Minwon AU: Kingdom AU, Dragon Riders, Fantasy, Mild Gore
Part 1
Ini adalah cerita jauh di suatu masa, di suatu kerajaan yang telah berdiri lama. Kerajaan itu dikenal sebagai Negeri Perang Seribu Tahun, karena dulu, tak ada yang rakyatnya ketahui selain mengelupas kulit dan memenggal kepala. Saat bencana kelaparan panjang melanda, mereka bahkan memotong anak-anak mereka untuk disantap sekeluarga. Tak ada yang cukup gila untuk menjadi musuh mereka.
Tapi, ah, itu hanya cerita beribu-ribu tahun yang lalu. Sekarang, lenyap sudah imaji haus darah mereka. Kerajaan itu kini lebih dikenal sebagai Kerajaan Bouvardia yang kaya akan emas dan batu mulia. Gunung emas dan batu mulia mereka takkan habis ditambang dalam tujuh keturunan ke depan. Karena itulah, Kerajaan Bouvardia kedatangan satu jenis tamu istimewa yang kemudian akan menetap di sana, berkohabitasi bersama manusia dengan damai. Para naga, yang menyukai tidur di atas hamparan emas dan perhiasan. Sebagai gantinya, mereka membantu warga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
“Di jalur kelima, dengan Ryuujin putih kesayangannya, Pochi, mari kita sambut, juara bertahan kita, Kim Mingyu!”
Dentuman dan sorak sorai. Arena balapan di hari itu sungguh ramai. Seluruh penghuni kerajaan beserta turis memadati bangku-bangku kayu di tribun. Mereka bersorak makin kencang ketika sesosok manusia melambaikan googlenya di atas seekor naga putih yang elegan. Surainya panjang nan halus. Mata besar naga itu biru, sedalam lautan. Tanduknya keras dan menjulang ke belakang. Sebagaimana naga oriental yang langka, Pochi memiliki tubuh yang ramping dan melekuk, hampir membentuk angka 2. Dan, alih-alih berjari empat, kakinya masing-masing berjari tiga. Ia sangat cantik, kompatibel dengan penunggangnya yang juga sangat tampan.
Kim Mingyu, meski usianya baru 21, namun ia sudah menjuarai turnamen berturut-turut selama lima tahun. Ia merupakan Dragon Rider termuda yang pernah di posisi serupa. Tak ada yang tahu darimana ia berasal selain lambang bunga Periwinkle yang ia usung di punggung jubahnya, yang membawa bermalam-malam mimpi buruk bagi mereka yang dikalahkannya. Lelaki itu muncul begitu saja dan dengan cepat menjadi kebanggaan seluruh kerajaan.
Turnamen hari ini istimewa karena mereka akan mengadu kecepatan naga mereka dengan kerajaan tetangga, kerajaan Yucca. Kerajaan Bouvardia dan Kerajaan Yucca adalah teman lama. Sekitar dua ratus tahun lalu, putri Kerajaan Yucca masuk sebagai menantu di Kerajaan Bouvardia. Putri tersebut sangat anggun dan pandai bersiasat, sehingga, ketika suaminya tewas di medan perang, ia mengambil alih takhta dan berhasil membawa kemenangan demi kemenangan bagi Kerajaan Bouvardia dengan keahliannya di bidang strategi. Sejak saat itulah, Kerajaan Yucca menjadi ‘saudara’ bagi Kerajaan Bouvardia, hingga saat ini.
Mingyu menoleh pada Wen Junhui, rival abadi sekaligus sahabatnya dari Kerajaan Yucca, dan mereka bertukar ringisan. Junhui masih sering tak habis pikir bagaimana caranya Mingyu bisa mendapatkan seekor naga oriental yang seharusnya tidak lazim berada di negeri itu, namun di suatu titik, ia menerimanya begitu saja. Naganya sendiri, Anshe, seekor Fuzanglong bersisik merah keemasan karena habitat aslinya adalah gunung berapi aktif yang penuh lahar, bisa dibilang cukup akrab dengan Pochi.
(Tidak usah ditanya seberapa sering Junhui menyayangkan nama Pochi untuk naga secantik itu, tapi, ah, Kim Mingyu memang bebal.)
“Dan, inilah dia, putri kerajaan kita yang lebih cantik dari seribu bunga nasional kita, Bouvardia, Putri Kang Seulgi!”
Rakyat bersorak semakin girang ketika putri berambut hitam panjang itu mengangkat tangan untuk menyapa rakyatnya. Kim Mingyu tidak lupa untuk membungkuk padanya sebagai gestur penghormatan. Meski bibir merah sang putri tidak tersenyum, seluruh rakyat tahu bahwa putri mereka tengah berbahagia. Ia hanya kurang bisa mengekspresikan suasana hatinya di wajahnya yang menawan itu.
“Para Dragon Rider, sudah siap di jalur masing-masing? Tenang, penonton semua, tenang!” gelegar pembawa acara membuat seluruh stadium tereduksi menjadi sayup-sayup dukungan. “Bersedia……siap…..”
Sangkakala yang menandakan dimulainya pertandingan pun dibunyikan.
(“Waaaaaaaaaaaaahhhh!!”)
(“KIM MINGYU! MENANGKAN UANGKU!”)
(“KYAAA, WEN JUNHUI GANTEENGG!”)
Mingyu berada di atas angin. Pochi terbang tinggi, melonjak bebas ke langit. Dragon Rider lain biasanya akan mulai panik karena naganya mulai keluar dari tujuan, tapi tidak begitu halnya dengan Kim Mingyu. Ia percaya pada Pochi seperti naga itu padanya. Di tangannya, ia biarkan sang naga putih bebas bergerak, menari menantang langit biru yang cerah, untuk kemudian menukik tajam dan menyalip di sela-sela rintangan yang dipasang di seluruh arena.
“Sori, Kigyu! Piala kali ini buatku!” tiba-tiba saja, dari arah Barat, sesosok naga merah melaju kencang. Anshe. Sisiknya yang tajam berbenturan dengan tubuh Pochi, namun naga itu bergeming, tak lekang bagai karang. Benturan kedua pun datang. Mingyu menarik tali kekang, menyetir naganya menjauhi Anshe. Naga merah itu mengejarnya. Mereka berkejaran di sepanjang dinding tribun, membuat semua topi dan rambut para penonton berhamburan tersibak angin kencang dari sayap besar mereka. Pochi mendadak merubah arah, menuju langit dengan gerak vertikal yang mengagumkan, Wen Junhui tak kuasa untuk tidak terpukau. Ia mencoba mengejar lagi naga itu.
Semendadak ia melesat naik, Pochi kemudian berbelok ke kiri dalam tikungan amat tajam. Tak diduga, sebuah rintangan tepat berada di depan Anshe. “WUAAHH!” dengan teriakan itu, Mingyu menarik sebuah seringai di wajahnya. Tak perlu ia menoleh untuk tahu bahwa Wen Junhui kena jebakan. Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Pochi bersalto di udara, membuat para penonton terkesiap menahan napas, lalu dengan mulus naga itu melesat menuju garis akhir, membiarkan Mingyu menyibak tangannya untuk merebut piala di sana.
“GOOOLLLL!!” teriak pembawa acara penuh semangat. Satu arena bergemuruh oleh tepuk tangan. “KIM MINGYU KEMBALI MEMENANGKAN TURNAMEN INI. KEMENANGANNYA YANG KEENAM! KEBANGGAAN BOUVARDIA KAMI!!”
Namanya dielu-elukan. Mingyu tersenyum ceria ke segala arah tribun. Sang putri berdiri di singgasananya sambil bertepuk tangan, sehingga Mingyu pun turut membungkuk dalam-dalam bersama Pochi. Ia merunduk, mengelus sayang bagian di antara kedua mata besar naga itu. Pochi menaikkan moncongnya, mendusel balik tangan itu sebisa mungkin.
“Kerja bagus, partner,” bisiknya lembut, membuat naga itu mendengkur.
Part 2
Malam setiap turnamen berakhir, ia selalu memberikan makanan terbaik bagi Pochi. Malam ini menunya adalah satu ton daging sapi kualitas terbaik yang dibiakkan khusus di pegunungan di Utara dan air laut segar. Dagingnya masih merah penuh darah. Pochi menikmati makanannya dengan geraman rendah, sama sekali tidak menahan diri memenuhi perutnya yang kosong. Darah menetes-netes dari sela giginya yang tajam. Mingyu tertawa, sebelum ia duduk di sebelah Pochi di bukit kecil di belakang rumahnya dan menyantap makan malamnya sendiri, yakni sekerat roti gandum dan sepiring sup krim jamur. Di atas mereka, bulan begitu besar dan bulat sempurna, membawakan keheningan malam yang syahdu.
(Sambil sesekali terdengar bunyi daging dilumat dan tulang dipatahkan, tentu.)
Meski Mingyu bisa dibilang cukup kaya atas hasil kemenangannya, sebagian besar hartanya habis untuk memanjakan sang naga. Di dalam kandang megah yang ia bangun untuknya, hamparan emas berbagai jenis dan batu mulia menggunung, membentuk tempat tidur yang sanggup membuat naga manapun iri melihatnya. Pochi amat senang tidur melingkar di sana sampai raganya hilang sama sekali, tertimbun tumpukan mengagumkan tersebut. Rumah yang ditempati Mingyu sendiri hanya rumah yang sederhana, terbuat dari kayu dan besarnya cukup memadai untuk satu manusia hidup seorang diri. Ia tahu takkan ada yang akan berbagi ruang dengannya entah sampai kapan karena ia terlalu sibuk mengurusi Pochi.
“Suatu hari…kamu akan bertemu sejenismu dan bertelur,” ucapnya. Kepala Pochi di pangkuan Mingyu dan tangan Mingyu sibuk mengelusinya perlahan sampai kelopak mata naga itu membuka dan menutup, terlalu kenyang dan lelah untuk tetap terjaga. “Dan aku pasti merawat bayimu. Aku akan merawat kalian semua sampai akhir hidupku.” Pochi mendengkur senang mendengar janji dari sahabatnya itu. Ia pun bangkit, memaksa tubuh besarnya melayang ke kandang untuk tidur. Kim Mingyu tertawa.
“Selamat tidur, partner, mimpi yang indah.”
Selepas kepergian naga itu, ia menemukan dirinya diselimuti ketenangan malam. Satu sloki wiski dari Kerajaan Yucca yang penuh gunung berapi memanaskan lehernya, membuat seluruh tubuhnya hangat, meski angin yang bertiup malam itu begitu dingin. Kim Mingyu memandang ke langit, ke bulan, berandai-andai ia bisa mengenang sesuatu, apapun, dari memori di otaknya. Seorang kekasih yang ia tinggalkan nun jauh di sana. Sahabat lama yang berlari di ladang ilalang bersamanya. Ayah dan ibu dan saudara. Namun, semua itu sia-sia. Ia tak bisa mengingat apapun seolah ia hidup hanya di masa kini. Tiada masa lalu dan ketidak tahuan akan masa depan. Terombang-ambing, bagai kayu apung di lautan. Bagian ingatan yang, mungkin, takkan pernah kembali padanya sampai ia menutup mata di akhir nanti.
Kim Mingyu tersenyum tipis. Ia membiarkan hidup membawanya kemanapun yang mereka mau, bukan karena pasrah, tapi karena tak ada apapun yang mengekangnya. Ia muda, kuat, juara. Pun bebas tanpa beban di kedua pundaknya. Bebas melambung tinggi menuju langit dan, apabila di sana lah ia menutup usia, ketika ia terbang terlalu dekat dengan matahari, maka terjadilah.
Kim Mingyu hidup di hari ini. Hanya hari ini.
TOK, TOK, TOK!
“Tuan Kim! Tuan Kim, buka pintunya!”
Klek!
“…Ya?” ia muncul dengan rambut acak-acakan dan mata masih belekan. Entah orang gila mana yang menggedor pintu rumahnya di jam enam pagi, ketika separuh penduduk kerajaan masihlah terlelap. Mingyu tidur larut kemarin malam di bawah pohon di kaki bukit, hanya terbangun karena suara dengkuran kencang Pochi dan seluruh badannya yang pegal linu. Ia pun menyeret diri ke tempat tidurnya sendiri. Semua usaha merepotkan itu hanya untuk dibangunkan paksa lima jam kemudian.
“Pagi, Tuan. Kami dari istana.”
Mingyu menunggu kedua prajurit itu untuk menyatakan maksudnya, namun mereka malah menoleh ke belakang. Ia mengikuti arah tatapan mereka ke sesosok lelaki berjubah panjang terbuat dari kain sutra yang mahal. Beledu merah sebagai pengikat di pinggangnya yang ramping mencuri perhatian Mingyu dalam sekali pandang, sebelum matanya naik dan mengagumi wajah indah lelaki itu. Sudut matanya agak turun di ujung. Bibirnya penuh dan merah. Hidungnya mancung. Wajahnya mungil. Cantik.
“Selamat pagi, Tuan Kim, nama saya Hong Jisoo,” senyumnya pun seindah rupanya. Gesturnya santai ketika ia berjalan mendekat tanpa memedulikan ujung jubahnya yang kotor karena menyapu tanah. “Saya Penasehat Kerajaan sekaligus Tangan Kanan Yang Mulia. Sebelumnya, selamat atas kemenangan Tuan di turnamen kemarin.” Mingyu tersenyum sebagai jawaban. “Saya membawakan surat yang ditulis oleh Yang Mulia sendiri untuk Tuan.”
“Surat?” sampai di sini, ia sudah cukup bingung.
“Betul. Silakan, Tuan,” dengan sopan, ia menyodorkan secarik amplop putih mulus pada Mingyu, yang kemudian dibukanya dengan rasa penasaran yang besar. Segera, ia membaca isi surat tersebut yang sebagian besar menyinggung kemenangannya, bagaimana sang raja berterima kasih dan bangga padanya, dan sebuah permintaan lain. Ya. Permintaan, bukan perintah.
“…Penasehat.”
“Tolong, panggil saja saya Jisoo,” ia membungkuk sedikit.
“Tuan Hong,” Mingyu bersikeras. “Apa benar yang kubaca ini? Paduka Yang Mulia sendiri yang menulisnya?” Lelaki itu mulai panik. Dengan mudah Jisoo mencium kepanikan tersebut, maka ia berusaha meredakannya sebaik mungkin.
“Benar. Yang Mulia sendiri yang menulisnya,” ia mengangguk membenarkan.
Makin terbata-batalah lelaki itu. Mulutnya membuka dan menutup, megap-megap bagai ikan mas koki. Ia melihat ke Jisoo, lalu ke surat itu, lalu kembali lagi ke Jisoo. Ketika akhirnya ia bisa menyuarakan pemikirannya, yang keluar hampir berupa dengkingan semata.
“T-tapi…ini tidak mungkin!” diperlihatkannya isi surat itu pada sang penasehat. “Yang Mulia memintaku menikahi sang putri??“
Lelucon macam apa ini…?
Part 3
Ternyata, apa yang ia pikir lelucon, sama sekali bukan sebuah lelucon.
Kim Mingyu bersumpah ia hanya mengedip ketika ia tersadar dan sudah berlutut hormat di depan paduka raja. Semua proses pemboyongannya menggunakan kereta kuda megah dan semua upaya Jisoo mencairkan suasana sama sekali terhapus dari benaknya, yang dipenuhi pertanyaan akan kenapa dan bagaimana. Ia bukan siapa-siapa, tidak jelas darah yang mengalir di nadinya dari mana. Ia sendiri tidak tahu akan hal itu. Lantas, mengapa sang raja dapat dengan mudahnya meminta Mingyu mencampurkan darah misteriusnya dengan darah biru murni kerajaan? Tidak masuk akal.
Namun, tentu saja, di depan paduka raja, manalah berani ia membuka mulut dan bertanya seperti itu. Mingyu diam seribu bahasa, membiarkan lelaki tua itu berbicara dalam nada kebapakan padanya. Seperti yang seluruh rakyat ketahui, raja mereka adalah seseorang yang tegas dan berkepala dingin di medan perang, namun amat murah hati pada warganya dan, bisa dibilang, cukup lemah bila sudah menyangkut keluarganya sendiri. Tipikal bapak-bapak yang ingin memberikan seluruh dunia bagi istri dan putri tunggalnya. Mingyu menganggapnya manis sekali saat ia mendengar bibi pemilik penginapan bercerita padanya suatu pagi di musim semi ketika ia datang untuk sarapan, tetapi saat ini, ia tidak merasa itu terlalu manis lagi.
“Pasti kau terkejut ya, Nak. Mohon maafkan kami—”
“B-baginda, tolong jangan minta maaf! Saya—saya tidak layak untuk itu!” dengan cepat ia mendongak, hampir setengah berdiri dengan telapak tangan terangkat untuk mencegah sang raja membungkuk padanya. Itu tidak pantas! Kim Mingyu bukan siapa-siapa! “Saya hanya…hanya…” Kata apa yang paling pantas ia ucapkan? Ah, ya. “…takjub.”
Sang raja tersenyum di balik jambangnya yang lebat. Seluruh rambutnya telah berubah abu-abu. Tangannya yang biasa kuat, kini mulai ringkih dan berkeriput dimakan usia. Meskipun begitu, matanya masih sama, masih jernih dan menusuk masuk, seakan-akan tengah menilai siapa sebenarnya yang bernaung di dalam raga setiap orang yang ia temui. Kemampuan bersiasat moyangnya jelas menurun tanpa terkecuali. “Takjub. Ya, saya paham. Ini memang mendadak sekali. Saya mengerti betul,” ia menyatakan persetujuannya. “Dan saya tekankan bahwa permintaan ini bukan sesuatu yang terburu-buru. Tidak ada yang mudah dari memutuskan sesuatu yang akan merubah keseluruhan jalan hidupmu, Nak, dan kerajaan akan menunggumu selama yang kau butuhkan.”
Kim Mingyu menelan ludah. Ia mengharapkan sebuah kata yang pasti akan menyusul kemudian.
“Tapi,”
There you go.
“Kami harap kau dapat mempertimbangkannya baik-baik. Kalau kau menolak, maka kami mengerti. Kami akan merelakanmu meskipun berat, tetapi kami mengerti. Jika kau menerima, maka kami akan senang sekali dan akan berterima kasih padamu selamanya. Kami akan menyambutmu menjadi anak lelaki kami.” Paduka raja mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan istrinya, sang ratu, yang duduk persis di sebelahnya di singgasana. Wanita yang masih saja cantik di usia tuanya itu tersenyum penuh kharisma. “Kebetulan sekali kami hanya memiliki seorang putri. Pasti akan menyenangkan sekali kalau kerajaan ini diisi seorang anak lelaki lagi.”
Semua itu begitu indah, begitu memukau. Siapapun akan merasakan serupa jika melihat betapa saling menyayanginya raja dan ratu mereka. Hong Jisoo di sisi sang raja pun ikut tersenyum bersama para prajurit dan pelayan pribadi mereka di aula besar tempat mereka menerima tamu. Namun, sekali lagi, Mingyu terlalu cemas untuk dapat menyadari itu semua.
“M-maafkan kelancangan saya, Baginda,” mulainya. “Tapi, jika saya boleh jujur, saya sendiri tidak tahu dari mana darah saya berasal. Saya…saya tidak punya ingatan tentangnya. Bagaimana saya lahir. Dari keluarga apa. Bahkan saya tidak tahu kota asal saya. Semuanya hilang dari kepala saya…” Ia menunduk, tak ingin menerima simpati. “Lagipula, saya…seperti ini. Saya hanya penunggang naga yang bau amis daging dan tinggal di rumah kayu bobrok. Hal terakhir yang saya inginkan adalah membawa darah kotor dan jelek ke tengah keluarga kerajaan…”
Senyap. Tak ada yang berkomentar. Sang raja menghela napasnya. Memandangi paras Kim Mingyu, ia yakin anak itu bukan hanya sekedar berkata-kata. Anak itu pasti serius dengan kekhawatirannya. Itu sendiri adalah hal yang membanggakan. Sungguh sayang anak itu tak mampu melihatnya.
“Aku dilahirkan jauh di Timur, di daerah penuh tenda orang-orang kami. Setiap pagi, kami berburu kelinci dan kijang untuk kami makan. Dalam seminggu, aku hanya mandi dua sampai tiga kali di sungai tidak jauh dari tenda kami. Lalu kami duduk bergerombol, menyantap makanan sekeluarga besar dari periuk yang sama. Apakah menurutmu darahku kotor dan jelek karena aku orang barbar yang hidup nomaden?”
Di luar dugaan Mingyu, justru sang ratu yang angkat bicara. Syok, ia buru-buru menggeleng kencang. Sungguhlah ia tiada maksud menyinggung perasaan siapapun, apalagi perasaan sang ratu. “Paduka! Tentu tidak!” ujarnya. “Saya sama sekali tidak bermaksud begitu! Maafkan saya bila saya sudah lancang dan menyakiti perasaan Paduka! Saya…saya siap menerima hukuman apapun!” Dan, buru-buru pula, ia membungkukkan badan dalam-dalam sampai hidungnya menyentuh karpet merah. Melihat itu, sang raja tertawa sementara istrinya tersenyum sambil bangkit. Ia berjalan menuruni singgasana untuk berlutut di depan anak itu, mengelus punggungnya yang menegang akan sentuhan tak terduga tersebut.
“Bangunlah, Nak, jangan seperti ini. Saya lebih senang memiliki anak baik sepertimu sebagai menantu meski bukan darah biru daripada para royal yang sombong di luar sana,” ucapnya lembut. Kim Mingyu perlahan mendongak dan menemukan wanita itu tersenyum padanya seakan seorang ibu pada anak lelakinya. “Tolong jangan pernah berpikiran serendah itu pada dirimu sendiri. Apa yang membentukmu di masa lalu itu tak penting. Siapa dirimu sekarang lah yang jauh lebih penting.”
Tangan itu berpindah ke wajah Mingyu, mengusap lembut sambil tatapnya terus terjaga. Ia mengamati dengan detail tiap guratan di wajah tampan anak itu. Kulitnya yang sehat. Hidungnya yang mancung. Bibirnya yang penuh. Matanya yang memancarkan kepandaian dan kepedulian dengan sungguh-sungguh. Bayinya dengan Seulgi nanti pasti akan tampan dan cantik sekali. “Aku akan senang sekali kalau kau bisa menjadi anak kami.”
Bibir Kim Mingyu merapat. Ia kembali menunduk, tidak sanggup bertatap muka dengan sang ratu. Ia diam sejenak sebelum bergumam lemah, “…Mohon berikan saya waktu untuk berpikir, Yang Mulia.”
“Tentu, Nak, tentu,” sambut paduka ratu. “Kami akan memberimu seluruh waktu di dunia. Pikirkanlah baik-baik.”