Seoksoo from Minwon ABO AU Omake: Major Character Death, Angst, Bittersweet, Inevitable by Anberlin
Lautan terhampar di depan matanya.
Siang yang terik. Cerah, tak ada tanda-tanda awan akan berarak menutupi mentari. Seokmin berdiri terpaku dalam balutan kaus putih dan celana jins yang digulung sampai lutut. Topi hitam melindunginya dari keganasan siang. Bulir pasir berwarna keemasan di bawah telapak kakinya menyusup melewati celah di antara jemari, terseret tarikan air laut, untuk kemudian dihantam balik bersama gulungan ombak yang pecah dan menjadi buih sebelum sempat menerpa betisnya.
Oh…
Seokmin tahu tempat ini. Hafal dalam detail, karena berulang kali ia memimpikannya. Berulang kali jua ia menyesalinya. Udara beraromakan asin garam yang berat. Angin yang hanya mengacak panas tanpa benar-benar menyejukkan. Cuaca yang sanggup membuat siapapun pingsan karena pening.
Seokmin sangat tahu tempat ini. Tempat terakhir ia menghabiskan siang bersama kekasih gelapnya.
Jika ia memejamkan mata, ia bisa mewujudkan sesosok Omega, cantik dalam balutan kemeja dan jins, tertawa bahagia bermain dengan air laut. Seokmin hanya memandanginya dari pinggir pantai kala itu, ikut merasa senang, sebelum Omega itu menyibakkan air ke arahnya dan membuat perang air tak terelakkan lagi. Ia tersenyum. Meski di tempat sesedih ini, Joshua mampu membuat kenangan indah bersamanya. Omeganya itu memang hebat sekali.
Tapi, aneh, Seokmin yakin barusan saja dia masih—
“Seok.”
Deg.
Tiba-tiba saja, ia lupa caranya bernapas. Dentuman jantung begitu keras dalam rongga dada menulikan gendang telinganya. Tiap dentum membawa harapan, membawa ketakutan, membawa…
Perlahan, amat perlahan, ia membuka kelopak matanya.
“Seokkie…”
…membawa cinta.
Setetes.
Dua tetes.
Tiga tetes menjadi lima, dan, dalam hitungan detik, dunianya kabur di balik air mata, mengucur deras tanpa mampu ditahan. Kepalan tangan menyeka segera, seakan tak sudi kehilangan barang sesaat saja akan sosok itu, akan senyuman manis dan mata yang berkilau bahagia itu.
“Seokkie….Seokkie…”
Omeganya melangkah, semakin cepat, menjadi sebuah larian. Air laut berkecipak di bawah tapaknya yang telanjang. Wajahnya bersinar senang. Oh, ia membawa kebahagiaan, secara harfiah, pada lelaki yang menangis tanpa henti di pinggir pantai siang itu. Pada lelaki yang terisak keras ketika lengan-lengan hangat memeluknya erat, dan ia memeluknya balik. Pada lelaki yang menyusrukkan wajahnya ke sisi leher kekasihnya, membasahi bekas gigitan permanen, tanda janji setia mereka selamanya, dengan air matanya.
Joshua…Joshua, Joshua…
Batinnya berteriak. Ingin memanggil nama kekasihnya. Ingin mengucapkan banyak hal. Ingin bertanya dan bercerita.
Tetapi, ah, apalah arti kata-kata, ketika sebuah pelukan telah menyampaikan segalanya?
“Seok…Seokkie…,” Joshua berbisik dengan suaranya yang halus dan lembut, tapi tidak tertutup oleh isak tangis Seokmin. “Selamat datang…”
Joshua…kekasihku….
…aku pulang.
“Pa! Ma!” Kim Hangyul keluar ruang kamar inap dengan panik. Pipinya basah. Alpha muda itu segera menuju ruang tunggu rumah sakit, dimana ayah dan ibunya baru sampai setelah ditelepon adiknya, Minkyu, dengan sama paniknya.
“Gimana dia?” Mingyu memegangi Wonwoo yang masih pucat pasi. Perut Omeganya itu membuncit, tengah mengandung anak perempuan mereka enam bulan lamanya.
“Waktu aku telepon Papa, dokter udah dipanggil, sekarang lagi dikejutin jantungnya—”
Mingyu melangkah masuk.
Piiiiiip—
?
“Seok? Kenapa?”
“Oh…,” mereka dateng rupanya. “Nggak ada apa-apa kok, Sayang…”
Hangyul, Minkyu. Terima kasih ya, udah nemenin Om selama ini. Kalian udah Om anggep anak-anak Om sendiri. Jadi abang yang baek ya buat adek bayi nanti. Om sayang kalian.
Wonwoo. Asli, lo Omega terjudes yang pernah gue kenal wkwkwk. Tapi gue paham banget kenapa Mingyu cinta mati sama lo. Lo mate paling cocok buat dia. Udah sih jangan nangis mulu gitu, jelek tau. Kasian ntar dedek bayinya keberisikan di dalem wkwk.
Dan…
Mingyu…
Ah, Kim Mingyu…Kim Mingyu, Kim Mingyu. Satu kata buat lo: bangsad. Wkwkwkw canda. Bangsad sih, soalnya lo salah satu penyebab Joshua meninggal. Tapi gimana ya, kalo lo nggak ada di hidup gue, lo nggak bakal dijodohin sama Joshua, dan gue nggak akan ketemu Joshua. Lo tuh bagai buah simalakama di dalem idup gue, Gyu.
Ah…tapi…yah…mo gimana lagi…gue sayang sama lo, Gyu, biarpun lo mungkin Alpha terbrengsek yang pernah gue tau, gue sayang sama lo…
Ah shit…lo jangan nangis dong, sialan, gue udah ketemu Joshua nih, udah kelar penantian gue selama ini. Ayo senyum dong, kalian semua…
Senyum…
Sebuah kecupan manis di kelopak matanya.
“? Ah…?”
Joshua tersenyum.
“Udah berhenti belum nangisnya, Seok?”
“…Oh.”
Rupanya ia sendiri menangis tanpa disadari. Ia mengusapnya, lalu tawanya pecah. “Ini tangis bahagia kok,” dipeluknya sang kekasih. “Kalo mau setopin, cium dong.”
“Iih, kan barusan udah,” protes Joshua.
“Mana ngefek di situ! Hmm!” dengan mata berkilat jahil, Seokmin memajukan wajahnya. “Di bibir dong, di bibir.”
Tawa Joshua terdengar lagi. Pipinya tersipu. “Dasar,” decaknya sebal, sebelum ia mengecup bibir itu.
“Lagi.”
Dikecupnya kembali.
“Lagi…”
Untuk ketiga kalinya.
“Hmmh…”
“Lagi…”
“Nggak setop-setop dong??”
“Iya, nggak apa-apa,” kali ini, Seokmin yang terkekeh. “Nggak usah setop juga nggak apa. We have all the time in this world now…”
Gue duluan ya, Gyu.