ShuaHao Omake from Woncheol Idol AU
Sebentar, rewind.
Tadi pagi dia bangun jam 5 pagi, masih ngantuk sambil sikat gigi. Dari pantulan cermin, ia melihat Joshua sudah rapi dengan topi baseball, celana jins, cardigan warna cokelat hangat di atas kaus putih dan senyuman manis di wajahnya. Minghao ikut tersenyum, senang melihat kekasihnya nampak ceria.
“Kamu udah mandi?”
Dengan busa di mulut, ia menggeleng.
“Mandi gih, terus ikut aku.”
Alis mengernyit. “Kemana?” tanyanya, setelah melepas sikat.
Joshua, masih tersenyum manis, menjawab, “Udah, kamu ikut aja. Kita ngedate.”
Bohong jika Minghao bilang jantungnya tidak melonjak seketika itu juga.
…Lalu kenapa dirinya terjebak bersama kekasihnya di bandara Changi begini???
Sumpah ya, pas Joshua bilang kencan, yang ia pikirkan tidak jauh-jauh dari spot normal pacaran: mall, akuarium, taman bermain, monas, museum, bahkan ke perpustakaan nasional juga bisa. Kenapa harus menerbangkannya ke Singapura hanya untuk kembali lagi enam jam kemudian??
“Hao, sini, sini!” di depan kumpulan bunga matahari di salah satu balkon airport area transit, Joshua melambai memanggilnya. “Foto aku di sini!”
Sumpah, dia tidak paham pemikiran Joshua Hong.
Menghela napas, ia menuruti permintaan kekasihnya. Mengatur fokus lensa, memperjelas ruang negatif melalui lubang intip, Joshua mendongakkan dagu sedikit sambil memejamkan mata, tersenyum tenang, dengan kumpulan bunga matahari cerah ceria sebagai latarnya…
…oh.
Ceklik.
”Kenapa?”
“Nggak…,” Minghao tersenyum. “Kamu cantik.”
Tersipu, Joshua berbalik badan, berpura-pura tak mendengar apa yang kekasihnya ucapkan. Ia mulai memfoto sendiri menggunakan kamera hapenya, membiarkan Minghao memfoto dirinya yang sedang mengambil foto. Berdua, mereka tertawa.
Selepas taman bunga matahari, Joshua menyeretnya ke taman kupu-kupu. Terbagi menjadi dua lantai dan dipenuhi bebungaan, di berbagai sudut diletakkan sekilas informasi mengenai kupu-kupu yang ada di sana dan beberapa potong buah…hmm, nanas. Ketika Minghao mendekat, ada seekor kupu-kupu bersayap mencolok, begitu terang dan bermotif menarik, membuatnya otomatis mengambil gambar. Joshua terkekeh saat seekor kupu-kupu terbang memutarinya, hanya untuk mengecupnya di ujung hidung lalu segera terbang lagi. Untung Minghao refleksnya bagus, sehingga ia mendapatkan beberapa jepretan akan momentum indah tersebut. Bertambah satu lagi hartanya.
Sepanjang perjalanan, mereka melihat macam-macam area. Sebuah taman kecil di tengah-tengah, lengkap dengan kolam isi ikan koi dan gazebo tempat berfoto. Di wilayah lain, nampak beberapa meja dan permainan pasir warna disediakan untuk pengunjung anak-anak. Ada juga tempat yang menyediakan kertas dan berbagai krayon, yang bebas digunakan siapa saja. Mereka menemukan banyak vending machine, toko duty free, sampai alat pijat kaki gratis (yang mereka gunakan, pada akhirnya, karena airport itu begitu besar). Joshua membeli berbagai merk cokelat di toko duty free, berkotak-kotak. Dia juga membeli minuman di vending machine hanya karena ingin mencobanya saja.
Sampai kemudian, duduk di sky train, Joshua merengek minta makan. Minghao menurutinya. Dengan derap ringan, Joshua membawanya ke kios Subway kecil di salah satu foodcourt. Tidak jauh dari situ, ada tempat untuk duduk-duduk, bahkan bangku panjang menghadap lapangan parkir pesawat. Mereka memesan dua porsi 6”: Roast Beef untuk Joshua dan Tuna untuk Minghao. Mereka memakannya dalam diam sambil memerhatikan pesawat yang baru tiba dan yang bergerak menjauh menuju landasan pacu.
”…Hao?”
“Iya?”
“Kamu…seneng hari ini?”
Ia harus menelan makanannya dulu sebelum menjawab, “Mm.”
”…Beneran?” Joshua meliriknya, ragu-ragu.
Agar lebih meyakinkan, Minghao tertawa lebar. “Beneran,” karena memang begitulah adanya. “Aku seneng banget hari ini. So weird kencan pertama kita di airport gini, but I like it.” Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Joshua, perlahan tapi pasti, semakin memerah pipinya (dan semakin berbinar matanya).
“Even after all this time, I cannot guess what’s inside your head, baby,” diusapnya pipi Joshua lembut, sebelum ia mengambil potongan roti yang menempel di sisi mulut kekasihnya dengan ibu jari dan telunjuk, lalu memakannya. “You always amaze me…”
”…………………….‘s you.”
”?”
”…….It’s you…what’s inside my head……it’s always been you…I….I never…like this…you’re all I see and hear and feel and-and—”
Minghao tanpa sadar menahan napas. Matanya membelalak menatap kekasihnya, kontras terhadap Joshua yang menutup matanya erat, terbakar oleh rasa malu.
”…I…don’t know what’s happening to me…”
Sudah setahun berlalu semenjak Minghao mendobrak masuk kamar Joshua dan menahan lelaki itu untuk tidak mencari seks kilat di klub malam. Setahun semenjak ia akhirnya menjadi kekasih Joshua. Dan empat bulan berlalu semenjak Joshua kembali ke sisinya, memeluknya begitu saja ketika ia sedang berlatih sendirian di studio dansa. Tanpa kabar. Tanpa penjelasan. Kekasihnya itu hanya kembali. Sesukanya. Seenaknya. Dan itu sudah cukup bagi Xu Minghao.
”…It’s just that…every time I see you walking and…and waking up to your face next to mine…every time…every damn time…I just…I…feel so….blessed…”
Lelaki yang seperti angin. Tak bisa dikekang. Atau pasir, yang akan buyar ketika digenggam terlalu longgar maupun terlalu erat.
”…like, why are you even here with me? You could date anyone else a thousand times better than this messed up bundle of nerves…but I just…can’t help it…I’m happy…I’m so happy that you chose me…that you decide to love me…I’m so happy…”
Lelaki yang sama, yang hampir menangis dengan wajah memerah sempurna.
”….I fell for you harder every time, Hao…”
Minghao menaruh rotinya di bangku, lalu ia melihat ke kanan dan ke kiri. Digigitnya bibir sambil memastikan tak ada orang lain di dekat mereka saat ini, sebelum ia melepas topi baseball Joshua, memastikan benda itu menutupi mereka dari mata publik, lalu menciumnya. Joshua menghela napas yang tertahan ke dalam mulut Minghao. Bibir lelaki itu lembut. Setiap belaiannya memetakan rasa sayang yang tak pudar dikikis waktu, yang tak lekang oleh kebohongan dan permainan busuk. Joshua dengan segera tenggelam dalam rasa cinta itu. Bagai madu yang manis, sekujur tubuhnya dialiri rasa hangat, merekah indah oleh perasaan bahagia.
Perasaan yang, ia kira, takkan pernah ia miliki lagi semenjak Jeonghan meninggalkannya dahulu kala.
Minghao melepas bibir mereka. Ia memandang bagaimana kekasihnya masih memejamkan mata. Tampak nyaman dan tenang bersamanya. Joshua menjadi dirinya sendiri, berbagi kisah-kisah membosankan dalam kedamaian bersamanya di lantai dorm milik mereka berdua (Jihoon dan Wonwoo di lantai yang lain). Menonton netflix sambil mengangkat kaki dan segunung popcorn siap saji di pangkuan. Menyiapkan makan malam bersama. Joshua yang tertidur di dadanya ketika mereka berendam air panas. Bermain gitar, sementara ia membaca buku. Tak ada lagi seks menyakitkan dan linangan air mata. Yang ada hanya percintaan penuh elusan dan ciuman. Ketika di bawahnya, Joshua mengerang nikmat. Dan ketika di atasnya, kekasihnya itu memeluknya lembut.
”……I love you….”
Hanya itu yang bisa Minghao katakan pada Joshua yang baru saja menumpahkan isi hatinya, karena kata-kata takkan sanggup menjelaskan semua yang berkecamuk di dalam dada. Kekasihnya itu membuka mata, lalu tersenyum manis.
”…I love you too…”
“J-josh—”
Oke. Mungkin terlalu cepat menyimpulkan seks dengan Joshua menjadi vanilla, karena tak ada yang vanilla dari didorong menempel ke pintu toilet pesawat yang sempit itu dengan lidah yang ahli menyusup ke dalam mulutnya dan tangan-tangan tak sabaran meremas bagian depan celananya.
“Ssh,” bisik kekasihnya, jahil. “I’ve always wanted to be a mile-high club member. Will you grant my wish, hmm, daddy?”
“Nih.”
Vernon mengangkat sebelah alis. Layar handphone Dino menayangkan beberapa foto yang dikirim dari…well, nama yang tertera di ujung kiri layar chat whatsapp itu jelas bertuliskan Jeonghan. “Well, rekanku di Singapura mengirimku foto ini untuk menekan agensimu lagi,” dibacanya apa yang tertulis. “Bilang ke Joshua kalau mau publikasi pacaran, sekalian aja konferensi pers, jangan ciuman di airport yang notabene penuh orang cuma modal topi sebiji.”
Usai membacanya, Vernon terbahak-bahak, sementara Chan menghela napas dalam-dalam.
“Good thing Jeonghan bakal nahan ini foto, tapi kita harus bayar rekannya itu.”
“Ide itu bagus juga deh.”
”….Apa?”
Vernon nyengir.
”…………Wait, are you outta your fucking mind?”