Commissioned by @my17caratday: Songfic based on Afraid by Day6, Time Traveller, Angst, Sad Ending
You who is in pain because of me
“Halo, Seokmin.”
Yang dipanggil menoleh. Ia menemukan sosok ramping berambut hitam dan berkacamata bulat. Sosok itu tersenyum melihat ekspresi kebingungan Seokmin.
“Namaku Jeon Wonwoo.”
You who will be in pain without me
“Wonwoo! Lihat, lihat!”
Dengan ceria, Lee Seokmin, kelas 2 SMP saat itu, berlari melewati pagar taman dekat sekolahnya. Di sana, di bangku samping mesin penjual minuman otomatis, terduduk lelaki asing yang sekarang sudah ia hafal betul. Lelaki yang dulu sempat membuatnya curiga setengah mati karena tiba-tiba saja memanggil namanya meski sebelumnya tidak pernah bertemu dengannya. Anak itu segera duduk di samping Wonwoo setelah membeli sekaleng jus jeruk dingin (untuknya) dan teh oolong hangat untuk Wonwoo, yang diterima lelaki itu dengan kernyit tak suka.
“Kenapa?” Seokmin mengerjapkan mata.
“Aku nggak suka teh,” akunya. “Aku kan sukanya soda.”
“Ya mana kutau kamu nggak suka teh? Beli sendiri deh, aku udah nggak ada uang,” seloroh anak itu dengan santai.
Jeon Wonwoo hanya menghela napas sebelum membuka kaleng teh itu. “Diingat ya. Aku sukanya soda, bukan teh,” yang mana mengundang Seokmin memutar bola mata. “Oh ya, tadi kamu bilang apa? Lihat apa?”
“OH! IYA, AKU BARU INGAT!” segera, anak itu sibuk mengobrak-abrik isi tas sekolahnya. Kemudian, ia menarik sebuah buku dan memamerkannya pada Wonwoo. “Jreeenngg!”
Wonwoo memicingkan mata di balik lensa kacamatanya. “And Then There Were None?” dibacanya judul yang tertera. “Agatha Christie. Kenapa dengan buku ini? Dan sejak kapan kamu tertarik baca novel pembunuhan, Seok, kamu kan takut darah dan hantu?”
“Issh bukaan, aku bukannya mau liatin ke kamu bukunya—” ucapan Seokmin terhenti. “Bentar deh. Kamu tau darimana kalau aku takut darah sama hantu?”
“Muka kamu tuh, muka penakut,” telunjuk Wonwoo menuding ke hidung Seokmin.
“Sialan.”
“Terus kalau bukan bukunya yang mau diliatin, apaan dong?” dikembalikannya topik ke awal mula.
“Ini, ini,” dibukanya buku itu di bagian dalam sampul belakang. Seperti buku perpustakaan pada umumnya, ada selot ditempel di sana untuk ditaruh selembar kertas tebal berisikan nama peminjam dan tanggal keluar-masuk, alias tanggal buku itu mulai dipinjam dan tanggal ia dikembalikan. Di sana, tertulis jelas nama anak perempuan yang Seokmin sukai persis di atas nama Lee Seokmin sendiri.
Wonwoo seketika paham. “Oooh…,” ucapnya datar. “Kamu pinjem buku yang dipinjem gebetan kamu biarpun kamu takut baca buku itu, biar nama kalian atas-bawah gitu ya? Norak banget. Pedekate kayak gini mah kamu nggak bakal kenotis dia juga, Seok.”
“B-BERISIK AH! NAMANYA JUGA USAHA!” protes anak itu dengan muka langsung merah padam.
Lelaki itu lantas tertawa lepas. “At least yang lebih direct dong pedekatenya, gimana sih? Misalnya nih, pas dia mau ambil buku, kamu julurin aja tangan kamu biar sok-sokan nggak sengaja kena tangan dia, terus dia noleh, kamu senyumin deh dan ajak kenalan,” Wonwoo melipat kedua lengan di dada. Sebelah kakinya ia tumpangkan ke atas lutut yang satunya. Secara aneh, ia merasa bangga karena sudah memberikan ide yang (menurutnya) spektakuler. “Dijamin deh, cara ini nggak bakal gagal. Seratus persen kegaet. Aku udah ngalamin soalnya.”
Baru mau komentar klise banget, mendengar ucapan Wonwoo, Seokmin malah mengangkat kedua alisnya. “Beneran?” tanyanya tak percaya. “Cara pedekate ala drama televisi siang hari kayak gitu berhasil sama kamu? Wow…you’re so cheesy, Won—AWW!”
Mendadak saja, ujung hidung Seokmin dicubit.
“SAKIT!”
“Jangan ketawain kenanganku, makanya.”
“Apa sih…,” merengut ngambeg, Seokmin mengusap-usap ujung hidungnya. “Mentang-mentang pernah digebet orang, sombong…”
Seketika itu, paras Wonwoo berubah. Raut wajahnya menjadi sayu. Senyumannya tampak sedih, begitu juga pandangannya pada Seokmin. Tentu, perubahan drastis ini membuat si anak kebingungan.
“Won?”
“…Ah, sori,” lalu, kesedihan itu buyar. Wonwoo kembali tersenyum lembut seperti biasanya. “Yah, itu cuma saran aja sih. Seenggaknya gebetan kamu bakal tau kalo kamu ada di dunia ini, daripada sekadar tulis nama di bawah namanya di kartu peminjaman buku.” Ringisan yang terbentuk di wajah tampan Wonwoo bermakna jahil.
“BERISIK YA?!”
You look like the moon that lights up the black sky
Derai hujan rata menimpa Bumi di sore menuju malam itu. Hujan yang begitu deras membuat Wonwoo yakin Seokmin tidak akan datang ke taman. Di sana, di taman tempat mereka biasa bertemu, lelaki itu berdiri sendirian memegangi payung berwarna hitam, kontras terhadap kulitnya yang tergolong pucat. Ia menghela napas. Ia berputar, siap bertolak keluar taman, ketika ia menemukan Seokmin. Basah kuyup, kehujanan, dan sorot matanya kopong mengenaskan.
“!” spontan, Wonwoo menarik anak itu masuk ke bawah payungnya, tak memedulikan bajunya sendiri yang ikut kebasahan. “Seok?? Kenapa??” Anak itu tidak menjawab. Anak itu bahkan tidak bereaksi apapun. Ia hanya bernapas perlahan dan teratur. Wonwoo bisa merasakan kulit anak itu mendingin. Refleks semata yang membuatnya memeluk Seokmin, mencoba menghangatkannya dengan suhu tubuhnya sendiri. “Seok…are you okay?”
“…..hiks.”
Dengan cepat, anak itu merangsek semakin masuk ke dalam pelukan Wonwoo. Dengan teriakan panjang yang menyakitkan, anak itu menangis kencang. Basah, oleh hujan dan air mata asin. Tangisnya menyayat hati Jeon Wonwoo, yang hanya bisa diam mendengarkan dan memeluk anak itu semakin erat dengan harapan ia bisa mengurangi apapun pedih yang Seokmin rasakan saat ini.
Wonwoo membawa Seokmin ke Family Restaurant dekat situ. Mereka buka 24 jam dan keberadaan pemanas ruangan menghangatkan kedua orang yang basah kuyup itu. Untungnya, restoran di jam segitu, serta cuaca seperti itu, membuatnya sepi pengunjung, sehingga, ketika pelayan menyambut mereka, ia segera meminjamkan dua handuk pada mereka. Wonwoo berterima kasih dan menggunakannya untuk menyeka diri, sebelum membantu Seokmin agar anak itu tidak masuk angin.
Setelah semua cukup reda dan ada dua mug susu hangat di meja, Seokmin mulai bercerita. Ia menceritakan bagaimana ia disambut oleh piring yang pecah persis di sebelah wajahnya ketika ia membuka pintu depan rumahnya. Hampir saja pecahan piring tersebut masuk ke matanya, membuatnya buta permanen. Kemudian, suara-suara pertengkaran, makin lama makin kasar, makin meninggi intonasinya, makin banyak kata-kata yang tak pantas didengar anak kelas 2 SMP dipertukarkan. Ayah yang selingkuh dan membawa pacarnya untuk bercinta di sofa keluarganya. Ibu yang main dengan atasannya di kantor dan mendulang promosi demi promosi dengan membuka kakinya. Hal-hal yang Seokmin tidak ingin dengar, tidak butuh tahu. Orangtuanya bahkan tidak sadar anak mereka sudah pulang sekolah sampai pintu depan terbanting lagi dengan keras. Ketika mereka menyadarinya, sudah terlambat, Seokmin telah pergi ke tengah derai hujan.
“Aku nggak mau pulang…aku-hiks-aku nggak mau-p-pulang…”
Malam itu, Wonwoo membawa Seokmin ke apartemen kecil yang ia sewa. Setelah berendam di air hangat yang sengaja dicampurkan potpourri wangi jeruk, makanan buatan tangan lah yang berikutnya menyambut Seokmin saat ia keluar dari kamar mandi mengenakan baju pinjaman dari Wonwoo. Meski sederhana, hanya berupa nasi putih, telur gulung, acar sayuran dan sedikit daging ayam goreng sisa makan siang Wonwoo, makanannya malam itu adalah yang terenak yang ia rasakan dalam beberapa tahun belakangan ini. Mereka pun mengobrol ngalor ngidul. Setelahnya, Seokmin mencuci piring sementara giliran Wonwoo untuk mandi. Mereka menonton televisi dalam diam. Layar yang kecil menampilkan berita mengenai dimatikannya jalur kereta karena hujan terlalu deras, sementara di tempat lain, beberapa rumah mengalami kerusakan.
“Untung kamu nggak jadi pulang,” komentar Wonwoo. “Kayaknya badai ini sih.” Seokmin tidak menjawab apa-apa. Anak itu duduk dengan memeluk kakinya yang ditekuk. Ia tampak amat kecil dan rapuh. Wonwoo berdeham, kemudian mengusrek kepala Seokmin, mengacak rambutnya begitu saja. “Denger, Seok. Aku nggak bisa ngehibur orang. I’m just bad at it. Tapi aku yakin, kamu anak yang kuat. Aku nggak bisa bilang apapun karena ini persoalan keluargamu, tapi kamu kuat. Kamu pasti bisa ngelewatin ini semua kok.”
Usrekan di kepalanya lembut, seperti belaian tangan ibu dan ayah yang selalu ia dambakan selama ini. Seperti cinta yang sudah lama tidak pernah ia rasakan lagi tiap pulang ke rumah setiap hari.
“It’s okay. Everything’s will be alright…”
Dan, semalaman itu, Seokmin menangis. Ia menangis di dalam pelukan Wonwoo, merenggut bagian belakang kaus lelaki itu dalam keputus asaan sampai ia lelah dan terlelap, berdua, di ranjang Wonwoo yang hangat dan nyaman. Dan, ketika ia tak sengaja terbangun di tengah malam, ia melihat wajah Wonwoo yang tertidur di sisinya tertimpa sinar bulan. Begitu damai. Begitu cantik.
Lee Seokmin tahu ia sudah jatuh cinta detik itu juga.
But your light is gradually being covered by my darkness
Ia terduduk lesu di bangku taman itu sendirian. Secarik amplop berwarna merah muda berada dalam genggamannya. Nama yang tertera di bagian depan adalah namanya, sedangkan di baliknya adalah nama seorang gadis. Gadis yang selama ini ia perhatikan tanpa pernah benar-benar berani mengambil langkah pertama. Gadis yang sama yang menyerahkan amplop ini padanya, tadi sepulang sekolah di halaman belakang, dengan tangan gemetar dan kepala tertunduk tanpa sanggup memandang mata Seokmin.
Menghela napas, ia membuka amplop itu, membaca isi suratnya. Persis seperti dugaan Seokmin. Bahkan, ia tidak perlu membacanya untuk tahu kalau itu adalah surat cinta. Lee Seokmin, kelas 2 SMP, mendapat surat cinta dari gebetannya. Seharusnya ia senang. Seharusnya ia langsung menjawab ‘ya’ tanpa perlu menunggu lebih lama lagi.
Tapi…
Hela napas lagi.
“Kenapa?”
“WUAH!!” kaget, hampir saja surat itu ia robek. Wonwoo tertawa, sebelum mengambil tempat di samping Seokmin. Anak itu membentaknya, protes. “JANGAN NGAGETIN DONG!”
“Sori, sori,” ucapnya. “Abisan kamu kayak serius banget. Baca apaan sih?”
Seokmin melirik Wonwoo. Merasakan atmosfer di tempat itu mendadak menjadi serius, tawa Wonwoo langsung lenyap tak bersisa. Ia pun tak tahu harus berbicara apa. Lidahnya mendadak kelu. Seokmin belum pernah menatapnya seperti ini. “K-kenapa…?” diam-diam, Wonwoo meneguk ludah. Apa ia sudah melakukan kesalahan tanpa disadarinya?
“Nih.”
“Apa ini?”
“Baca aja.”
Maka, Wonwoo membacanya. Tak lama, mulutnya membuka sedikit. Seokmin menumpangkan dagu ke salah satu kepalan tangan. Kakinya terangkat, ditompa lutut kaki satunya. Ia meraup semua perubahan pada air muka Jeon Wonwoo, seakan mencari sebuah jawaban di sana yang tak kunjung ia temukan. Dengan cepat, Wonwoo menoleh dari surat di tangannya ke Seokmin, kebingungan.
“Ini…?”
“Dari gebetan aku selama ini,” nada suara anak itu begitu tenang.
Wonwoo meneguk ludah. Matanya mengerjap beberapa kali dengan cepat. “O…oh…,” harus bereaksi apakah dirinya? Ini kabar bagus. Kabar bagus, kan? Iya, ini kabar bagus. “Se-selamat ya! Terus, kapan kamu mau jawab? Kamu udah suka nih cewek dari kapan tau kan? Ah, anak kecil ini, punya pacar duluan daripada aku, kalah deh, dasar cowok playboy, hei~” Bercanda, disikutnya perlahan sisi tubuh Seokmin. Wonwoo tertawa lebar. Ringan, tanpa beban.
“Wonwoo. Aku nggak akan jadian sama dia.”
Kata ‘terkejut’ bahkan tidak cukup untuk menggambarkan reaksi Wonwoo. “Hah? K-kenapa?” tanpa sadar, intonasi suaranya naik. “Kamu kan suka sama cewek ini?? Dan dia juga suka sama kamu??”
Lee Seokmin menoleh perlahan. Tangannya terulur, lalu, dengan lembut, menangkup pipi Wonwoo, membuat bulu kuduk di tengkuk Wonwoo berdiri. Anak itu tersenyum, masih begitu tenang tak seperti biasanya.
“Aku suka sama kamu.”
…
Hening. Di taman itu, hanya ada mereka berdua. Pepohonan hijau yang rimbun mengelilingi mereka. Daunnya yang hijau bergemerisik tertiup angin yang bertiup santai. Terdengar cericip burung kecil melintas di atas kepala mereka. Sayapnya membentang, menantang langit biru yang cerah dengan sedikit awan putih bergumpal.
“Aku suka sama kamu,” ulang Seokmin ketika Wonwoo bergeming, masih terlalu shock akan pengakuan mendadak itu. Ibu jari Seokmin mengelus kulit pipinya. Hangat. “Aku…aku tau aku masih anak kecil dibandingin sama kamu yang udah dewasa, tapi…aku serius, Won. Aku suka sama kamu. Cinta, mungkin, entahlah. Tapi aku serius.”
Seokmin mengira Wonwoo akan marah. Alih-alih, lelaki itu menggelengkan kepala perlahan. Alisnya mengernyit, membuat kerutan kentara di bagian tengah kening. Reaksi itu membuat Seokmin agak ketakutan.
“Bukan cewek itu yang aku suka, Jeon Wonwoo,” sedikit menggeram, Seokmin mengulanginya lagi, berharap Wonwoo dapat mengerti keseriusannya. “Tapi kamu. Cuma kamu.”
Tiba-tiba saja, tangan Wonwoo membekap mulut Seokmin, memaksanya untuk diam. Kepala lelaki itu terus saja menggeleng, meruntuhkan kepercayaan diri Seokmin dengan setiap gelengan. Kemudian, Wonwoo mendongak untuk menatapnya tepat di mata. Kemarahan, duga Seokmin, atau kesedihan, atau…
“HAHAHAHAHAHAHAHA!!”
….Tidak. Seokmin salah. Itu bukan kemarahan maupun kesedihan, apalagi tersipu malu seperti harapannya. Jeon Wonwoo tertawa terpingkal-pingkal. Tangan di mulutnya pun lepas, berganti memegangi perut, karena lelaki di hadapannya itu tertawa tanpa henti sampai perutnya sakit. Tubuhnya gemetar oleh rasa geli.
Seokmin memandangi bagaimana lelaki itu, cinta pertamanya, menertawakan perasaannya tanpa tedeng aling-aling tepat di depan batang hidungnya.
“Aah…,” Wonwoo masih terkekeh sambil mengusap bulir tangis dari sudut matanya. “Kocak abis. Gini ya, Seok, tolong jangan salah paham. Aku senang kita temenan dan jujur, aku nggak ada niat lebih dari itu sama kamu. First of all, kamu tuh anak kecil. Bocah. Aku nggak minat sama bocah. Secondly, aku udah punya pacar. Tunangan, malah.”
Napas Seokmin seolah hilang. “Bohong,” tuduhnya.
Wonwoo mengangkat bahu sambil lalu. “Buat apa aku bohong, coba?” selorohnya santai. “Aku bakal nikah sama dia tiga bulan lagi.”
“…”
Wonwoo menghela napas, “Listen, Seok, sori banget kalo aku mislead—“
“Terus,” sambung Seokmin. “Terus…kenapa kamu negor aku waktu itu? Aku nggak kenal kamu. Kamu yang negor aku duluan, manggil namaku…”
“Aku emang belum bilang ya? Yah, jujur aja, aku kesepian,” jawabnya datar. “Soalnya tunanganku lagi ditugasin ke luar kota buat 6 bulan. Terus pas aku lagi jalan-jalan random, aku nggak sengaja liat kamu lagi sama temen kamu. Kayaknya kamu anak baek. Di situ juga aku tau nama kamu karena dipanggil sama temenmu itu. Jadi ya, aku iseng aja sebenernya negor kamu. Kalo kamu nggak kabur ya bagus, aku bisa punya temen buat ngobatin dikit rasa kesepian ini. Tapi kalo kamu kabur, ya nggak apa, toh emang niat aku iseng doang.”
Saat menjelaskan, Wonwoo melihat bagaimana Seokmin semakin dan semakin layu. Senyumnya yang biasanya ceria, secerah mentari musim panas, kini tak tampak. Wajahnya pucat pasi. Meskipun maksudnya baik, Wonwoo jadi berpikir apakah dirinya sudah kelewat batas. Ia tidak ada niat menceritakan ini semua pada Seokmin, berpikir bahwa alasan pertemanan mereka tidak begitu penting untuk diungkapkan, tapi sekarang, dirinya merasa bersalah telah menghapus senyuman Seokmin.
“Seok—“
“JANGAN!” bentakan itu mengagetkan Wonwoo. “JANGAN SENTUH! JANGAN!” Barulah saat itu, Wonwoo menyadari kalau Seokmin menangis. “AKU NGGAK MAU LIAT KAMU LAGI!”
Dan, dia memutar tumit sepatunya, berlari sekuat tenaga. Jauh, sejauh yang ia bisa, dari lelaki yang telah menghancurkan hatinya.
Sometimes I see you who is next to me
Ting Tong!
“Ya?”
Cklek.
“Halo, Seokmin.”
Ia tidak menyangka akan menemukan gadis yang ditaksirnya itu berdiri di ambang pintunya. Sudah hari ketiga Seokmin ijin tidak masuk sekolah dengan dalih sakit. Ibunya mengeluh, mencemaskan nilai-nilainya yang mungkin akan turun. Ayahnya tidak peduli, tak menanyakan apapun pada anak tunggalnya. Seokmin tidak mengindahkan pendapat mereka karena tak penting. Mereka tak memiliki nilai apapun di matanya. Dan sekarang, setelah orang terakhir yang ia kira memandangnya sedikit berharga, ternyata menganggapnya tak lebih menarik dari kotoran di ujung sepatu, persis seperti orangtuanya, Seokmin kembali tidak memiliki siapa-siapa.
Tidak ada seseorang pun yang peduli apakah dia hidup atau mati.
“Maaf ya ganggu,” gadis itu berkata dengan ceria, membuyarkan lamunannya. “Emm, aku cuma mau nganter catetan selama kamu nggak masuk. Terus, emm, di dalemnya ada pesan dari anak-anak kelas kita, supaya kamu cepet sembuh. Aku—eng, kita kangen kamu. Rasanya kelas jadi suram kalo nggak ada kamu yang biasanya bikin ceria. Makanya, cepet sembuh ya, Seok—“
Bulir air mata jatuh ke pipi Seokmin.
“E-eeehh?? Kok-kok-kok kamu n-n-nangis?? Eh, apa gegara aku? Aku ya yang bikin kamu nangis?? Maaf, maaf. Aduh, bentar, tissue, tissue, mana tissueku—“
Gadis itu langsung kelabakan mencari tissue di dalam tas sekolahnya. Panik dan bingung. Seokmin yang melihatnya otomatis tertawa. Tentu saja, tawa Seokmin malah semakin membuat gadis itu heran.
Aah…jadi begini kisah cinta pertamaku…, batin anak itu. Ia memejamkan mata dan tersenyum, merasa terobati sedikit dengan keberadaan gadis itu yang melihatnya ada di situ, seolah ia boleh berada di dunia ini, hidup dan merasakan cinta.
Goodbye, my love.
It seems like you are unhappy because of my greed
“Seok, ayo buruan~”
“Sabar, issh,” protesnya. “Terus kenapa ini aku yang bawain semua belanjaan kamu?!”
“Iih, nggak apa dong, kan aku pacar kamu~”
“Hubungannya dimana??”
Sumpah, mau ngamuk tapi susah juga. Sudah terlanjur sayang walau baru sebulan mereka resmi menjalin hubungan. Meski sering membuatnya geleng-geleng kepala, gadis itu adalah alasan dirinya bisa menetapkan hati untuk keluar dari rumah orangtuanya tahun depan, ketika ia menginjak bangku SMA. Ia bisa hidup dengan kerja paruh waktu dan gadis itu bilang akan belajar memasak agar Seokmin menghemat biaya hidup. Meski ia tidak memerlukan bantuan sejauh itu, namun, terus terang, ia tersentuh akan niat si gadis. Anak yang baik, kekasihnya itu.
Seokmin mendadak merasa sedang ditatap. Ia memutar kepala dengan tanda tanya, mencari darimana asal tatapan itu. Alangkah kagetnya ketika ia menemukan Wonwoo di kejauhan, tengah memperhatikan dirinya dalam diam.
“Won—“
“Seookk, ayoo cepetaann~”
“Ah, iya…,” ia menoleh sejenak ke kekasihnya.
Begitu ia melihat ke arah itu lagi, tidak ada siapapun di sana. Seokmin mengerutkan alis. Imajinasiku sajakah…?
Feels like I’m looking at myself
Tersembunyi di balik tembok, Jeon Wonwoo memerosotkan punggung hingga ia jatuh terduduk di gang sempit yang gelap, tidak nampak dari arah jalan utama. Ia terus memandangi punggung Seokmin, kelas 3 SMP kini, lebih tinggi dan lebih gagah dari terakhir ia melihatnya, sampai punggung itu menghilang sama sekali. Seokmin bersama seorang gadis yang juga adalah pacarnya. Mereka tampak amat serasi.
“Haha…cuma butuh setahun rupanya buat kamu lupain aku, Seokkie. Dasar. Rupanya dari dulu kamu gampang jatuh cinta sama orang ya…,” dengusan gelinya dengan cepat memudar. Menggertakkan gigi, Wonwoo menunduk. Mukanya menempel di kedua lututnya. Tangannya, gemetaran, tak bisa diam mengacak rambutnya sendiri. “Hh…”
Ia menangis. Ia menangis sangat deras. Tetesan tumpah tanpa bisa ditahan. Ia menangis sejadi-jadinya. Semua pedih yang ia rasakan meluap keluar, membuatnya melolong menyedihkan ke kedua lututnya, berusaha menahan agar tidak terdengar kemana-mana. Seluruh tubuhnya kini gemetaran hebat.
Seokkie…
Semua kenangan yang ia bangun bersama Seokmin muncul dengan cepat dalam ingatan. Saat lelaki itu menangis karena terharu menonton film di bioskop. Saat ia ketakutan dikejutkan penghuni rumah hantu di taman bermain. Saat ia marah Wonwoo jatuh sakit karena terlalu sibuk bekerja. Saat ia menatapnya dengan penuh nafsu, sebelum mereka bercinta semalaman penuh. Wonwoo memejamkan matanya erat-erat, terlalu panas oleh air mata untuk terus dibuka.
“Silakan, kamu aja yang ambil bukunya.”
“Nggak apa nih?”
“Nggak apa kok, asal aku bagi nomer kamu ya?”
Saat ia tersenyum tulus, mengajaknya berkenalan setelah tangan mereka tak sengaja bersentuhan di perpustakaan kala itu.
Seokkie, Seokkie, Seokkie…
Hal berikutnya yang ia ingat adalah kegelapan yang menelannya bulat-bulat. Rasa mual yang tak asing lagi baginya tiap ia melompati liang waktu demi waktu, berkelana sesering yang ia mau ketika masih muda dulu, sebelum ia mengetahui bagaimana perjalanan waktu mengikis jiwanya sedikit demi sedikit sampai, ketika ia akhirnya sadar, semua sudah terlambat.
The moment when you look and smile at me
“Pagi.”
“Ah, hei, Wonu!”
Jeon Wonwoo menatap rekan kerjanya, Lee Seokmin. Lelaki itu sama sekali tidak kehilangan aura bocahnya meskipun umurnya sudah bertambah 20 tahun di dunia ini. Masih tersenyum lebar hingga memperlihatkan gusi. Ceria, bagai mentari musim panas. Wonwoo pun tersenyum lembut padanya.
“Pagi, Seok,” sapanya.
“Pagi, pagi! Won, lihat, lihat,” dengan bersemangat, lelaki itu memamerkan sesuatu padanya. Bukan buku kali ini, melainkan foto hitam putih yang tidak akan jelas bagi siapapun kecuali dokter dan pihak terkait.
“Apa ini?” tanya Wonwoo sambil memicingkan mata.
Senyuman Seokmin tambah lebar saja ketika, dengan bangga, ia mengumumkan pada Wonwoo juga rekan kerja mereka lainnya yang ikut mendengarkan.
“Ini sonogram anak keduaku. Jenis kelaminnya udah kelihatan. Perempuan.”
I don’t think I could make you happier than before you knew me
“Wah, perempuan,” Wonwoo ikut takjub. “Nggak tau kenapa aku jadi mau kasihan sama istri dan anakmu nanti.”
“APA MAKSUDNYA ITU??” Seokmin shock mendengarnya.
“Ah, kayaknya aku paham,” timbrung Junhui, salah satu rekan kerja mereka.
“Ya kan?”
“JANGAN NGOMONG SEOLAH AKU NGGAK DI DEPAN KALIAN!”
Mereka tertawa. Junhui menepuk-nepuk pundak Seokmin untuk menenangkannya, sementara lelaki itu ngambeg, menggembungkan pipinya, tanpa menyadari bahwa Wonwoo menatapnya dalam-dalam.
Di dunia yang ia revisi ini, Lee Seokmin adalah rekan kerjanya. Di dunia yang ia revisi ini, Lee Seokmin telah menikah dengan istrinya, yang merupakan teman sekolahnya semasa SMP dulu. Mereka hidup bahagia dengan seorang anak lelaki dan, sepertinya, akan dikaruniai seorang anak perempuan lagi. Di dunia yang ia revisi ini, Lee Seokmin selalu tersenyum ceria, tidak lagi selalu menangis dan menderita bersamanya.
Dan, yang paling penting, di dunia yang ia revisi ini, Lee Seokmin masih hidup, tidak menyusul Wonwoo pergi dengan cara bunuh diri.
I’m so afraid that you would become like me
Wonwoo memejamkan mata. Direnggutnya kemeja di bagian dada.
“Won?” Seokmin, menyadari itu, memanggilnya. “Kenapa?”
Ia melepaskan renggutan. “Nggak,” tersenyum lagi pada Seokmin. Dua pasang mata hitam saling memandang. Tulus dan tenang.
“Seokkie.”
“Hmm?”
“Selamat ya.”
And I can’t let you go or hold you back