ia menunduk, pun Junhui ikut menunduk. Junhui menyambung, kembali menatap kamera bersama Wonwoo.
“Sekian berita pagi ini. Saya Wen Junhui,”
“Dan saya, Jeon Wonwoo,”
“Bersama segenap kru, undur diri. Selamat pagi, Indonesia.”
Terdengar lagu, lalu credit roll singkat beserta logo stasiun televisi mereka. Wonwoo tidak ingat apapun setelah cue diteriakkan. Ia tidak ingat bagaimana Jihoon menghampirinya, tergopoh-gopoh. Tak ingat bagaimana Junhui meneriakkan namanya. Atau bagaimana Soonyoung menahan tubuhnya dari membentur lantai, kepala terlebih dahulu.
Tak ingat.
Yang ia tahu,
di dalam gelap ini,
Mingyu masih hidup dan memeluknya.
Erat.
Part 2
“Won…”
Ia terkekeh geli. Bisikan Mingyu di belakang telinganya menggelitik, membuat Wonwoo semakin merebahkan kepalanya ke pundak sang kekasih. Berdua, mereka memandangi langit berbintang di pantai yang gelap pekat. Lengan Mingyu memeluk pinggangnya.
“Kita udah pacaran lama kan?”
“Hmm?” ia memejamkan mata menikmati angin malam. Akhir-akhir ini pekerjaannya membuatnya stress, sehingga tawaran weekend getaway ke Bali berdua bagai lonceng surga bagi Wonwoo.
“Berapa tahun sih?” senyuman Mingyu jahil.
“Yah, Kim Mingyu,” ingin dipukulnya kepala lelaki itu. “Are you seriously forgetting our anniversary?”
Senyuman jahil menjadi kekeh tawa. Dipeluknya lebih erat, wajah menyuruk ke celah leher Wonwoo, menikmati wangi tubuh kekasihnya bercampur asin angin laut. “Ampun, Baginda,” selorohnya. “Nggak lupa lah. Mana mungkin lupa. Dapetin kamu 5 tahun lalu, jatuh bangun, aku, tau nggak?” Dikecupnya kulit leher Wonwoo. “Kamu susah banget dipepetin. Dimanisin, salah. Dijahatin, lebih salah. Baru kali ini aku nemu orang yang nggak tau aku siapa.”
Kedua pipi Wonwoo pun memerah. “Iiih, jangan diulang mulu napa sih?? Aku tau ya kamu siapa, aku tuh news anchor kali?? Kamu yang dateng-dateng make kaos putih polos??? Jins belel?? Macam abang cuanki???” protesnya balik sambil melotot, tidak mau kalah.
Keras kepala.
Mingyu terkekeh. Jeon Wonwoo keras kepala.
Makanya Kim Mingyu bisa jatuh cinta…
“Sayang.”
“Hmm?”
Mingyu menggenggam tangan Wonwoo. Jari-jemari saling menyelip, saling menggamit, “Kamu seneng, nggak, jadi pacar aku?”
Dengusan geli, “Nanya apaan sih kamu, Gyu?”
“Jawab dooong~”
Manjanya. Wonwoo masih sering heran kenapa ia bisa sayang banget sama lelaki ini. Sayang, sayang sekali…
“Seneng lah….”
“Kalo gitu,” Mingyu menangkup wajahnya, membawa mata mereka untuk saling menatap. “Kalo jadi suami aku, lebih seneng dong?”
……
“…….Eh?“
Tanpa memutus pandangan, Mingyu merogoh saku celananya, lalu membawa sebuah cincin ke depan wajah Wonwoo. “Ini cincin keluargaku. Turun temurun diwarisin buat dikasih ke calon menantu keluarga. Mamaku dapet ini dari Papa. Sekarang…,” Mingyu menelan ludah. Gugup. “…Sekarang, aku mau kasih cincin ini ke kamu.” Tanpa disadari, Mingyu telah menahan napas sedari tadi. Debar jantungnya beradu dengan debur ombak. Ia tidak berani memutus pandangan dari Wonwoo. Menunggu, penuh harapan dalam kedua bola mata hitamnya.
“Oh…,” suara Wonwoo lemah.
“…………”
“…………………….”
“…………………………………”
“Sayang?”
“Hmm?”
“Mmm…dijawab dong lamaran aku…?”
“…Oh! Oh iya! Mm, oke.”
“Oke…?”
Wonwoo membuat huruf O dengan ibu jari dan telunjuk, “Oke.”
Sedetik.
Dua detik.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!”
Gelegar tawa. Mingyu tidak tahan untuk tidak terbahak-bahak sambil berguling di pasir, sementara kekasihnya mengernyitkan kening dengan wajah merah padam. “A-apa sih?! Kok malah ketawa??” protes Wonwoo, lagi.
Dia masih terkekeh, memegangi perut dan mengusap bulir air mata. “Nggak…nggak nyangka aja, kamu jawabnya nggak romantis sama sekali,” ujarnya.
“Biarin!”
“Nah kan. Nah kan. Ngambekkk…”
Wonwoo membuang muka.
“Cium nih.”
“Bodo. Males. Marah.”
Mingyu meringis. Ringisan yang lebih ke arah sayang daripada jahil. Lalu, lengan-lengan besarnya membungkus tubuh Wonwoo. Diambilnya tangan kekasihnya untuk disematkan cincin itu ke jari manis.
“Aku sayang sama kamu…,” bisik Mingyu.
Napas Wonwoo tercekat.
“Suamiku…”
Part 3
Bau bunga bakung.
Putih.
Di sana, di dalam peti mati, Mingyu bagai tertidur. Bila kecelakaan lah yang telah merenggutnya, maka perias mayat mengerjakan tugasnya dengan baik sekali. Ia nampak bersih, tak terlihat sedikit pun sisa-sisa kecelakaan itu, rapi dalam balutan kemeja lengkap.
Putih.
Bunga segar yang mekar indah.
Setelan jas satin putih.
Kemeja putih.
Dasi putih.
Bunga putih.
(“Yang ini juga lucu.”)
(“Putih.”)
(“Seriously, Won? Ungu muda cocok buat kamu lho. Ato rose quartz and serenity?”)
(“Putih. Aku mau tema nikahan kita warnanya itu pokoknya.”
(“…Fine…”)
Isak tangis, riuh-rendah mengelilingi mereka yang berada di rumah duka tersebut. Puluhan lilin pun dinyalakan. Semua yang ada di sana berpakaian hitam, tak terkecuali Wonwoo dan orangtua Mingyu. Pada kedatangannya (dibopong oleh Soonyoung, sementara Jihoon dan Junhui menyusul mereka di belakang), Ibunda Mingyu langsung memeluknya, menangis bersamanya.
Lima tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menambah seorang ibu. Lima tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menyayangi calon menantumu seperti anak sendiri. Ayah Mingyu memeluk mereka berdua, diam seribu bahasa. Tiga orang yang ditinggalkan dalam keadaan paling terluka. Orang-orang yang ia sebut sebagai ‘keluarga yang ditinggalkan’ dalam berita paginya. Saat ini, hanya ia yang berdiri termenung di sisi peti mati Mingyu. Sang ibu tengah menyambut tamu, tanpa henti menangis. Sang ayah menawarkan wiski pada para kerabat.
Wonwoo? Wonwoo terpekur, terus memandang mayat dalam kotak kayu panjang. Kekasihnya selama lima tahun. Berbagi hangat, sentuhan, dan ciuman dengannya. Berbagi mimpi dan harapan.
Dan cinta.
(“Aku sayang sama kamu…”)
Dan cinta…
(“…suamiku…”)
Setetes.
Dua tetes.
Kemudian,
ia hancur.
Pembohong, pembohong…
Gigi ia gertakkan kuat-kuat, menahan erangan panjang yang menyakitkan. Pipinya telah basah oleh air mata. Disentuhnya wajah Mingyu, berharap kulit itu hangat,
bernapas,
bernyawa.
“…Katanya kamu mau cium aku di pelaminan?”
Ia berbisik. Wajah mendekat. Bibir menggesek pipi kaku sang mayat. Gemetar. Sekujur badan. Hidungnya memerah. Tangisnya menjadi-jadi. Dengan segenap jiwa dan raganya, ia memeluk apa yang tersisa dari calon suaminya.
“Bangun…”
Isakan, berat oleh rasa putus asa.
“…bangun…Mingyu…jangan tinggalin aku….”
Tak ada lagi artinya.
“…jangan tinggalin aku…”
Segala doa yang ia panjatkan.
“…Mingyu…”
Ia menangis sejadinya. Mencabik. Memohon. Merintih. Soonyoung mendongak, memandang langit-langit, berusaha menahan air mata agar tidak jatuh dari pelupuk. Hatinya tidak kuasa melihat kehancuran sahabat sejak kecilnya. Pun Jihoon di sisinya, menggenggam erat. Bibir bawah digigit kuat. Tangis berlinang di pipinya. Junhui, entah sudah di mana. Ia paling lemah akan duka cita. Mungkin ia mengambil segelas wiski, bersulang dalam penghormatannya yang terakhir pada Mingyu, lalu menenggaknya sampai habis. Pada lelaki yang pergi sambil membawa separuh hati sahabatnya.
Di tengah rundung nestapa, begitu cepat, kegaduhan itu. Penjaga keamanan di depan mulai menaikkan nada. Mencuri perhatian para pelayat. Membuat orangtua Mingyu menoleh. Soonyoung, Jihoon, pun menatap ke arah sumber suara. Wonwoo tak peduli akan itu semua. Namun, suara pekikan ibunda Mingyu akhirnya menyita fokusnya. Intonasi penuh angkara. Begitu pun ayah Mingyu, meski ia berusaha tetap sabar, tetap menahan murka istrinya.
Wonwoo mengangkat kepala, masih limbung karena kesedihan. Seseorang. Rambutnya hitam. Matanya sayu. Bibirnya merah dan kulitnya putih sekali. Orang itu tidak mengenakan baju hitam, melainkan sweater gombrong pink dan jins biru muda.
(“…rose quartz dan serenity…”)
Orang itu menatap Wonwoo, yang balik menatapnya.
“…Lo yang namanya Wonwoo?”
Alih-alih kaget, pikirannya kopong. Tak peduli mengapa orang itu mengetahui namanya. Mereka berpandangan lagi sejenak, sebelum orang itu menghela napas.
“Gue Seungcheol. Mulai detik ini, gue yang jagain lo.”
“…Hah?”
Decakan tak sabar.
“Denger nggak sih? Lo pindah ke rumah gue sekarang, ato gue yang pindah ke rumah lo,” hening. Desah napas lagi. “Look. Gue tau lo pasti bingung, tapi ini, emm, permohonan? Perintah? Sejenis itu lah.”
Kening Wonwoo mengernyit, “Perintah…?”
Lelaki bernama Seungcheol bergeming.
“Perintah siapa……?”
Lepas pertanyaan itu, Seungcheol perlahan mengangkat lengan. Telunjuk mengarah ke satu titik.
“Adek gue.”
Ke arah raga yang Wonwoo peluk di dalam peti mati.