Woncheol AU: Fluff, Some by BOL4
Can’t I just tell you I like you?
I just want to be honest
“Bang, ngapain sih? Geli!”
Seungcheol meringis. Ia tengah merebah di sofa, memandangi Wonwoo di depannya bermain game konsol terbaru. Berbeda dengan Jihoon dan dirinya yang menyukai genre action, Wonwoo lebih merupakan penggemar RPG. Artinya, 150 jam menyelesaikan cerita bagaimana sebuah dunia yang damai kini di ambang kehancuran dan merupakan tugasnya, Jeon Wonwoo, membangun kedamaian itu kembali.
Artinya, 150 jam tanpa perhatian dari kekasihnya itu.
Seungcheol mengerang dalam batin.
Karena itulah, kita kembali ke awal, dimana Seungcheol membawa telunjuknya menyusuri rambut Wonwoo, untuk kemudian turun perlahan ke tengkuk. Semakin turun dan turun, sampai pada akhirnya, fokus Wonwoo buyar oleh rasa geli di punggungnya. Mendecak, ia, mencoba menghalau tangan itu.
“Bang, ah! Nggak lucu!” jemari Wonwoo sibuk tanpa henti, karena sedang bertarung dengan bos di dungeon. “Minggir! Ntar gue mati nih!”
Seungcheol tuli akan semua protesnya. Ia malah menghitung tahi lalat yang ia temukan di tubuh kekasihnya, kemudian mengelusnya satu persatu.
“Won,” panggilnya. “Lo tau nggak, kalo di sini—” Dielusnya bagian belakang pundak Wonwoo. “—lo punya andeng-andeng. Warnanya coklat muda. Lucu deh.”
Tidak berhenti di situ, tangan Seungcheol pindah ke belakang telinga Wonwoo.
“Terus di sini—” dielusnya bagian itu.
“Ngh-” refleks, Wonwoo gemetar. Ia tahu pasti bagian apa itu. Titik sensitifnya. Seungcheol meringis makin lebar.
“—lo sensitif banget. Tiap gue gigit bagian ini, suara lo indah banget buat gue.”
Mendengar itu, Wonwoo pun merah padam. Jemari Seungcheol turun lagi, masih menemukan titik-titik, baik spot di kulit Wonwoo, segala ketidaksempurnaannya sebagai manusia, maupun yang merangsang syarafnya.
“Cheol…,” rengek Wonwoo, dengan wajah sudah merona sedari tadi. “Stop ah. Malu, anjing…”
Seungcheol hanya tersenyum. Sungguh manis. Sungguh, sungguh manis, kekasihnya itu.
“Kenapa malu?” godanya. Ia mengelus rambut di kening Wonwoo. Kacamatanya turun, hampir jatuh dari hidung. Ia sudah berbalik badan sedari tadi, meninggalkan game-nya setelah menyimpan data paling terakhir.
“Abisnya…,” rengekan lagi. “Jangan ditunjukin dong borok-boroknya gue…”
Spek. Andeng-andeng. Carut bekas luka. Lebam misterius. Bekas jerawat. Kerutan. Bagian gelap. Rambut halus. Semua bekas di kulitnya yang membuatnya tidak mulus seperti para idol di televisi itu. Tapi, bagi Seungcheol, itu semua indah. Wonwoo indah. Ia bisa menciumi satu-persatu spot yang ia temukan di tubuh Wonwoo dan takkan pernah bosan. Memujanya. Mencintainya.
Wonwoo sempurna dalam segala ketidaksempurnaannya. Dan ia harap Wonwoo pun merasa begitu terhadapnya.
“Oh ya? Kok gue nggak mikir gitu?” Seungcheol terkekeh. Kekasihnya masih merona ketika ia menangkup pipinya.
Wonwoo yang manis di rumah. Wonwoo yang serius di kantor. Wonwoo yang menyita perhatian orang bahkan ketika ia hanya berdiri di pinggir jalan.
Semua adalah miliknya.
“Buat apa malu sih, Won? Lo sempurna di mata gue.”
“Bang, ah…,” decak Wonwoo.
“Eh, serius gue.”
“Hmm,” kali ini, mau tak mau, senyuman kecil menekuk naik. Seungcheol mengecup ujung hidungnya dengan gemas. “Gombal…” Kekehnya geli.
“Tapi suka kan?”
“Iya, suka,” Wonwoo memajukan kepala untuk menyentuhkan bibirnya ke bibir Seungcheol. “Yang ngegombalin juga, gue suka.”
Seungcheol tertawa.
“Suka aja nih? Nggak cinta?”
“Banyak mau ya,” Wonwoo memutar bola mata, sebelum naik ke atas pangkuan Seungcheol. Dikalungkannya lengan ke leher kekasihnya sambil menghujani wajah tampannya dengan ciuman.
“Won.”
“Hmm?”
“Sayang aku, nggak?”
Wonwoo tertawa lepas. Lalu, ditangkupnya pipi kekasihnya.
“Kalo enggak, emangnya aku bakal nikah sama kamu kayak gini?”
Di bawah temaram lampu, cincin emas di jari Wonwoo dan dirinya bersinar, seolah mengingatkan mereka kembali akan foto pernikahan yang dipajang di meja dekat pintu, persis di sebelah foto anak perempuan mereka.
“Hmm,” Seungcheol menduseli hidung Wonwoo. Tangannya melingkar di pinggang kekasihnya, menjalarkan rasa aman. “Nanya aja. Kali-kali berubah.”
“Seungcheol,” Wonwoo berucap. Nadanya lembut. “Nggak akan berubah. Biar kita udah keriput jelek juga, nggak akan berubah.”
“Bohong banget.”
Wonwoo mengerutkan alis.
“Kamu mah nggak akan pernah keriput jelek, Won,” jelas Seungcheol. “Mau kamu keriput kek, renta kek, giginya copot semua, kamu bakal tetep indah di mata aku.”
Dan Wonwoo pun tertawa hingga hidungnya mengernyit.
“Gombalnya makin pinter ya,” dicubitnya hidung Seungcheol, yang hanya meringis jahil.
“Tapi suka kan?”
“Enggak,” Wonwoo tersenyum. “Cinta.”
Lalu, bibirnya mencium lembut bibir Seungcheol.
So so sweet, you are really so sweet