Commissioned by @mrklnjm: Relationship hiding, Fluff, World of Our Own by Westlife
Interviewer: “Akhir-akhir ini, kamu lagi suka ngapain nih?”
DK: “Hmm…akhir-akhir ini ya? Latihan gitar?”
Interviewer: “Wah?”
DK: “Iya, hehe, soalnya lagi seneng main gitar sambil nyanyi. Masih pemula sih, aku, belum banyak lagu yang bisa dimainin, tapi, apa yah, kayak seneng aja gitu bisa nyanyi sambil main alat musiknya sendiri.”
Lee Seokmin tersenyum ke arah kamera. Sang pewawancara manggut-manggut. Karena yang tersorot kamera hanyalah Seokmin, maka sang pewawancara tidak sekalipun mengangkat kepalanya dari lembaran kertas di tangannya. Selain wanita itu, segerombolan kru juga tengah menontonnya. Kameramen, penata lighting, penata rias, serta kru produksi. Member grupnya yang lain pun sedang memonitornya sambil mengobrol sendiri.
Interviewer: “Keren banget.”
DK: “Ah, enggak kok…”
Interviewer: “Belajarnya otodidak dong nih?”
DK: “Emm—“
Sedetik. Hanya sedetik matanya melirik ke arah member grupnya sebelum kembali lagi menatap kamera. Ia tersenyum makin lebar.
DK: “Enggak. Aku diajarin sama Joshua.”
Interviewer: “Wah. Apa fans bisa berharap bakal ada lagu duet nih sama Joshua?”
Seokmin tertawa lugas.
DK: “Ide bagus tuh. Kayaknya belum pernah ada lagu yang duo gitaris gitu ya dari kita?”
Sengaja ia menoleh ke arah Jihoon, yang hanya membalasnya dengan senyum timpang. Sekarang, setelah disebutkan, para fans akan mulai menaruh harapan akan lagu tersebut. Artinya, lagu baru untuk ia pikirkan bermalam-malam kemudian. Great. Lee Seokmin, you’re a dead meat. Menyadari tatapan tajam yang bermakna ganda dari Jihoon, Seokmin mengacuhkannya, kembali ke sesi wawancara pribadinya.
Interviewer: “Kita nggak sabar nih kalo beneran dibuat lagunya. Terus, Joshua gimana pas ngajar, kalo boleh tau? Apa dia guru yang galak?”
DK: “Oh iya. Galak banget. Kalo aku salah kunci, dia pukul tanganku pake penggaris!”
Interviewer: “Beneran?? Wah, nggak nyangka deh.”
Seokmin bisa merasakannya. Tatapan yang sama tajam dari orang selain Jihoon. Bedanya, orang itu akan menambahkan senyuman manis yang mencapai mata, sehingga, bila bukan orang-orang terdekatnya, takkan ada yang tahu bahwa dirinya sedang emosi. Mendadak, Lee Seokmin tertawa.
DK: “Becanda, becanda! Ahahahah! Mana mungkin Joshua begitu!”
Interviewer: “Hahaha, oh gitu?”
DK: “Iya. Joshua kan abang aku yang paling manis.”
Beberapa dengus geli tertahan tertangkap telinga Seokmin (yang ia tebak pasti berasal dari unit vokal). Mendengar itu, bukannya berhenti, Seokmin malah melanjutkan.
DK: “Paling manis. Paling sabar. Kalo aku ada salah kunci, dia pegang tanganku kayak begini—“
Diambilnya tangan sang pewawancara. Tentunya wanita itu kaget karena sama sekali tak menduga. Refleksnya ingin menepis namun kamera terus menyorot mereka, sehingga ia tak punya pilihan selain membiarkan Lee Seokmin memegang tangannya. Sentuhannya lembut, hati-hati, seolah ia tengah memperlakukan benda pecah belah. Tatapan matanya pun amat hangat.
DK: “—terus ditaro di fret yang bener. Dia guru yang lembut banget, pengertian…mungkin aku emang orang paling beruntung di dunia.”
Interviewer: “O-oh, emm….”
Perlahan namun gesit, sang pewawancara menarik tangannya dari sana. Pipinya merona merah, berkebalikan dari Seokmin yang memandangnya sambil tersenyum santai.
Interviewer: “W-Well, para fans pasti bakal seneng dan menanti lagu itu. Oke, terima kasih, Tuan Lee, atas waktunya. Berikutnya, Tuan Boo—“
Ketika ia berjalan menuju member grupnya, semua orang menatapnya selain satu, yang justru berbalik badan dan berlalu. Sepanjang hari itu, mereka menuntaskan jadwal mereka yang padat sampai pada akhirnya, ketika semua member menaiki tiga van putih mereka untuk kembali ke asrama, mereka sudah kelelahan dan tertidur sepanjang perjalanan.
“Seok.”
Ia menoleh. Jeonghan yang duduk di sebelahnya belum tertidur rupanya.
“Ya?”
“Lo berani banget,” cengir lelaki itu.
“Maksudnya?” Seokmin menelengkan kepala, bertanya-tanya.
“Ya gitu. Lo berani banget, sumpah, gue salut sama lo lah hari ini,” kekehnya perlahan. Jeonghan menepuk bahunya tiga kali, kemudian bergeser hingga bersandar pada kaca jendela, bersiap untuk tidur seperti yang lainnya, meninggalkan Seokmin sendirian menatap terang lampu jalanan di malam hari selama 30 menit perjalanan mereka ke asrama.
Esok paginya, Seokmin baru terbangun ketika jarum jam yang pendek berada di angka 10. Hari itu adalah hari bebasnya. Ia mengucek mata, menguap lebar. Juntai rambut masih mencuat kemana-mana. Kausnya gombrong, agak belel karena memang dipakai untuk tidur. Dia berjalan dengan mata setengah terpejam ke dapur, tangan masuk ke kaus, menggaruk dadanya.
“Seok,” itu Jihoon. “Duduk lo sini.”
Dengan nyawa seadanya, Seokmin menurut. Ia duduk di sofa ruang tengah di sebelah Jihoon. “Care to explain kenapa lo ngomong gitu kemaren pas interview?” tanpa tedeng aling-aling, ia menembaknya langsung. Jihoon memang tidak begitu suka berbasa-basi.
“Mm, dunno…,” dikuceknya mata. “Gue cuma asal ngomong aja kok, lagian fans juga pasti nggak anggep itu serius…”
Jihoon diam saja, yang mana membuat Seokmin berhenti mengucek mata dan, perlahan, menoleh ke Jihoon. Kedua matanya melebar.
“…Masa sih…”
“Josh udah nunggu lo di ruang latihan,” digetoknya kepala Seokmin. “Submit ke gue kalo lo berdua udah nemu lagu yang lo mau buat sekalian liriknya ato konsul ke Vernonie. Makanya laen kali kalo ngomong tuh dipikir.”
Seokmin hanya bisa bengong menatap kepergian Jihoon.
Benar saja, Joshua sudah menunggunya di ruang latihan dengan dua gitar. Gitarnya yang bernama Taylor tengah dipeluknya dan yang lain, gitar Seokmin yang dipanggil Woody, disandarkan ke dinding. Ia memperhatikan Joshua memainkan beberapa kunci asal, berusaha membentuk nada yang saling menyambung, sebelum ia mendecak dan mengibaskan tangannya. “Ah…kenapa sih…I’m so rusty…,” keluhnya.
“No, you’re not,” kaget, Joshua serta-merta menoleh padanya. Ia tersenyum sebagai balasan sambil melangkah masuk dan menutup pintu. “Gue suka kalo lo maen gitar. Cantik.”
Pujian itu tidak berimbas apapun, selain membuat Joshua semakin kesal padanya. Dicubitnya kedua pipi Seokmin, membuat lelaki itu merintih kesakitan. “Gara-gara lo kemaren ya, ngomong seenaknya aja di depan kamera, hah? Gue sama Hoonie harus kerepotan begini, hah??” giginya digertakkan.
“Adududududududududuh—“
“Lo sengaja kan? Lo pasti sengaja kan?? Seneng lo sekarang, hah?? Mulut ini ya, mulut ini yang kemaren enak aja ngomong begitu??”
“Aduh—sakit!” digamitnya kuat-kuat kedua tangan Joshua dan dicabutnya paksa dari pipinya (yang, tentunya, sudah memerah sekarang). “Iya, iya, aku sengaja! Puas?? Aku sengaja ngomong gitu, biar aku bisa punya waktu sendirian sama kamu lagi tanpa ada yang gangguin kita! Puas???”
Akan pernyataan itu, Joshua manyun. Ia tidak bisa murni marah, pun tak bisa merasa senang. Bermain gitar bukan lagi hobi yang biasa ia lakukan setiap hari seperti sebelum mereka debut. Gitar bukan lagi teman satu-satunya sebagai anak pendatang baru dari negeri orang. Kini ia punya banyak aktivitas di luar pekerjaannya sebagai idola, juga teman-teman dimana ia menghabiskan waktu luangnya. Dengan keadaan seperti itu, lalu mendadak ditugaskan agensi membuat lagu duet gitaris dengan Seok…merepotkan. Beban. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa menyalahkan Seokmin. Bagaimanapun juga, waktu mereka berdua memang semakin menipis akibat kesibukan.
“Bego,” jitaknya pelan. “Aku nggak mau tau ya. Kamu yang buat lagunya, aku ngiringin aja. Kasian Hoonie tau, gegara kamu egois, dia kena juga imbasnya.” Joshua mendengus kesal, kembali memetik senar gitarnya. “Pokoknya ini semua jadi kerjaan kamu. Aku nggak mau tau.”
“Iya, iya…,” menghela napas, lelaki yang lebih muda dua tahun darinya itu pun duduk. Gitar dalam pelukan sementara tangan satunya mengelusi pipinya, mencoba meredakan perih yang terasa. “Galak amat sih, Yang…”
“Diem nggak?” rupanya Joshua masih marah.
Kalah, Seokmin menurut. Ia mulai berkutat dengan gitarnya. Beberapa kunci ia mainkan dengan asal, mencari-cari nada yang sekiranya terdengar enak. Suara jam dinding—tok, tok, tok—mengisi relung kosong yang tercipta di sela-sela petikan nada. Saat jam makan siang (yang sudah terbilang telat di jam 2 seperempat), Vernon dan Seungkwan merangsek masuk membawa empat boks menu makan siang dari restoran dekat gedung agensi. Nasi dan daging dan kimchi…ah, makanan boks pada umumnya saja. Mereka makan dengan lahap sembari mengobrol ngalor ngidul. Vernon tidak lupa menawarkan bantuan untuk menulis lirik sebelum ia diseret Seungkwan untuk menemaninya berbelanja.
Jihoon dan Jeonghan mampir tak lama kemudian. Sementara Jihoon membahas dengan Joshua mengenai lagu duet ini, Jeonghan mengejek Seokmin habis-habisan, menyudutkan lelaki itu dengan rasa bersalah karena sudah membuat pernyataan publik akan lagu baru seenak jidatnya. Tentunya dengan cara khas seorang Yoon Jeonghan, dalam nada bercanda namun dengan pandai menusuk langsung ke sanubari. Seokmin hanya bisa meringis menahan kekesalan. Merasa iba, Joshua pun mengusir mereka berdua dari sana, namun Jeonghan tidak lupa berbisik ke Joshua dan, ketika Joshua memukul bahu Jeonghan dengan wajah memerah, alis Seokmin menukik tak suka.
Pintu ditutup. Seokmin langsung merenggut lengan atas Joshua. “Dia ngomong apa?” tanyanya, agak memaksa, membuat Joshua mengenyahkan pegangan itu darinya.
“Nggak ada apa-apa.”
“Shua—“
“Ets, rupanya ruangan ini dipake toh.”
Soonyoung membuka pintu. Di belakangnya, tampak Jun, Minghao dan Chan mengintil. Mau tak mau, Seokmin segera menjauh. Ia mengambil lagi gitarnya dan duduk di lantai, membiarkan Joshua saja yang berurusan dengan tim performance yang rupanya mau memakai ruangan untuk latihan. Joshua menjelaskan situasi mereka saat ini.
“Pantesan Uji uring-uringan dari pagi,” angguk Soonyoung, yang langsung disetujui Jun. “Yaudah, kita pake ruang latihan yang laen aja.”
“Sori ya,” Joshua tersenyum menyesal.
Soonyoung tertawa. “Santuy, Josh~” selorohnya. Mereka berempat kemudian membahas kemajuan lagu duet itu, yang ditanggapi Joshua dengan helaan napas.
Sementara itu, Minghao menyeret kakinya dan duduk di samping Seokmin yang masih berkutat dengan gitar. “Gimana lo?” gumamnya.
“Gimana apanya?”
“Marah?” dia mengedikkan kepala ke arah Joshua.
Seokmin hanya mendengus sarkastis, yang dibalas Minghao dengan memukul punggungnya sambil tertawa geli. Chan memanggil Minghao dan lelaki itu pun pergi, masih tertawa, tidak mengindahkan Joshua yang memandangnya kebingungan. Baru setelah mereka hanya tinggal berdua lagi, Joshua menuntut penjelasan.
“Kamu ngomong apa sama Hao?” ia mengernyit.
“Bukan apa-apa,” Seokmin menulis beberapa nada yang ia dapatkan di kertas coret-coretan. “Udah sini buruan, aku mau at least kita udah dapet bagian reff-nya hari ini.”
Tidak suka akan respon lelaki itu, Joshua duduk di sebelahnya dengan kedua lengan terlipat di dada. “Seok. Inget kalo kita udah sepakat kan? Kita janji kalo kita akan berusaha sebaik mungkin nyembunyiin hubungan ini. Itu syarat dari aku kalo kamu mau pacaran sama aku. Kamu inget itu kan?” ia berkata dalam nada tegas. Joshua memang seperti itu. Tahu, kapan harus menarik batas realita terhadap siapapun.
“Iya, tau,” decak Seokmin, tidak mau kalah. “Aku tau kalo kita harus pacaran sembunyi-sembunyi biar nggak ngerusak grup kita. Biar kita nggak ketangkep publik terus dijadiin bahan gosip. Biar kita nggak dimarahin, or worse, dikeluarin dari agensi. Aku tau itu semua, Shua, nggak perlu kamu ingetin terus tiap hari, gini-gini juga aku nggak bego!”
Joshua merapatkan bibirnya. Rautnya tersinggung. Seokmin menyadari itu dan membekap mulutnya sendiri, mendadak tersadar kalau dia mungkin sudah kelewatan.
“Aku…aku nggak pernah anggep kamu bego…,” kekasihnya itu menunduk sedih.
“Oh, Shua…,” dikesampingkannya Woody di lantai. Ia pun merangkul Joshua, yang segera naik ke pangkuannya dan memeluknya balik. Wajahnya hilang ke sisi leher Seokmin. “Maaf, aku…aku cuma capek…terus-terusan begini selama 4 tahun…”
“Aku juga capek, Seok…,” akunya. Hentakan napas terdengar dari Seokmin, tetapi Joshua keburu melanjutkan. “Tapi kita nggak bisa kasih tau siapa-siapa. Dunia kita ini…kejam. Aku nggak peduli gimana nasibku, tapi aku nggak akan tahan kalo harus liat kamu juga kehilangan karir sama masa depan kamu gegara aku—“
“Joshua, stop,” ibu jari Seokmin mengelus bibir bawah Joshua, menghentikan lanturan kekasihnya itu. “Nggak ada siapapun dari kita yang kehilangan apapun, Sayang. Aku paham, paham banget. Maafin aku ya? Maafin aku kemarin, maafin aku tadi.” Seokmin menyandarkan keningnya ke kening Joshua. “Nggak akan aku ulangin lagi…”
“Seok…,” dielusnya pipi sang kekasih. Tatap mereka bertemu. Perlahan, kelopak mata hendak menutup. Kepala keduanya maju.
“Oi, Seok, Hao bilang lo nyariin gue?”
“Josh, Bang Cheol nyariin lo tuh—“
“Josh—“
Semua orang membeku di tempatnya. Joshua menoleh ke belakang dan menemukan Mingyu, Wonwoo dan Seungcheol (fuck, out of all people, it has to be Cheollie!) berhenti di ambang pintu. Tentu ia sadar bagaimana posisinya, yang tengah duduk di atas pangkuan Seokmin, saling berpelukan dan wajah terlalu dekat untuk dibilang sekadar sahabat. Refleks, Joshua mendorong dirinya menjauh, namun Seokmin bergeming, pelukan tidak goyah sedikitpun. Joshua hanya punya beberapa detik untuk menatapnya heran sebelum wajah kekasihnya itu menjadi teramat dekat dan—
“Mmh-”
Bibirnya merindukan bibir Seokmin, merindukan bibir yang menempel legit tak mau lepas itu. Telapak tangan pada tengkuknya memaksanya menelengkan kepala agar bibir mereka menyelot lebih lekat lagi tanpa menyisakan jeda. Entah sejak kapan mata Joshua sudah terpejam dan kedua tangannya menggamit baju di pundak Seokmin kuat-kuat. Untuk ukuran orang yang berusaha menyembunyikan hubungan mereka, Joshua terlalu mudah membuka mulutnya untuk menerima lidah Seokmin. Erangan tertahan pun terdengar saat lidah mereka saling menjilat, membuat otak dan tubuh Joshua meleleh seketika.
Lima menit. Mereka berciuman selama lima menit, sampai keduanya kehabisan napas dan harus melepaskan bibir mereka (tentunya tidak lama, karena Seokmin memberikannya beberapa kecupan kecil seakan tak rela harus berjauhan dari bibir ranum itu). Joshua melemas dalam pelukannya. Pipi dan lehernya memerah manis. Bibirnya tak kalah merah, mengundang Seokmin untuk menunduk dan menciuminya lagi, namun seseorang menghentikan mereka.
“EHEM!”
Seakan baru tersadar akan keberadaan orang lain, mereka mendongak. Joshua dengan ekspresi terkejut dan Seokmin dengan putaran bola mata. Benar, ada Seungcheol di sana. Mingyu dan Wonwoo juga. Dan, oh…oh Tuhan…tidak hanya mereka bertiga, sekarang keempat anggota performance juga di sana. Jeonghan menyeret Jihoon, menyelip masuk di antara kerumunan dengan ringisan terpampang. Hanya Vernon dan Seungkwan yang tidak ada, mungkin masih sibuk belanja.
Oh Tuhan…
“…C-Cheollie…,” Joshua menggelengkan kepala. “Ini…ini bukan…ini salah paham, kami enggak—“
“Josh, biar aku aja,” Seokmin menariknya ke dalam pelukan, menyembunyikan wajah Joshua di dadanya. Kemudian, ia menoleh ke arah para membernya. “Sori udah ngerahasiain ini, tapi gue sama Joshua udah pacaran 4 tahun dan, well, kita berdua udah nggak mau lagi nyembunyiin ini, at least sama kalian semua. So, yeah…take it or leave it.” Dia sudah tak peduli. Meski Seokmin yakin member grupnya bukanlah orang-orang berpikiran sempit, tapi ia terlalu takut menaruh harapan, karena manusia tidak mudah ditebak. “Sori, kalo kita jadi bikin masalah, tapi kita…aku sama Shua…kita udah capek ngebohongin kalian…sori…”
Seungcheol melirik ke Jeonghan yang meliriknya balik, lalu Seungcheol melirik ke Jihoon dan Soonyoung. Soonyoung menaikkan bahu sambil lalu, sementara Jihoon menggeleng. Minghao menatap Mingyu, yang juga menatapnya, lalu ia menatap Seokmin. Minghao maju mendekat.
“Oi, Hao!” panggilan Seungcheol ia abaikan. Alih-alih, lelaki itu berjongkok di depan Seokmin dan Joshua.
“Lo tau kan kalo gue tau lo sama Bang Shua ada hubungan?” tanyanya polos.
“Hao, lo cuma curiga gue sama Joshua ada hubungan, bukannya tau,” Seokmin mengoreksinya.
Minghao menggeleng santai. “Nggak, Seok, gue tau lo sama Bang Shua pacaran. Gue sama Gyu tau,” Seokmin sejenak menatap Mingyu yang hanya nyengir membenarkan. “Terus Bang Hani juga tau karena Bang Shua cerita sama dia.”
Bola mata Seokmin melebar, teringat bisikan Jeonghan pada Joshua sebelumnya.
“Mau gue kasi tau rutenya? Bang Hani ngasih tau ke Bang Cheol, terus Bang Cheol ngasih tau ke Bang Wonu. Bang Wonu ngasih tau ke Bang Nyongi, yang ngasih tau ke tim performance dan Bang Hoon, yang terus nyebar ke semua tim vokal. Sampe semua grup tau kalo kalian sebenernya pacaran.”
Bagai dimakan kucing, lidah Seokmin dan Joshua kelu. Tak ada kata-kata yang bisa keluar.
“Ah, gue sendiri tau dari merhatiin kalian berdua. Yah, sama…gue pernah nggak sengaja mergokin kalian ciuman so yeah,” Minghao tertawa perlahan. “Gue kasih tau Gyu karena dia pacar gue, tapi sumpah, kita berdua nggak nyebarin itu kok. Ya kan, Gyu?”
“Mulut gue kekunci,” Mingyu membentuk gestur merisleting bibirnya.
Rasanya kepala Seokmin penuh dengan berbagai macam hal. Mereka yang sudah ketahuan oleh member mereka kalau sebenarnya pacaran. Minghao yang memergoki dirinya berciuman dengan Joshua (kapan? Dimana?). Minghao dan Mingyu yang ternyata—
“Bentar, KALIAN PACARAN??” mulut Seokmin membuka lebar. “LO?? SAMA GYU?? SEJAK KAPAN?? GIMANA BISA?? KOK GUE NGGAK TAU???”
Minghao tertawa, yang kemudian diikuti beberapa member lain, termasuk Mingyu. “Udah lama kali, Seok, lo aja yang fokus bener ke pacar lo sampe nggak ngeh hal-hal laen,” seloroh Mingyu. “Pasti lo nggak tau soal Bang Cheol sama Wonu, juga Bang Hoon sama Soonie, terus Vernie sama Kwannie.”
Makin bingung lah mereka berdua. Sampai, pada akhirnya, Seokmin saling berpandangan dengan Joshua. Minghao yang memerhatikan mereka hanya tersenyum makin lebar.
“Intinya, kita semua udah tau kok kalian berdua pacaran. Jadi, nggak usah disembunyiin lagi ya? Pasti capek, selama ini kalian harus jaga rahasia berdua aja. Sekarang nggak usah disembunyiin lagi. Ya?” ucap Minghao menenangkan mereka.
“Tapi…kalo kalian semua tau…,” Joshua memutar kepala, selayang pandang meraup semua raut muka mereka. Muka-muka yang meringis dan tersenyum senang. “…kenapa nggak bilang ke gue sama Seok?”
“Kita nggak mau kalo bukan kalian yang bilang sendiri, Shua,” cengir Seungcheol. Lengannya melingkar santai di pinggang Wonwoo yang berdiri di sisinya. Sebuah gestur yang selama ini Joshua pikir hanya antar teman biasa. Rupanya benar, dirinya dan Seokmin terlalu fokus ke satu sama lain. “Nah, karena kalian udah bilang sendiri…”
“?”
Mendadak saja, seluruh anggota yang ada di situ merangsek Joshua dan Seokmin. Mereka ditarik masuk ke dalam pelukan ramai-ramai. Berbagai ucapan selamat, usrekan kepala, tepukan bahu, juga wajah-wajah tersenyum. Joshua terlalu terharu. Dadanya sesak. Seokmin, yang lebih lemah kelenjar air matanya daripada Joshua, sudah menangis tersedu-sedu. Tak lama kemudian, Vernon dan Seungkwan juga datang karena mereka dipanggil di grup chat. Mereka mengucap selamat kepada kedua pasangan itu.
Mereka menerimanya, menerima Joshua dan Seokmin apa adanya. Orang-orang yang bertahun-tahun mereka panggil sebagai keluarga. Saat Joshua mengerling dan bertemu pandang dengan Seokmin, mereka berdua saling tersenyum senang, sebelum bibir bertemu dalam satu kecupan singkat yang manis.
“Lagu duet kita…buat yang romantis yok?” cengir Seokmin.
Joshua tertawa.
“Boleh.”