Woncheol from Seoksoo Relationship Hiding AU: Implied sex, Let’s Fall In Love For The Night by Finneas
Sebagai seseorang yang terkenal poker face, Joshua Hong sangat buruk dalam menyembunyikan kebohongan. Sebenarnya, ketika kabar itu santer terdengar, ia sudah memiliki dugaan. Bila dibilang akrab, ia dengan Joshua sebenarnya biasa saja. Joshua adalah teman yang baik, kamerad seumuran (meski Joshua terlahir jauh di penghujung tahun 1995), juga pendengar yang bijaksana. Seungcheol lebih senang curhat ke Joshua apabila dia tidak sedang mencari sebuah solusi, melainkan sepasang telinga untuk mendengarkan tanpa menghakiminya.
Meskipun begitu, ia tidak merasa mereka jauh juga. Pada dasarnya, tidak ada member dalam grupnya yang dirasa jauh. Mungkin ada beberapa orang yang ia lebih enggan bermanja atau menunjukkan sisi buruknya, tetapi tak ada seorangpun yang benar-benar tidak ketahuan sifat aslinya di dalam grup tersebut. Bisa dibilang, sebagai sebuah grup musik yang hanya bertemu karena dikumpulkan audisi, mereka terbilang akrab bagai keluarga. Ibu salah satu member adalah ibu member lainnya, begitu pun dengan anggota keluarga lain.
Karena itu, Seungcheol tidak habis paham kenapa Joshua Hong merasa perlu menyembunyikan hubungannya dengan Seokmin. Maksudnya, bukankah sudah jelas? Semua orang melihat perubahan itu. Meski halus, meski sangat tipis perbedaannya, hubungan di antara kedua orang itu jelas berubah. Dari bagaimana Seokmin menatap Joshua ketika mereka menyendiri di sudut ruang latihan. Bagaimana Joshua mengelus pipi Seokmin penuh kelembutan saat dikiranya tak ada yang melihat. Semua tahu. Semua bisa merasakannya.
“Mereka tuh jadian ya?” suatu hari, penata rias yang memegangnya bertanya dalam bisikan. Seungcheol memasang tampang polosnya, seakan-akan ia antara tak paham atau menganggap itu lelucon semata. Yang, tentunya, berhasil membuat si penata rias merasa tidak enak. “Sori. Tentu aja enggak ya. Ngomong apa sih aku ini. Sori, Cheollie.”
Kemudian, Seungcheol tersenyum. Sebuah senyuman yang menyatakan bahwa ia memahami kali ini, akan melupakannya, namun tidak akan ada kesempatan kedua. Sebagai pemimpin dari grup berisikan 13 orang, ia sudah menguasai bagaimana menggiring opini publik hanya menggunakan gestur sederhana. Ia melakukannya kebanyakan untuk melindungi privasi para membernya dari mata yang tak perlu melihat dan telinga yang tak perlu mendengar. Semua rahasia ketiga belas anak itu aman dikukung dinding-dinding asrama mereka yang terbagi tiga lantai sekarang.
Ya, Seungcheol menggunakannya untuk menutupi rahasia para member, namun, tanpa sadar, ia pun menggunakannya untuk menutupi rahasia dirinya sendiri.
“Won?”
Begitu ia membuka pintu kamar, ada anak itu. Anak berambut hitam lurus dan berkacamata bulat. Anak itu mengenakan kaus putih kedodoran dan celana training hitam. Jeon Wonwoo menguasai tempat tidur Seungcheol dengan buku di kedua tangannya, seolah-olah kamar itu adalah kamarnya sendiri yang ia bagi dengan Seungcheol sebelumnya.
“Won…,” desahan. “Kamu kan punya kamar sendiri…”
“Ada Hao.”
“Apa?” Seungcheol membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Di luar cuaca terik sekali, seluruh tubuhnya keringatan.
“Di kamar lagi ada Hao,” bunyi halaman dibalik. “Aku nggak bisa masuk kalo ada Hao.”
Seungcheol mendecakkan lidah. “Padahal Hao ada kamar sendiri, kenapa nggak di kamar Hao aja sih?” dari semua member, hanya Wonwoo yang berbagi kamar dengan Mingyu kali ini.
“Hmm,” Wonwoo hanya bergumam. “Nggak apa-apa sih, toh aku biasa main di kamar kamu juga—WUAH??”
Jeon Wonwoo, lebih tinggi darinya, lebih lebar bahunya, pun sekarang tubuhnya sudah berisi dan terbentuk bagus sekali akibat latihan di gym, ternyata masih sanggup Seungcheol bopong di pundaknya bak karung beras.
“CHEOL??”
“Aku mau mandi,” lelaki itu tertawa. “Kalo malem ini mau tidur di kamarku, kamu ikut.”
Menyadari bahwa aksi protes akan percuma, Wonwoo hanya memutar bola mata dan membiarkan Seungcheol membawanya ke kamar mandi (padahal Wonwoo belum mau mandi). Seungcheol masih terkekeh, teringat ketika mereka baru saja berpacaran dan Wonwoo masih sangat kurus dan ringan dalam gendongannya.
“Won, gue suka sama lo.”
Buku yang di tangan Wonwoo jatuh ke kasur. Ia melongo menatap Seungcheol dari kaki tempat tidur. Punggung Wonwoo bersandar ke dinding. Seungcheol sendiri duduk di kursi tempatnya biasa bermain PC. Meski kamar ini dibagi untuk mereka berdua, namun kasur Wonwoo harus ditaruh di ruang tengah untuk memberi tempat bagi kedua meja PC mereka. Sebagai sesama penggila game, mereka lebih rela salah satu tidur di ruang tengah daripada membiarkan member lain memakai PC mereka seenaknya.
Seungcheol hanya diam memperhatikan bagaimana Jeon Wonwoo menaikkan kacamatanya berkali-kali meski sudah tidak jatuh di hidungnya, bagaimana ia menelungkupkan buku di kasurnya, dan bagaimana tatap mata anak itu pindah bergantian dari Seungcheol ke kedua tangannya sendiri, yang tak bisa berhenti bergerak. Gugup. Sebuah konklusi oleh Choi Seungcheol.
“Won,” sengaja, ia mengulang. “Gue suka sama lo.”
Lalu, Seungcheol menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kulit putih di pipi anak itu memerah. Jeon Wonwoo yang tinggi, kurus bagai kecambah, berkulit bening dan berbibir merah, yang punggungnya agak menekuk ke depan. Yang kecanduan bermain game. Yang nampak rapuh dan cupu di kehidupan sehari-hari dengan lelucon jayus, namun bisa amat seksi dan mengagumkan di atas panggung. Jeon Wonwoo yang merona merah dengan sangat manis karena kalimat sesederhana itu.
Seungcheol tersenyum. “Mau jadi pacar gue nggak?” merunut tindak-tanduk Wonwoo, cukup jelas bahwa status mereka sudah berubah ketika ia menyatakan perasaannya. Anak itu seperti buku yang terbuka. Transparan.
Bayangkan betapa kagetnya Choi Seungcheol ketika Jeon Wonwoo menggeleng perlahan, lalu mengambil lagi bukunya, melanjutkan membaca seolah tak terjadi apa-apa.
“Aneh.”
“Kenapa, Bang?” Mingyu duduk melorot di sofa, persis di sebelah Seungcheol. Mereka sedang pemotretan khusus tim Hip Hop di studio dan sedang giliran Wonwoo dengan Vernon.
“Wonu.”
“Hmm?”
“Tiga hari lalu, gue bilang ke dia kalo gue suka sama dia.” Mata Mingyu langsung membulat. Ia segera menoleh kaget, memandangi Seungcheol agak lama sampai lelaki itu sedikit risih. “Apa sih, Gyu, ngeliatnya gitu banget?”
“Lo…dipelet apaan, Bang, sama si Wonu?”
“Siake,” jitaknya pelan.
“Serius gue nanya, Bang?? Si Wonu?? Wonu yang itu??” telunjuk Mingyu mengarah ke Wonwoo. Untungnya, sebelum anak itu sadar, Seungcheol sudah menurunkannya paksa.
“Lo sendiri?? Lo kenapa bisa sama Hao, hah?? Dipelet lo sama dia??” tak mau kalah, Seungcheol membalikkan kata-kata Mingyu sendiri padanya, yang malah membuat Mingyu semakin yakin.
“Gue sama Hao sahabat deket sebelom pacaran ya, Bang. Wajar kalo gue jadian sama dia. Pinggul gue sama dia hampir nyatu. Ortu gue kenal dan sayang sama dia, begitu juga sebaliknya. Sebelom kita jadian aja sering banget ditanyain ortu kapan jadian, kapan kawin, gitu-gitu. Lah elo?? Bukannya lo paling deket sama Bang Hani, Bang?? Gue kira lo bakal jadian sama dia lho, secara lo bedua udah dipanggil Papa Mama grup ini??”
Duh, memang Mingyu kalau sudah bicara kelewat semangat, suka merentet tanpa jeda, bikin yang mendengar letih, termasuk pacarnya sendiri. Minghao saja lelah, apalagi Seungcheol. “Oke, stop,” ucapnya. “Gue nggak suka sama Hani dalem konteks itu, oke? Gue sama dia cuma temen. Hani straight, btw, jadi dari awal juga nggak mungkin.” Kalau boleh jujur, Seungcheol sempat naksir Jeonghan di masa-masa awal mereka debut, namun rasa itu langsung kandas sebelum berkembang karena Jeonghan memperkenalkan pacarnya ke grup mereka tidak lama kemudian. Ia tak merasa perlu membagi fakta itu pada Mingyu saat ini karena tidak relevan. “Dan apa sih anehnya gue sama Wonu, hah?? Gue sama dia satu tim, kayak lu sama gue, anjir. Gue juga sekamar sama dia sekarang. Probabilitas gue jadian sama dia tuh sama kayak probabilitas lu jadian sama Wonu.”
“Tapi gue nggak jadian sama Wonu ya, gue jadiannya sama Hao.”
“Heh, base shipper lo berdua paling gede, anjing.”
“Base shipper lo sama Bang Hani juga paling gede, Bang.”
(Kenapa jadi berantem soal base shipping masing-masing, anjir??)
Seungcheol berdeham, menyadari tak ada gunanya debat kusir sama Mingyu soal ini. “Intinya, gue suka sama Wonu, Gyu. Dan tiga hari lalu gue tembak dia. Tapi, dia nolak gue. Jadi, sekarang gue lagi bingung kenapa gue ditolak, padahal pas nembak, gue yakin banget dia juga suka sama gue,” jelasnya dalam satu kalimat tanpa jeda. Makin melebarlah mata Mingyu. Kayaknya Seungcheol salah bicara mulu dari tadi, heran.
“Dia nolak lo??”
Seungcheol mengangguk.
“Wonu?? Nolak lo?? Kok bisa??”
“Ya mana gua tauuuuu ya Tuhan…Gyuuuu…stress gue ngomong sama lo…,” rasanya Seungcheol mau cubitin pipi anak itu saking gemesnya. Antara bloon sama nggak mudeng itu beda tipis, emang.
“Aneh banget…”
Lelaki yang lebih tua menghela napas. Pemotretan Wonwoo dan Vernon sudah selesai dan sekarang mereka sedang mengecek hasilnya dengan fotografer. “Yah, gue juga nggak tau sih kenapa gue ditolak. Wonu nggak bilang apa-apa. Dia cuma baca buku terus diem aja. Terus sampe sekarang, dia nggak ada ngomong apapun ke gue. Nggak ke kamar lagi. Tidur di ruang tengah pun enggak, dia, kayaknya numpang kamar siapa yang lagi kosong. Kayak…dia ngejauhin gue gitu lho…,” helaan napas pasrah.
Mingyu menggaruk sisi keningnya, bingung harus berkata apa. Pada akhirnya, ia tidak berkata apapun, melainkan menepuk-nepuk perlahan punggung Seungcheol, yang membuat lelaki itu mengulum senyum berterima kasih. Hanya itu saja sudah cukup bagi Seungcheol. Dilihatnya Wonwoo dan Vernon berjalan mendekati mereka.
“Lo kenapa nolak Bang Cheol, Won? Lo nggak suka sama dia?”
Seungcheol bengong.
Wonwoo bengong.
Vernon bengong.
Mendadak hening.
.
.
.
“Hah? Bang Cheol sama Bang Wonu rupanya—“ Vernon menangkup mulutnya yang terbuka.
“Mingyuuuu…..,” ngomong-ngomong, ngebunuh dan nguburin anggota grup sendiri kena pasal nomor berapa ya, dan hukumannya nanti berapa tahun atau denda berapa won ya? Sial, harusnya Seungcheol lebih sering mengecek kasus hukum pidana di masa luangnya.
“Jawab, Won,” tidak mengindahkan Vernon maupun Seungcheol, fokus Mingyu hanya ke Wonwoo. “Kenapa lo nolak cinta Bang Cheol ke elo? Lo nggak suka sama dia?”
“Cinta?”
Seungcheol spontan menoleh.
“Bukannya Bang Cheol cuma suka ya?” ada kernyitan di antara kening Wonwoo.
“Suka itu maksudnya dia cinta sama lo, Won,” Mingyu menghela napas. “Dia ngajakin lo jadi pacar dia nggak?”
Wonwoo mengangguk.
“Terus? Lo terima?”
Kali ini, ia menggeleng.
“Kenapa?” tantang Mingyu.
“Karena gue nggak mau pacaran sama dia,” tenang dan tegas, namun menyelekit setajam silet. Seungcheol kira ia sudah mendengar yang terburuk tiga hari yang lalu. Ternyata ia salah. Ternyata, menunduk dan menemukan hatinya sudah terbelah bersimbah darah tanpa ia ketahui itu terasa lebih buruk lagi. “Gue suka sama Bang Cheol, tapi gue nggak kepikiran ngeliat dia sebagai pacar. Apa ya…kayaknya aneh. Dia kan abang gue. Keluarga, bahkan. Rasanya sama kayak lo ato Vernon tiba-tiba ngajakin gue pacaran.”
“Lho, why? Lo nggak mau pacaran sama gue, Won?” Mingyu memasang tampang kaget.
“Nggak,” lagi, anak itu menggeleng. “Like I said. Kalian tuh keluarga. Gue nggak bisa ngeliat lebih atau kurang dari itu. Pacaran itu…kita bakal ciuman kan? Pelokan, ciuman, bahkan mungkin bakal ngeseks juga.” Wonwoo menatap wajah Mingyu, lalu wajah Vernon. Dan, yang terakhir, ia menatap wajah Seungcheol cukup lama. Alisnya menukik tajam. Kerutan di keningnya mendalam. “…Nggak. Gue nggak bisa bayangin bakal ciuman sama lo, Bang, apalagi ngeseks. Gue suka sama lo, tapi gue nggak mau pacaran sama lo. Gue nggak akan bisa ngelakuin itu semua.”
Kemudian, Jeon Wonwoo berbalik menuju ruang ganti, meninggalkan Seungcheol dengan hati yang hampir terkuras darahnya bersama dua orang anggotanya yang mencoba menghiburnya dengan menepuk-nepuk punggung dan pundaknya ringan.
Tidak ada penolakan yang setegas itu. Tidak ada kerelaan yang sedrastis itu. Seungcheol tidak bisa langsung bersikap biasa saja di depan Jeon Wonwoo, namun dengan bantuan Wonwoo yang menghindarinya secara intens sampai mereka tak bertatap muka selama dua minggu sudah, selain di jadwal pekerjaan resmi, semua terasa lebih mudah. Dengan tidak menemukan Wonwoo tidur-tiduran di kasurnya dengan kaus kedodoran dan rambut acak-acakan, Seungcheol bisa menghapus jejaknya dari ingatan ketika ia sendirian. Bermain game seharian penuh atau mengobrol dengan teman-temannya di grup chat, ataupun menyeret salah satu member grupnya untuk makan ke luar dan berbelanja, dengan cara-cara itulah ia perlahan membenahi luka di hatinya yang mulai mengering.
Persis di hari Kamis minggu ketiga, saat jadwalnya kosong, Seungcheol membuka pintu kamar. Di sana, di atas kasur, tidur-tiduran sambil membaca buku, adalah Jeon Wonwoo. Rambut hitamnya berantakan di atas sarung bantal Seungcheol yang berwarna putih. Kausnya kedodoran, seperti biasa, naik sampai bagian belakang pinggangnya terpampang begitu saja. Ia melepas kacamatanya, mengucek mata, lalu memasangnya kembali. Seungcheol, memandangi itu semua, terpaku di ambang pintu.
“Won…?”
“Hmm?”
Seungcheol mundur. Ia melirik ke kamar-kamar lain. Ada dua kamar yang pintunya terbuka. Kasur di ruang tengah, kasur Wonwoo, pun kosong, tak ada yang menempati. Kembali, ia menatap Wonwoo.
“Won?”
“Hmm?”
“Lo ngapain di sini?”
“Baca buku.”
Diam. Seungcheol merapatkan bibir. Otaknya berputar dengan cepat, mencari sebuah jawaban kenapa Jeon Wonwoo berada di kamarnya, di kasurnya, membaca buku seperti biasa setelah hampir tiga minggu menghindarinya, namun, semakin dipikir, semakin bingung saja Seungcheol.
“Bang,” pas dia sadar, Wonwoo sudah berdiri di depannya. Pintu kamar entah sejak kapan ditutup. Kini, di ruangan tertutup itu, hanya ada mereka berdua. “Lo masih inget jawaban gue ke elo pas kita pemotretan kemarin dulu itu?”
Seungcheol bergeming.
“Gue nggak bisa bayangin diri gue nyium lo.”
Diteguknya ludah.
“Tapi,”
Wonwoo maju satu langkah.
“Gue pengen coba cium lo.”
Sampai wajah mereka terlalu dekat.
“Boleh?”
…Harus Seungcheol jawab? Harus dia jawab banget nih??
“Tapi, ini cuma coba cium aja ya, Bang. Kalo rasanya tetep aneh, gue nggak—“
Apapun itu. Apapun kondisi dan konsekuensi, apapun, Seungcheol terima. Menyedihkan. Seorang lelaki yang sudah berusaha sebaik mungkin untuk mencabut harapan dari orang yang jelas telah menolaknya mentah-mentah. Seorang lelaki yang bertahan selama hampir tiga minggu menjaga sedikit saja sisa harga diri yang ia punya. Seorang lelaki yang langsung mengambil secuil kesempatan yang diberikan atas dasar belas kasihan semata.
Ada dua sensasi kala mencium bibir seorang Jeon Wonwoo. Satu, pipi bagian atas yang terantuk lensa kacamatanya. Dan, dua, bahwa bibirnya lembut sekali. Mungkin Seungcheol memang bias, karena bibir Wonwoo kering sepanjang masa. Kalau tidak pakai lipgloss, di malam hari ketika udara lebih kering, atau musim dingin, kulit di bibir itu akan pecah-pecah, bahkan sampai berdarah. Anehnya, saat ini, bibir yang ditekan di bawah bibirnya itu amat, sangat lembut. Ciuman mereka hanya berupa dua bibir yang menempel ringan, hampir tak melekat.
Entah kapan mereka berdua memejamkan mata. Yang pasti, begitu sadar, Seungcheol sudah melepaskan ciuman mereka dan kelopak matanya perlahan membuka. Matanya terus saja jatuh ke bibir Wonwoo. Dilihatnya Wonwoo juga sama, memperhatikan bibirnya. Ciuman yang tidak ada rasanya. Hanya bibir bertemu bibir.
“…Gimana?”
“Hmm?”
“Rasanya?”
Perlahan, Wonwoo menjilat bibirnya sendiri. Seungcheol meneguk ludah sambil dalam hati merutuk ulah Wonwoo. “Nggak ada rasa apa-apa,” akunya kemudian.
Seungcheol hampir mendengus saat paham apa maksud Wonwoo. “Bukan itu,” ringisnya. “Maksud gue, gimana, rasanya aneh nggak ciuman sama gue?”
“Oh,” Wonwoo kemudian mengangguk. “Iya, aneh.”
Napas Seungcheol tercekat. Dadanya sakit lagi. “Oh…,” ia menunduk sedih. Inilah akhir dari semuanya. Sebuah kesempatan kecil yang dengan sukses ia sia-siakan begitu saja. “Oke…”
“Aneh. Gue mau lagi.”
“……………………Ha?”
Mendadak, Wonwoo maju. Tubuhnya menempel ke tubuh Seungcheol. Lengannya melingkari leher Seungcheol. “Gue mau lagi. Kata orang, ciuman pertama itu ada rasanya. Mana, tadi nggak ada rasa apa-apa? Rasa bibir sih tapi rasa bibir tuh rasa apa coba…,” decak anak itu. “Ayo cium lagi. Gue mau tau gimana orang-orang itu bisa bilang ciuman pertama rasa lemon.”
Butuh beberapa saat sampai Seungcheol betulan mendengus geli, lalu tertawa terpingkal-pingkal. Wonwoo cemberut, heran kenapa ia malah ditertawakan begitu. Seungcheol mendusel hidungnya ke hidung Wonwoo. “Lo abis makan ato minum apa, Won?” tanyanya.
“Makan…belom. Minum kola tadi,” ia mencoba mengingat-ingat.
“Oke, gue tadi abis makan jeruk. Kebetulan Kwannie bawain dari kampungnya. Jadi ciuman lo di gue bakal berasa kola dan ciuman gue di elo bakal berasa jeruk.”
“O gitu ya…kalo dicampur jadi kola jeruk gitu ya…lucu juga…,” ia mengangguk-angguk seakan paham.
Seungcheol terkekeh lagi, “Emang lo tau gimana caranya lo bisa ngerasain itu?”
“Enggak.”
Dan dia tidak perlu disuruh dua kali untuk menunjukkan Jeon Wonwoo bagaimana caranya.
“Nggak lagi. Nggak lagi-lagi. Nggak lagi aku mandi sama kamu ya. Enggak. ENGGAK.”
Biarpun kekasihnya itu memakai baju sambil marah, Seungcheol hanya duduk di kursi, menontonnya dengan cengiran di wajah. Bisa saja Wonwoo marah-marah sekarang, padahal yang minta lagi dan lagi di kamar mandi tadi kan dia. Tapi, tidak apa, Seungcheol sudah biasa dijadikan tumbal begini. Yang penting, di sesi pribadi mereka, hanya dia yang tahu bagaimana Wonwoo di bawah sentuhannya.
Meski, ah, tidak bisa dipungkiri, terkadang ia punya keinginan gila ini.
Keinginan untuk memamerkan kekasihnya pada seluruh dunia di luar kamar mereka…
“Won.”
“Apa?” deliknya, masih kesal karena bagian belakangnya masih senut-senut.
“Gimana? Bisa kan kamu ngeseks sama aku?”
Sekejap, dunia Seungcheol menjadi hitam oleh pakaian yang dilemparkan Wonwoo padanya.