Gyuhao Day D-5: Parents AU Omake, Mpreg/Biological children, It’s You by Sam Kim ft. Zico
Sebenarnya sejak kapan aku jatuh cinta padamu?
Ceklik!
“? Lo ngapain, Gyu?” Minghao menelengkan kepala. Ia menjilat soft cream dari sisi bibir bawahnya. Ketika Mingyu memfotonya tadi, ia tengah makan es krim yang baru dibelikan lelaki itu akibat kalah taruhan.
“Nggak ngapa-ngapain kok,” Mingyu terkekeh. Diceknya hasil jepretan dan ia menekan beberapa tombol di kamera profesional miliknya. Meskipun fotografi baginya hanyalah hobi, namun ia cukup serius dalam menjalankannya. Minghao pun mencoba mengintip dari balik pundak Mingyu.
“Iih, apaan sih, kok yang lo ambil yang kayak gitu??” protesnya. Nampak fotonya sedang belepotan es krim, juga momen-momen dimana ia tidak sadar tengah difoto. Minghao tidak menyukainya. Tidak suka betapa tidak estetiknya dirinya difoto candid seperti itu. Mingyu menyanggah, meyakinkan Minghao kalau pose yang paling bagus adalah pose alamiah.
Minghao hanya mendengus kesal, membalik badan dan berjalan menjauh, tidak sadar bagaimana Mingyu menarik napas lega.
(Hampir saja ia keceplosan menambahkan “justru yang alamiah kayak gitu yang gue suka dari lo”…fyuh, bahaya…)
Koran pagi yang ia baca memaksanya melotot. Kaget. Banget.
“Kenapa, Gyu?” tanya Seungcheol sambil menyendok kuning telur dengan garpunya.
“Bang, kantor si Hao disinyalir bakal pailit,” ucapnya, hampir menyerupai bisikan. Terlalu shock akan apa yang dinyatakan sebuah artikel di sana. Penjualan yang terus turun. Laporan keuangan yang buruk. Investor yang mulai mencabut sedikit demi sedikit uang mereka dari sana akibat rasa tak aman. Goyah. Apalagi, fundamental perusahaan Xu Minghao belum kuat. Perusahaan baru, bisnis baru, sama seperti perusahaan Mingyu. Yang mereka punya hanyalah antusiasme dan multi-tasking (serta wawasan yang, mau tak mau, harus seluas mungkin).
Namun, berbeda dari Minghao, Mingyu punya dukungan dari kejayaan lampau keluarga Kim. Ia memang dibesarkan untuk mengambil alih kerajaan bisnis ayahnya, tetapi kekeras kepalaannya menghantarkannya membangun perusahaan sendiri dengan apa yang ia pelajari di kuliah, yang bisa dibilang sudah sangat lumayan sepak terjangnya di pasar lokal. Proyeknya yang terbaru adalah pembangunan cluster di perumahan dan itu bisa dibilang sebuah jackpot. Ia tak perlu khawatir dengan nilai sahamnya di pasar karena terus naik. Saham perusahaan Minghao, though…
“Terus gimana?” bunyi roti digigit.
Mingyu menatap Seungcheol yang duduk di seberangnya. Mereka sedang menikmati makan pagi di sebuah kafe dekat kantor Mingyu. Seungcheol sendiri adalah partner kuat yang memiliki bisnis yang sama dengannya. Bedanya, ia lebih maju karena memulai lebih dulu. Seungcheol menunggu Mingyu menjawabnya.
“Dia pasti bakal lakuin segala cara buat nyelametin perusahaan dia, Bang,” nadanya yakin. Ia kenal Xu Minghao sudah setahun semenjak mereka bertemu lagi secara tidak sengaja. Waktu yang cukup panjang untuk Mingyu mempelajari sifat dan pemikiran seorang barista di kafe dekat kampusnya yang ia interogasi dengan informasi mengenai Kak Wonwoo dahulu kala.
Waktu yang cukup panjang untuk Mingyu, perlahan tapi pasti, berharap mereka tidak sebatas teman belaka.
“Yakin banget lo?” kekeh Seungcheol.
Mingyu mengangguk dengan mantap, membungkam tawa Seungcheol secara mendadak. Oh, serius toh ini, batin lelaki yang lebih tua itu.
“Ya udah. Kalo gitu, lo bantu aja dia. Pinjemin dia dana ato gimana. Item di atas putih. Lo bisa panjangin waktu pinjemnya sesuai yang lo mau,” Seungcheol mengelus dagunya. Ia memikirkan beberapa hal. “Beli 51% saham terus akuisisi juga bisa.”
“Gue harus paksa beli dari yang masih pegang dong.”
Seungcheol meringis. Mingyu menghela napas.
“Dia anaknya batu banget, Bang. Mana dia mau gue bantu. Dia tuh gitu. Selama dia bisa, dia nggak bakal mau terima bantuan dana begitu. Soalnya ntar dia jadi utang budi sama gue. Dia nggak suka kayak gitu…”
“Ato nggak ya…,” tetiba Seungcheol menggeleng. “Ah, enggak jadi deh.”
“Apaan dah, Bang?”
“Ide gila doang.”
“Issh, selow. Apaan, Bang?”
“Ato nggak ya…lo kawinin aja.”
Jeda.
“…Hah?”
Seungcheol mengangkat bahu. “Lo kawinin aja. Kalo kalian nikah, kan itu harta lo jadi harta gono-gini. Jadi ya bebas aja kalo lo mau suntik dana ke kantor laki lo. Namanya laki sendiri. Publik juga nggak perlu tau, kan lo cuma transfer duit ke rekening laki lo. Itu bukan hal yang langgar hukum.”
Logika gila. Logika benar-benar gila.
“Hao nggak bakal mau deh, Bang,” gumamnya. “Masa tiba-tiba dia terima pinangan gue gegara begini. Nggak mungkin. Dia anggep gue cuma temen kok…”
Lagi, bahu Seungcheol terangkat. “Yah, gue cuma nyaranin. Makanya kan tadi gue bilang itu ide gila doang. Moga cepetan ada solusinya ya, Gyu,” ia pun menghentikan obrolan karena Jeonghan, partner bisnisnya, menelepon. “Halo.”
Mingyu memblok percakapan itu memasuki kepalanya, karena sudah penuh oleh skenario penolakan Minghao dan putusnya pertemanan mereka karena Mingyu nekat menawarkan solusi sinting tersebut.
“…oke.”
Napas Kim Mingyu tercekat mendadak. Namun, dengan cepat ia menyembunyikannya. Bibirnya yang berkedut luput tertangkap Minghao, yang digeluti rasa was-was dan kecemasan akan masa depan perusahaannya. Terlalu sibuk untuk melihat perubahan pada air muka Mingyu.
“…Hah?”
“Gue bilang oke, Gyu,” decak Minghao. “Gue bakal nikah sama lo.”
Memang bukan begini yang Mingyu inginkan. Ia ingin menghabiskan waktu berhari-hari hanya untuk mencari cincin yang pas untuk Minghao. Ia ingin bertumpu pada lututnya di tengah keramaian, menyerahkan cincin beserta hatinya pada Minghao di mata dunia, agar mereka bisa melihat betapa ia mencintai lelaki di hadapannya itu. Ia ingin Minghao tersenyum bahagia saat jemarinya menyentuh jemari Mingyu, menerima cincin tersebut dengan perasaan cinta yang sama untuknya.
Itu adalah mimpi di siang bolongnya. Sekarang, seperti ini, adalah yang terbaik yang bisa ia dapatkan. Bila ia harus mengais dan mengemis untuk mendapatkan Minghao, maka biarlah. Bila Minghao tidak akan pernah tahu bahwa ia mencintainya, so be it. Ia yang akan melindungi dan menjaga Minghao, bahkan bila ia seumur hidup akan tetap menjadi temannya.
Mingyu mencintainya tanpa harapan.
“Gyu?”
“Oh,” tersadar, ia, dari lamunan. “Oke. Kalo gitu, gue hubungin WO dan media dan-“
“Lho? Nggak ke KUA aja?”
“Justru seluruh dunia harus tau kalo kita udah nikah, Hao, biar mereka nggak salah paham. Dan biar lo selamat dari kecurigaaan hukum.”
Minghao mengangguk lemah. Mingyu masih tidak percaya ia akan menikahi Minghao, meski sekadar nikah bohongan seperti ini. Jantungnya berdegup kentara dalam dada ketika sebuah fakta meresapi otaknya.
Ia akan menjadi suami Xu Minghao.
Sebenarnya sejak kapan aku jatuh cinta padamu?
Mingyu bersandar di tembok. Ia masih dalam kemeja kerjanya. Lengan telah digulung dan dasi telah dilepas. Ia diam saja dengan senyuman di wajah sambil memperhatikan Minghao dari belakang. Suaminya itu duduk di kursi goyang yang dihadapkan pada jendela setinggi dinding yang dibuka. Lembut angin sore sepoi-sepoi membelai rambut dan wajah Minghao beserta bayi mereka. Mingyu bisa mendengar senandung lirih dari Minghao yang tengah menyanyikan lagu nina bobo. Nyanyian yang hanya terhenti ketika suaminya itu mengangkat bayi mereka untuk dikecup pipinya dengan lembut.
Rasanya hati Mingyu mencair melihat keluarga kecilnya. Tidak pernah ia bayangkan bahwa Minghao juga mencintainya. Tidak pernah ia berani bayangkan memiliki anak bersama dengannya. Semua keindahan itu hanyalah angan-angan Mingyu dan lebih baik dibiarkan saja menjadi angan-angan. Lebih baik mereka berteman saja daripada kehilangan Minghao selamanya.
Hidup Kim Mingyu kini bagai mimpi indah yang sulit dipercaya realitanya. Bunga tidur yang akan layu ketika ia terbangun nanti. Setiap pagi saat membuka mata, ia selalu mencari wajah Minghao pertama kali, sebab ia takut kalau-kalau apa yang ia alami selama ini hanyalah mimpi dan ia hanya sendirian di apartemen lajangnya di tengah kota yang sibuk. Alangkah leganya saat ia menoleh dan, ada di situ, di sisinya, tidak pergi ataupun hilang. Suaminya. Kekasih hatinya. Minghao-nya.
Lengan-lengan merangkul leher Minghao dari belakang. Bibir menyentuh pipinya. Tidak perlu ia menengok untuk tahu siapa. “Papa udah pulang?” tawanya. “Halo, Papa. Gimana kerjanya hari ini?”
“Capek,” Mingyu mengecup sisi leher Minghao, lalu mengelus pipi halus bayi mereka dengan ujung jari, berhati-hati. Mingyu tidak mempercayai dirinya sendiri dengan seorang bayi yang rapuh karena ia sering menjatuhkan apapun yang ia pegang, makanya ia sering menolak ketika Minghao memberikan bayinya ke ayahnya. “Gimana Adek?”
“Always a good boy he is,” Minghao menyatakan dengan bangga. Memang, anak lelaki sulung mereka tidak banyak merengek. Tidak sering rewel di malam hari. Sebuah keajaiban yang masih sering membuat orangtuanya takjub. “Kamu capek, Pa? Mau aku buatin makan malem?”
“Nggak usah, Ma. Kamu juga capek kan jagain Adek seharian?”
“Nggak juga sih. Dia tenang banget. Aku sempet kerja juga kok tadi, conference call sama klien. Bener-bener deh, anak ini anteng banget,” Minghao tertawa lepas. “Pasti bukan dari papanya ini mah.”
Mingyu balik tertawa. “He-eh, Adek mirip mamanya pasti,” ia mengakui, sambil mengecupi bibir suaminya. “Gini aja. Aku pesenin makanan aja ya. Kita sama-sama capek.”
“Hmm,” dibalasnya kecupan-kecupan Mingyu. “Yaudah. Aku susuin Adek dulu. Kamu pesen aja ya Pa. Aku apa aja boleh kok, asal jangan seafood.”
Mingyu bengong beberapa detik. Minghao menangkap itu, kemudian tertawa dan mencubit ujung hidung suaminya. “Hayoo bandel ya, Papa. Udah ah sana ganti baju dulu kamu, bau kantor tau!” decaknya.
Mingyu berdeham. Malu karena sudah kelepasan. Ia berdiri, mengecup pipi anaknya, lalu sisi kening suaminya, sebelum Minghao mencium bibirnya tiba-tiba dan berbisik, “Buat Papanya ntar malem aja ya.”
Ia sadar ia takkan pernah menang dari seorang Xu Minghao. Lelaki yang indah, di dalam maupun luar. Seseorang yang ia takkan pernah impikan untuk miliki karena tak ada satupun manusia yang pantas untuk memilikinya. Minghao ada untuk dipuja, dilindungi, dicintai. Dan Kim Mingyu akan melakukannya hingga akhir hayatnya.
Sebenarnya sejak kapan aku jatuh cinta padamu?
Ah. Mungkin, sejak awal bertemu, aku sudah menjadi milikmu.
Kekasihku.
Love is not an easy thing
To draw a heart, you should go through at least two curves