Gyuhao Day D-4: Spin-Off Aa Nonu-Unyong AU Omake, Slight sex scene, Pet/master, Smother Me by The Used
“H-H-Hao, are you sure I have to come inside?” gugup. Banget. “I mean, gue di sini aja nggak apa-apa lho, nungguin sampe pestanya kelar.”
Minghao memutar bola mata akan tingkah laku konyol tunangan sekaligus piaraannya itu 🙄
“Don’t be fucking ridiculous, Gyu,” ampun deh. “Kan udah pernah gue ceritain ke elo kalo gue kudu wajib absolutely must fardhu ain bawa calon laki gue ke nyokap. Inget kan? ‘Mantu yang ganteng, tinggi, seksi’? Dimana lagi gue bisa dapet yang sesuai rikuesan nyokap gue itu kalo lo cabut sekarang??”
“Y-ya, kan banyak, itu tiang listrik depan rumah lo-“
BLETAK!
“AWW!”
Anjing, pakek siku. Untung gue cinta sama lu, Hao.
“Dah diem lo ah. Ayo masuk. Makin cepet lo nurut like a good boy you are, makin cepet kita bisa pergi dari sini,” kemudian sebuah ide menyambar roda gigi di dalam kepala Minghao, keturunan keluarga Xu yang termasuk jajaran Crazy Rich Asian di Indonesia. Ia baru saja pulang dari studinya di Belanda, mengulang lagi ijasah S1-nya, dan berencana untuk melanjutkan lagi di negara lain, namun, tentu saja, ibunya memerintahkan dia untuk bertandang ke rumah. Apalagi, sudah santer terdengar bahwa Xu Minghao tidak pulang seorang diri. Ia membawa pulang juga peliharaan barunya. “If you be a very good boy this whole day, I will give you a reward at our home later on.”
Kalimat terakhir itu mengetuk batin Mingyu.
“Reward?”
Minghao mengangguk.
“Reward…apa?” tanya Mingyu, berhati-hati. Ia sudah sangat paham tunangannya itu punya beberapa sekrup kewarasan yang lepas dari otaknya. Lebih baik bertanya daripada berasumsi sendirian.
Minghao tersenyum lebar. Manis, sekaligus mematikan.
“I will do anything you want me to do tonight.”
…
“…anything?”
“Anything.”
“Anything as in…anything?”
Anggukan tenang.
“…Even reverse pet and master?” oh, sudah ia dambakan sejak jauh hari. Khayalan memabukkan dimana ia menjadi tuan pemilik sesosok piaraan cantik yang pandai melayani majikannya.
Minghao mengerjapkan bulu mata satu kali, kemudian, cengirannya merekah lebar. Mingyu sengaja membuang muka. Merah padam.
“Heee…,” tunangannya malah semakin senang menjahilinya. “Nggak nyangka lo rupanya bejat juga.”
“Gue nggak mau ya lo yang ngatain gue kayak gitu out of all people!” protes Mingyu.
“Fine, fine,” Minghao mengangkat bahu masa bego. “Sure. Whatever you want. I’ll do it for you.” Kemudian, untuk mengikat kekang tak kasat matanya lebih kuat lagi, Minghao berbisik di telinga Mingyu. “Master.”
Dasar lemah.
Surely you can take some comfort knowing that you’re mine
“Nak Mingyu.”
“I-iya, Tante?”
“Kenapa tegang?” ibunya Minghao tertawa dengan anggun. Mereka duduk bersama di meja makan yang panjang. Mingyu dengan Minghao bersisian, sementara itu, persis di seberang mereka, adalah ayah dan ibu Minghao. Sisa meja dipadati para paman, bibi, sepupu dan saudara Minghao lainnya. Fokus Mingyu mengerucut pada orangtua tunangannya itu, mencoba mengabaikan yang lainnya di meja tersebut. “Tante cuma mau tanya satu hal. Santai aja ya, Nak Mingyu. Tante nggak gigit kok.”
Kedipan sebelah mata. Mingyu hanya bisa tertawa kering.
“Mah, inget umur,” dengan ketus, Minghao menyela. Ia memotong daging ikan putih disiram saus anggur di piringnya. “Jangan hobi gangguin punya anaknya dong.”
“Issh, pelit banget anak satu ini,” decak sang ibu. “Lagian Mama nggak ngira kamu beneran bisa dapet mantu sesuai kriteria Mama gini. Nak Mingyu apa dipelet sama anak Tante ato gimana?”
“Eh? Eh?” m-maksudnya dipelet???
“Hayo, hayo, Mama. Jangan gitu,” untunglah, ayah Minghao segera menetralkan suasana, sudah terbiasa dengan kelakuan istri dan anaknya. “Mingyu, Om denger katanya kamu lebih muda dari Hao ya?”
“Eh, i-iya, Om. Saya lebih muda 4 tahun dari Hao,” segera dijawabnya.
“Ketemunya gimana?”
“Eh…s-saya…satu kamar di asrama kampus di Belanda…,” di luar keinginannya, memori akan semua yang telah mereka lakukan untuk menodai kamar kecil itu merasuki benaknya. Ingatan akan Minghao yang bersimbah maninya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Segala hal kotor yang mereka bagi bersama. Mingyu secara refleks menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mendadak keringatan dalam rona merah membara. “K-kami roommate…Om…”
“Ooh,” ayah Minghao mengangguk-angguk.
Ibunya meneguk anggur putih dingin dalam gelasnya sebelum bertanya, “Pasti anak ini nyusahin kamu banyak banget ya, Nak Mingyu? Maafin dia ya~”
“Enak aj—”
Ia segera membantah. “Eng-enggak, Tante! Sebaliknya malah! Justru…justru saya yang…Hao udah banyak bantu saya…,” kalimatnya terputus.
“Oh? Di luar dugaan.”
Melihat tunangannya seolah ragu, Minghao diam-diam meraih tangan Mingyu di bawah meja. Mau tak mau merasa cemas. “Gyu? Are you okay, baby?” tanyanya. “Gyu—”
“Om, Tante,” Kim Mingyu mendongak. Ia balas menggenggam tangan Minghao dengan mantap, membuat kedua bola mata Minghao melebar. “Anak Om dan Tante udah banyak bantu saya. Saya…saya pergi ke Belanda karena patah hati. Saya pergi dengan penyesalan yang dalam dan mimpi buruk yang terus berulang. Jujur, saya udah putus asa saat itu. Tapi, Hao…”
Genggaman makin mengerat.
“Hao dateng ke hidup saya dan nggak ada lagi yang saya mau di dunia ini selain anak Om dan Tante. Dia udah nyelamatin saya.”
Tanpa mereka sadari, seluruh ruang makan itu sunyi, terfokus pada Mingyu dan Minghao.
“Di dunia ini, bahkan jauh setelah itu, cuma Hao yang saya cinta. Saya mohon, berikan anak Om dan Tante pada saya.”
Senyuman tulus.
“Saya janji saya akan bahagiain dia.”
………
“…Gyu,” Minghao menghela napas sambil menutup wajahnya. Terlalu malu saat ini.
“Ya ampun…,” ibu Minghao juga merona. “Mama yang denger aja rasanya malu lho. Nggak kebayang gimana kamu sekarang, Hao~”
“Shut up…,” he groaned.
“Papa juga jadi malu nih, haha,” ayahnya tertawa gugup. “Mingyu, kamu hebat ya. Kamu orang yang lurus. Anak yang baik. Om rasa sih nggak ada yang paling cocok buat anak Om selain kamu.”
“Jadi maksudnya aku nggak baik gitu, Pa??”
“Lho, ini Papa muji pacar kamu lho.”
“Bukan pacar!” Minghao menaikkan nada. Ia menopangkan dagu dan menelengkan kepala. Cincin emas warisan keluarganya turun temurun melingkar di jari manisnya. Orangtuanya paham seketika itu juga.
“Wah…”
“…Tapi tunangan. Kim Mingyu. Tunangan Hao, Mah, Pah…”
“Wah…ini sih bukan homecoming. Ganti jadi pesta pertunangan!” ayahnya bangkit dari kursi. Keluarga Minghao yang lainnya menyambut antusias perubahan pesta itu.
Ibu Minghao tersenyum melihat bagaimana kedua pasangan di hadapannya merah padam, bergumam, “Mama mau cucu yang manis ya.”
“BANYAK MAU YA NENEK SATU INI!!”
Let me be the one who calls you baby all the time
“Hao.”
Begitu pintu rumah mereka tertutup, Minghao menjauh tergesa-gesa.
“Hao!”
Kakinya lebih jenjang. Langkahnya lebih panjang. Ia berhasil menyusul tunangannya itu.
“Hao! Wait!” lengan Minghao pun tertangkap. Mingyu memutar tubuh lelaki itu sekuat tenaga.
…Oh.
Kim Mingyu tersenyum. Minghao masih sangat, amat malu dengan kejadian di rumah orangtuanya tadi. Ekspresinya masih kesal, masih salah tingkah dan pipinya masih memerah. Manis. Manis sekali.
Majikan hatinya.
Mingyu menangkup pipi Minghao, lalu merunduk, mencium bibirnya penuh sayang.
“Does this mean I can get my reward now?” Mingyu meringis jahil, membuat Minghao makin merona.
Let me be the one who never leaves you all alone
“-ah-G-Gyu-!”
“Master,” geramnya di telinga Minghao, membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri. “Be a good kitty and call me master.”
“M-m-maste-ngh!”
“Good. Fucking good kitty. Ah, fuck, you’re so tight…”
“Maste-m-master-yah-w-wait-” Mingyu berhenti sesaat ketika Minghao menarik napas cepat-cepat. Jemari yang ramping mengelus ikat leher Mingyu yang berwarna hijau di lehernya sendiri. Hewan piaraan. Ia adalah hewan piaraan lelaki yang menindih tubuhnya itu.
Dada telanjang Mingyu naik turun. Mereka berdua banjir peluh. Matanya tak sekalipun putus menatap mata Minghao dengan nafsu yang kian berkobar.
Minghao menelan ludah, paha membuka jauh lebih lebar lagi, menyerahkan dirinya untuk Mingyu. Seutuhnya. Selamanya.
“Fuck your pet harder, Master…”
Would you smother me?