Junhao AU: Day 1-8, Drabbles, Office AU, Day 1 by HONNE
I got lucky finding you
I won big the day that I came across you
Day 1
“Ada anak baru?”
Soonyoung mengangguk sambil menyuap potongan bala-bala dan ikan cakalang. Kantin siang itu ramai seperti biasa, apalagi hujan yang turun rintik-rintik membuat penghuni gedung memilih kenyamanan kantin dibandingkan murahnya harga di kaki lima belakang.
“Anaknya gimana?” tanya Wonwoo, kepo.
“Diem aja,” Soonyoung menjawab sambil kini mengunyah sayur bunga pepaya. “Senyum juga enggak.”
“Hee…”
Jihoon tidak menggubris itu semua, sibuk dengan grup chat di hapenya sambil menyesap Kopi Kenangan Mantan. Sama seperti Jun, meski yang diminum Jun adalah Susu Boba Gula Aren (pingin Kokumi tapi gajian masih 3 hari lagi huhu) dan ia, setidaknya, masih mendengarkan obrolan kedua temannya.
Mereka berempat tidak berasal dari kantor yang sama. Gedungnya sama, tapi kantornya beda-beda dengan posisi yang juga berbeda. Mereka bertemu di kantin, sama-sama mencari meja kosong tapi tidak menemukan, dan kemudian, nasib membawa mereka berempat berbagi meja. Yah, itu cerita setahun yang lalu. Sekarang, mereka seperti teman pada umumnya saja, dengan setiap kontak dalam handphone masing-masing.
(walau Jihoon suka mengaku memblok nomor mereka kalau dirasanya mengganggu).
“Kok kayak sombong?”
“Eh goblok. Ada anaknya,” Soonyoung menendang kaki Wonwoo di bawah meja.
Ternyata kepo juga, Jihoon mengangkat wajah dari layar handphone untuk mengikuti arah pandang Soonyoung.
“Halo, Minghao. Sendirian?” Jun juga menengok, persis ketika yang dipanggil namanya mengangguk pada Soonyoung. “Mau join kita?”
Minghao menggeleng.
“Oh ya. Kenalin. Ini Wonwoo-“
“Haloo.”
“-Jihoon-“
Gestur peace.
“-Jun.”
Jun tersenyum padanya.
Sekali lagi, Minghao mengangguk. Sebuah senyum (?) tipis (amat tipis, malah) sepertinya disunggingkan pada mereka. Sepertinya. Jun juga tidak yakin itu senyuman atau muka dia kayak biasa.
“Sori, beli makan dulu…?” ujar lelaki itu.
“Oh! Silakan, silakan! Sori,” sahut Soonyoung langsung.
Mengangguk kecil terakhir kali untuk permisi, mereka menonton kepergian si anak baru. Wonwoo yang pertama berpendapat.
“Diem ya”
“Lah kan udah gue bilang,” timpal Soonyoung.
“Ya udahlah. Eh, gue mau nanya, ntar weekend jadinya gimana?”
“Gue udah nyari sih. Kopi yang baru tuh di daerah—”
Jihoon kembali menekuni handphonenya, kembali tidak memedulikan obrolan. Tidak ada yang melihat bagaimana Jun masih menatap anak baru itu.
Day 2
Jam 08:33 pagi. Kantornya masuk jam 08:30. Sudah telat 3 menit. Mengenal sifat Jun, ia hanya menghela napas satu kali, sebelum melangkah turun MRT. Kedua tangan di dalam saku jaketnya. Ia bukan karyawan teladan dan tidak akan pernah.
Pagi itu, matahari sangat terik, kontras terhadap angin dingin bekas hujan semalam yang menerpa wajahnya. Pun, nanti siang biasanya juga hujan kalau paginya seterang ini. Langkah kakinya panjang dan cepat, meski tidak sampai berlari, ketika menjajaki tangga stasiun. Antara stasiun dengan kantornya hanya berjarak 2 menit (plus 3 menit menunggu lift jadul membuka pintu yang mana adalah momok bagi seluruh penghuni gedung ketika mengejar absen pagi).
Jun berdiri tenang di depan lift, menunggu lampunya berkedip. Ia melirik lagi jam tangannya.
08:38.
Dengan bunyi ‘Ding!’ dan nyala lampu, liftnya terbuka (tentu setelah nyala lampu berpindah seenaknya ke lift yang lain, heran deh selalu begini, apa sih maksudnya??). Jun pun melangkah masuk. Karena ia berada di depan tombol, maka ia memencet tombol tutup.
“TUNGGU, TUNGGU, TUNGGU—”
Refleks, Jun langsung memencet tombol buka saat mendengarnya, dan, kemudian, masuklah sang anak baru, terengah dan rambutnya agak berantakan akibat berlari.
“Permis-“
“Lantai 19?”
“Oh.”
Minghao baru sadar itu siapa. Jun tersenyum padanya sebagai sebuah sapaan. Minghao mengangguk. Jun menekan tombol bernomor 19, lalu tombol untuk menutup pintu. Lift pun bergerak membawa mereka berdua naik.
“Makasih…”
Jun menoleh, meringis. Ringisannya sepertinya menular, karena Minghao tersenyum kecil padanya.
Kali ini, ia yakin itu senyuman.
Day 3
“GAJIAANN!!”
“MAKAN-MAKAN!!”
“Diem lo semua, babik,” yang terakhir menggerutu tidak lain tidak bukan adalah Jihoon, yang gajiannya masih nanti, tanggal 24. Jun hanya meringis, sementara Soonyoung dan Wonwoo terkekeh mendengarnya.
“Santuy, Hoon, beda lima hari doang,” Wonwoo melingkarkan lengan ke leher Jihoon, berniat memitingnya main-main, tapi yang diserang lebih sigap. Ia menggigit lengan Wonwoo, memancing erangan kesakitan keluar dari mulut lelaki itu. Soonyoung makin tergelak menonton tingkah mereka. Jun, sebaliknya, menarik lengan Wonwoo untuk melihat bekas gigitan barusan. Ekspresinya cemas.
“Nggak apa, lo?”
“Sakit. Si anjing…”
“Apa lo, Won!” Jihoon menggeram. Benar-benar mirip bullmastiff versi mini. Lucu sih, tapi galak.
Jun meniup-niup bekas luka itu. “Lo minta betadine sama band aid ya ke GA lo ntar,” ucapnya. “Nggak ampe robek banget sih. Makanya, besok-besok jangan ngajak ribut Hoonie.”
Wonwoo tidak menjawab, hanya mendengus sebal.
“Udah, udah,” Soonyoung menepuk-nepuk pundak Jihoon, mencoba mencairkan suasana. Kantin agak sepi siang itu, mungkin karena sebagian besar karyawan pada habis gajian, mereka pun cenderung memilih makan ke luar. “Weekend jadi nggak kita ngopi, nih? Hoon gue traktir, mau?”
Tentu saja mau, walau dia sok jaim.
“Males.”
“Yeuu jan ngambek dong. Colek nih.”
“Berani lo??”
Namanya juga Soonyoung. Ditowelnya dagu Jihoon, hanya untuk ditendang sampai jatuh dari kursi.
“Ya Allah!”
Jun otomatis berdiri, kemudian mendekati Soonyoung yang masih tepar di lantai. Kepala pengunjung kantin menoleh pada meja mereka, kepo ada kejadian apa. Ia menggoyangkan badan Soonyoung, sebelum sadar ada sepasang kaki lain berdiri di dekatnya. Jun mendongak. Ia bertemu pandang dengan Minghao.
“Kenapa?” tanya anak baru itu.
Butuh beberapa detik untuk Jun menjawab, “Biasa, becanda doang.”
Minghao kemudian bergerak untuk membantu Jun membangunkan Soonyoung.
“Adududuh…”
“Kapan tobat sih lo, Soon?” kekeh Jun. Berdua dengan Minghao, dia kembali mendudukkan Soonyoung. Kepala yang tertoleh kembali mengurusi makanan dan ghibahan masing-masing.
“Haduh, sadis amat maennya emang, kesayangannya gue…”
“Najis,” celetuk Jihoon.
Jun hanya tertawa.
“Thanks ya, Jun, Hao.”
Ketika Soonyoung berkata begitu, barulah ia sadar si anak baru masih di sampingnya. Minghao tersenyum kecil, sebelum mempermisikan dirinya. Entah perasaan sematakah, atau memang tatap Minghao pada Jun tergolong agak lama…?
“Jun.”
“Ha?”
“Jadi, lo mau di mana ntar weekend?”
Menit berikutnya, mereka sudah membahas berbagai toko kopi potensial untuk nongkrong di Jakarta, menyapu bersih pikiran Jun akan Minghao.
Day 4
Ada kucing.
Di depan, di tengah lorong yang dia mau lewatin, seekor anak kucing lagi boboan santuy di tengah jalan. Otomatis, ringisan Jun merekah. Meski orang lalu-lalang, ia, tak peduli akan semua itu, berjongkok di depan si anak kucing.
“Kamu ngapain di sini? Nanti keinjekkk,” dengan gemas, dielusnya kepala mungil itu, membangunkannya dari tidur. Matanya bulat besar. Hidungnya warna pink dan mungil. Ketika ia mengelusi perut gembulnya, si anak kucing memamerkan taring dan cakarnya, lalu menggigit tangan Jun.
Tapi, yah, namanya juga bocil. Taring sama cakarnya, apalagi bagi pecinta kucing sejenis Jun, bukanlah apa-apa dibandingkan milik kucing dewasa (apalagi si gendud gemas kesayangannya di kostan, kasur Jun aja jadi punya dia, Jun mah cuma numpang). Melihat tingkah kucing kecil itu, Jun ketawa.
“Hayo gigit, gigiitt,” malah makin didorongnya ke arah rahang. Si kucing kecil batal menggigit, menjilat hidungnya, memeluk tangan Jun, membuat lelaki itu kembali mengelusi leher dan belakang telinganya. Si kucing kecil pun mendengkur keenakan.
Senyum Jun tak hentinya terpampang, bahkan ketika ia meraup anak kucing itu untuk memindahkannya ke pinggiran lorong yang lebih aman, dekat dengan semak tanaman. Si kucing kecil tidak meronta. Ketika badannya ditaruh, ia menjilati bulunya yang putih bercorak abu-abu.
“Jangan di tengah jalan lagi ya? Ntar ada orang nggak liat. Keinjek. Piye??”
Si kucing masa bodoh. Jun cuma bisa mengucek gemas kepala anak kucing itu.
“Dah ya. Dadah.”
Agak tidak rela, ia mengelus leher anak kucing itu, kepala, di antara kedua mata, sebelum benar-benar pergi.
.
.
.
“Gue nggak paham ya, kenapa sih-” menyadari lawan bicaranya tengah menatap ke luar jendela kafe, Mingyu mendengus. “Hao! Lo dengerin nggak sih?”
Kaget, Minghao menoleh.
“Eh, iya, apa?”
“Ngeliatin apaan sih lo?”
“Oh. Enggak,” diaduknya es kopi pesanannya. “Ada kucing.”
Part 5
“Soonyoung-nya ada?”
“Dengan siapa?”
“Jun. Temennya. Cuma mau balikin barang.”
“Udah diinfo ke Mas Soonyoung?”
Ia mengangguk.
“Coba ya aku hubungin. Silakan duduk dulu, Mas.”
Menurut, Jun duduk di sofa yang disediakan, sementara resepsionis menekan tombol telepon. Ia membuang waktu memerhatikan keadaan ruang tamu kantor Soonyoung. Sebagai perusahaan start-up, ruangan itu menonjolkan segi dinamis dan efisiennya. Simpel, modern. Di layar televisi dinding yang besar, alih-alih produk mereka, malah diputar lagu-lagu kekinian yang bersemangat. Jun menonton, setengah termangu.
“Mas.”
Ia tersadar, “Iya?”
“Mas Soonyoung-nya lagi di pantry sebentar ya.”
Jun berdiri mendekati meja. Lebih karena duduk dekat televisi membuatnya susah menangkap suara sang resepsionis.
“Kenapa, Mbak?”
“Mas Soonyoung-nya lagi di pantry sebentar. Mohon ditunggu ya, Mas.”
“Ooh,” Jun tersenyum. “Oke, oke.”
Jun duduk kembali. Seseorang lewat melalui pintu di dekat resepsionis.
“Siang,” sapaan resepsionis. Jun mendongak tepat ketika Minghao menunduk, menyapa wanita itu.
“Minghao.”
Kini, giliran Minghao kaget.
“Oh. Emm.”
Tangan lelaki itu meremas ujung bajunya. Sepertinya sedang kesusahan. Jun mengernyitkan alis sejenak, sebelum memahami alasan gestur tersebut.
“Jun,” diberitahunya sekali lagi.
“Oh. Iya,” ada lega terdengar di sana. “Jun. Halo.”
“Halo,” senyuman Jun kini merekah kepadanya.
“Kok di sini?”
“Nungguing Sunyong,” diangkatnya sebuah jam tangan. “Jamnya ketinggalan di kosan gue kemaren.”
“Nginep?”
“Maen doang.”
“Oh.”
Kemudian, Minghao berdiri saja di sana. Jun juga, duduk saja di sana.
“Emm, sori, toilet—”
“Oh! Sori, sori!”
“Misi ya, Mas.”
“Ya…”
Terburu-buru, Minghao berlalu. Jun jadi tidak enak. Ia mengambil handphonenya untuk mengirim chat ke japri Soonyoung: ‘buru’.
Day 6
“Hao ikut makan, nggak apa-apa kan?”
Jun mengerjapkan mata. Di meja tempat mereka biasa berkumpul, ada Soonyoung, Wonwoo, Jihoon…dan Minghao.
“Oh,” bingung juga kenapa Soonyoung nanya begitu. “Halo.”
“Halo,” jeda. “Jun.”
Yang dipanggil mengangguk.
“Pesen duluan gih, gue jagain tempat!”
“Nyong, titip yak.”
“Iye.”
“Gue pengen makan soto ah.”
“Ji, steamboat yang baru buka tuh, kayaknya enak.”
Jun sendiri melipir ke stall bakmi. Bakmi ayam jamur pake pangsit rebus anget-anget dan cabe sepuluh sendok. Mantaaappp. Pas mengantre, dia iseng menengok ke belakang, niatnya ngecek meja mereka, hanya untuk menemukan Minghao berdiri di belakangnya, ikut mengantre.
“Lho,” pura-pura kaget. “Makannya jadi ini juga?”
Minghao mengangguk. Jun ingin mengajaknya mengobrol, tapi tak satupun terlintas dalam benak. Akhirnya mereka tidak mengobrol apapun ketika tiba giliran Jun memesan makanan.
“Jadi 35 ribu, Kak. Pake OVO, Gopay, ato Cash?”
“Cash—”
Dompetnya, pas ia buka, ternyata kosong. Jun meraba sakunya. Waduh. Hapenya ketinggalan di meja kantor. Waduh.
Minghao, melihat gelagat aneh tersebut, akhirnya mengintip, “Kenapa?”
“Gak bawa duit, gue, rupanya.”
“Oh. Mau bareng gue aja?” ia mengulurkan handphone. “Gue mau bayar pake aplikasi sih.”
“Nggak apa-apa nih…?”
Minghao tersenyum lemah.
“Sori ya…”
“Santai, Ge—
Oh.
Minghao pun menyadari apa yang ia ucapkan, kemudian menunduk malu, mengacuhkan Jun yang memandangnya dengan mulut menganga. Minghao memesan bakmi goreng seafood, lalu membayar kedua pesanan dengan aplikasinya. Makanan mereka datang. Dua tray. Dua piring. Dua pasang kaki berjalan balik ke meja, yang satu mendahului yang lain.
“Tadi…manggil gue apa?”
“….”
“Manggil apa?”
“Bukan apa-apa!”
Jun meringis, melihat belakang telinga Minghao memerah.
Day 7
“Bapak Jun!”
Tersentak, ia mendongak dari layar handphone.
“Ada Bapak Jun?”
Buru-buru ia berdiri dan mengulurkan lengan, “Iya. Iya. Saya.”
“Sebelah sini ya, Pak.”
Petugas PMI itu menaruh kantung darah di sebuah tempat tidur lipat. Segera, Jun berbaring di sana. Ruangan itu cukup besar untuk menampung karyawan dari berbagai perusahaan yang bekerja di gedung yang sama, termasuk panitia dari perusahaan penyelenggara, serta tim PMI yang bertugas. Di salah satu sudut, nampak Soonyoung sedang mengutak-atik PPT untuk ditampilkan. Isinya rangkaian CSR yang telah perusahaannya lakukan selama ini. Selain Jun, Jihoon dan Wonwoo juga bertandang atas undangan Soonyoung, tapi mereka sudah diambil darahnya duluan.
“Sebelah sini ya, Mbak,” Jun menunjukkan sebuah titik di lipatan bagian dalam lengannya.
“Di ujung sini, Pak?”
“Iya. Saya biasa di situ kalo diambil darah,” senyumnya.
Sang petugas mengerutkan alis, menekan-nekan lengan kanan Jun. “Di tengah ada kok nih? Di ujung lebih sakit lho biasanya,” tawarnya.
“Oh iya ya?” pasang wajah bingung. “Saya biasa di situ sih… Gini deh. Diliat aja yang keliatan di mana, yang lebih gampang, gitu. Yang pasti di kiri sih nggak ada, saya di kanan.”
Setelah mencari sejenak, petugas pun menurut dan memasang perekat tensi di lengan atasnya.
“Saya tusuk ya, Pak.”
“Oke.”
“Tarik napas yang dalam…”
Jun menarik napas dalam-dalam, merasakan tusukan jarum, yang kemudian langsung ditempel ke lengannya. Di bawah, alat penahan kantung darah bergerak ke kanan dan ke kiri secara monoton. Ia kembali bermain handphonenya, menyelesaikan dua ronde lagi dalam game yang ia tengah mainkan sebelum namanya dipanggil tadi.
Sampai pada akhirnya, kira-kira 5 menit kemudian, 350cc kantung darah sudah terisi penuh. Petugas pun segera melakukan rutinitas berberes. Dengan gunting, didorongnya darah masuk ke kantung dari bagian yang panjang, kemudian dililitkan ke kantung darah kosong.
“Mau dicabut jarumnya, Pak, tarik napas…”
Lagi, ia menarik napas dalam-dalam. Ketika jarum pergi, setitik kecil darahnya timbul, yang buru-buru disapu oleh kapas beralkohol. Dua kali, sebelum sebuah plester kain menggantikan kapas tersebut.
“Ditahan begini ya, Pak,” sang petugas menjepit lengan bawahnya ke lengan atas. “Soalnya takut bocor.”
Mengangguk, Jun pun turun dari tempatnya. Ia mengambil kartu donornya dari meja dekat pintu keluar, kemudian ke arah meja registrasi formulir. Sebuah wajah familier berdiri di sebelah meja tersebut, sudah siap dengan tiga kantung spunbound di salah satu tangan. Senyum terkembang. Siap menyambut.
Langsung hilang, ketika dilihatnya siapa yang mendekat sambil menyengir lebar.
“Hai, Hao.”
“…Hai.”
Diam, Minghao menyodorkan satu kantung spunbound kepada Jun. Diterimanya dengan cengiran yang tak kunjung lepas, memaksa kerutan di kening Minghao makin dalam.
“Lagi kerja nih?”
“…”
“Panitia yah?”
“….”
Dua kali tidak dijawab, senyum Jun memudar. Ia berdeham salah tingkah, kemudian mengangguk sebagai tanda undur diri. Namun, baru satu langkah, suara Minghao menghentikannya.
“Mmmmakasihya…”
Jun berbalik, memandangi Minghao. Masih enggan menatapnya balik. Masih mengerutkan alis. Namun, ia tahu, Minghao cuma malu.
“Sama-sama.”
Cengiran lebar.
Day 8
[Kangen banget sama kalian]
Tuts keyboard berbunyi. Pasal pembatasan jam kerja karena epidemi yang tengah melanda seluruh dunia, termasuk Jakarta, membuat Jun harus berjibaku dengan kerjaannya di rumah. Monitor, CPU, mouse, keyboard, semua dibawanya.
Tentu, salah satu keuntungan kerja di rumah adalah ia bebas menyambi dengan kegiatan lain. Jun bisa saja menghitung angka-angka sekaligus menonton Hotel del Luna dari layar kecil handphonenya. Yang penting pekerjannya selesai tepat waktu dan tak menimbulkan masalah. Jadi, sudah pasti tak ada yang akan melarangnya mengobrol dengan teman-temannya melalui whatsapp for web.
[Kangen godain Uji]
Itu jelas Soonyoung.
[Oh kebetulan. Gue juga kangen gamparin lo]
Dan yang itu Yang Maha Jihoon.
[Udah keadaan lagi begini kalian berantem mulu apa tidaks rerach]
Wonwoo pasti anak Twitter, batin Jun dalam hati. Dia sendiri terkekeh melihat percakapan ngalor ngidul keempat temannya itu.
[Kantor lo udah full wfh, Jun?]
[Udah sih dari Senen kemarin]
[Senin kemaren, bukan Senen kemarin]
[Astaghfirullah Won…kurang-kurangin]
[Apa sih nyong]
Jun hanya ketawa.
[=)))))]
[Eniwei, gue masih masuk lho]
[Serius, Nyong?]
[Wah apakah Uji akhirnya peduli padaku? 😯]
[Najes]
[🐱]
[Apa lu Won]
[Kok gue?? Itu Jun??]
[Owalah ketuker, sori, sori, makanya jangan kembaran kalian]
[anw, lo masih masuk nyong?]
[Yep]
[Eh iya]
[Gue kemarin ketemu Hao]
Jun diam-diam meneguk ludah.
[Oh dia juga masih ngantor?]
[Mmhm. Cuma aneh, dia kayak pucat gitu]
Jun bengong, sebelum jari-jemarinya menekan tuts.
[Pucat kenapa?]
[Nggak ngerti. Gue sapa dia diem aja. Malah pergi gitu aja]
[Jangan-jangan dia sakit]
Deg.
[Jangan ngadi-ngadi lu hoon]
[Eh bukan, maksud gue jejangan lagi ga enak badan gitu]
[Hmm bisa jadi ya]
[Lo tadi ngantor nyong?]
[Ngantor]
[Liat dia?]
[Enggak]
[Mungkin dia ijin kali ya]
[Mungkin]
[Eh beteweee gaes, masker gue udah mauu abisss, gue beli dimana inii help hamba sahaya]
[Udah coba beli di xxx gak, Won]
Jun membuka layar chat pribadi.
[Nyong]
[Oit]
Jun mengetik. Tulisan Typing… dalam huruf miring tidak kunjung berganti. Tentu saja penyebabnya adalah kalimat yang diketik lalu dihapus entah sudah berapa kali. Sampai pada akhirnya ia menghirup napas dalam-dalam, lalu menekan tombol enter. Di layar handphone Soonyoung pun langsung muncul seutas kalimat:
[Boleh bagi nomer WA Hao gak?]