Gyuhao Drabbles for Gyuhao Day 2024 Jakarta Cafe Event. Based on Gyuhao from my Wonhui Natsume Yuujinchou AU on Twitter. It contains Japanese terms here and there, especially about their folklore, so basic Japanese culture knowledge may be necessary, or, well, Google is just right there.
“Kim Mingyu, mm, saya cuma nanya aja ya…”
“Iya? Kenapa, Sen?”
“Mm, itu…anak siapa ya?”
Bulu mata Mingyu mengerjap beberapa kali dengan cepat. Pandangannya turun mengikuti arah telunjuk wali kelasnya itu. Tepatnya ke arah bocah kecil yang usianya nampak tidak lebih dari tiga tahun yang sedang duduk di pangkuannya saat ini, tertidur lelap dengan jempol di dalam mulut. Bocah dengan bulu mata lebat, pipi gembil dan rambut hitam legam. Ada piringan berisi air di atas kepalanya, namun diikat dan ditutupi oleh topi berbentuk sepasang mata kodok. Bocah yang wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan ayahnya yang satu lagi.
“Oh,” Kim Mingyu meringis. “Anak saya, Sen.”
“Goblok.”
“HYUNG JAHAT BANGET!” protes Mingyu pada seniornya si jelmaan Nekomata. Seperti biasa, mereka lagi duduk menikmati bekal masing-masing di atap sekolah, tempat yang seharusnya terlarang dimasuki murid-murid. Tapi tentunya peraturan itu tidak berlaku bagi mereka, segerombolan jelmaan siluman berbagai jenis yang telah memanggil desa kecil itu sebagai rumah entah sejak berapa ratus tahun ke belakang. Sejatinya mereka adalah makhluk penyendiri, mendiami tempat mereka masing-masing. Namun, semenjak Jihoon menjadi kucingnya Jeonghan sang dukun dan kedatangan Jeon Wonwoo yang membawa kekuatan besar terkurung di badannya tanpa dirinya sendiri mengetahui akan hal itu, entah bagaimana, Mingyu menemukan dirinya telah bergaul bersama banyak siluman di kehidupannya sehari-hari (dan iblis, mengingat Hong Jisoo belum lama ini baru pindah ke sekolah mereka).
Tidak hanya itu, ia pun kini telah menjadi orangtua bersama, tidak lain dan tidak bukan, sang Kappa di kolam dekat ketiga patung Jizo.
“Jahat? Emang salah kalo gue manggil dedemit goblok kayak lo tuh ‘goblok’, hah?” si kucing hitam malah balik mendelik, bikin Mingyu meringkuk kalah. Andai ekor dan kuping anjingnya lagi keluar, sepertinya bakal kuyu juga sebagai respon. “Mana ada anak SMA normal bawa bocil ke kelas terus pas ditanya, malah ngaku itu anak dia?! Lo goblok apa bego?!”
“Jiji, udah ah…,” itu Wonwoo, seperti biasa menjadi penengah di antara kekisruhan Jihoon vs Mingyu. Bekal yang dibawakan Junhui, suami rubahnya, terdiri dari inari sushi (yang Wonwoo yakin bakal super enak karena inari buatan kaum rubah adalah yang terbaik) dan lauk pauk kegemaran Wonwoo. Setiap hari dimanjakan oleh Jun membuatnya semakin tercium lezat untuk dimakan kaum siluman seperti, yah, Mingyu dan Jihoon.
Tapi, tidak. Tenang saja. Mereka adalah teman Jeon Wonwoo dan, semenjak kejadian Jeon Wonwoo no Kamikakushi yang tidak dinyana kemarin, mereka malah jadi lebih protektif lagi terhadap teman manusia mereka itu.
Jihoon menghela napas. “Yah, buat gue sih nggak ngaruh apa-apa, tapi jadinya rapat dadakan kan di ruang guru abis si guguk tengik ini ngomong gitu,” dikernyitkan hidung. Jihoon memang tidak pernah menyukai bau siluman anjing. Bagaimanapun, anjing dan kucing bukan dua makhluk yang secara alamiah berteman. Memang Mingyu-nya saja yang pengecualian karena ia suka semua makhluk.
“Tadi lo dipanggil, Gyu?” tanya Wonwoo, yang dijawab oleh anggukan oleh Mingyu. Melihat bagaimana bocah kecil di pangkuan Mingyu menatap lekat pada inari sushinya, Wonwoo pun tersenyum sebelum mendekatkan makanan tersebut ke si anak. “Mau? Eh, bayi Kappa boleh makan selain timun kah?”
“Nggak tau. Hao sih nggak bilang apa-apa ya,” selorohnya.
Wonwoo menatapnya heran, “Emangnya lo nggak ngasih makan dia?”
Mingyu menggeleng. “Dia nggak pernah minta makan ke gue, ya enggak gue kasih makan?” tanyanya balik, malah sama herannya dengan sang manusia. Diangkatnya bocah kecil itu hingga mereka bertatapan. “Eh, Cil, kamu makan nggak sih? Kok Papa nggak pernah liat?”
Papa. Iya, semenjak anak itu selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Papa’, maka Mingyu pasrah saja dan malah mulai menyebut dirinya seperti itu. Agar tidak membingungkan si bocah, akunya pada Minghao suatu hari. Sang Kappa mendengus, sebelum mempertanyakan kenapa Mingyu yang dipanggil ‘Papa’, nanti Minghao dipanggil apa dong kalau gelarnya sudah diambil Mingyu? Mendengar itu, Mingyu hanya tertawa dan mengecup bibir lembut sang Kappa.
Kerjap-kerjap matanya yang bulat besar membuat kebingungannya begitu jelas. “Nggak laper,” ucapnya. Suaranya tinggi dan halus, sedikit mirip suara Minghao. “Tapi mau.” Lalu, ditunjuknya inari sushi di sumpit Wonwoo.
“Boleh kali, Hyung. Coba kasihin aja.”
Wonwoo malah gelisah. “Yakin lo? Gue nggak mau ya kalo anaknya kenapa-napa, terus Kappa ngehantuin gue minta anaknya balik,” tawanya agak getir. Mingyu cuma memutar bola mata akan kekhawatiran Wonwoo. Selain absurd, Mingyu yakin Junhui tidak akan membiarkan siapapun menyentuh pengantinnya, bahkan sang Kappa sekalipun. Dan lagi, kalau anaknya hilang, Mingyu yakin Minghao hanya mendengus lalu membuat anak lagi bersamanya.
Bukannya apa-apa, tapi bocah kecil itu toh hasil perpaduan energi sang Inugami dengan sang Kappa ketika mereka bercinta semalaman penuh, bukannya penanaman benih di rahim selama sembilan bulan layaknya manusia biasa. Mereka bisa mempunyai bocah-bocah kecil lain lagi dengan mudah tiap estrus Mingyu meninggi bersamaan dengan malam bulan purnama.
“Kasihin aja, dia kepengen tuh.”
Menurut, Wonwoo pun menyuapi anak Kappa yang bertaring seperti Inugami itu. Dikunyah-kunyah, lalu anak itu tersenyum lebar, nampak senang sekali. “Enak!” serunya.
Mendengar itu, Wonwoo pun ikut mengulas senyum. “Makasih. Nanti aku bilangin ke suam—” omongannya terhenti. Mingyu meringis jahil melihat muka Wonwoo memerah padam. “—J-J-Junnie. Dia—emm—pasti seneng denger ada yang muji masakannya…”
“Suami,” potong Jihoon yang menyaksikan semuanya dengan lipatan lengan di dada. “Bilang aja napa. Lo udah nikah ini sama dia, Won.”
“Malu ah, Ji…”
“Aaaah, Wonu-Hyung! Jangan makin enak gini dong baunya! Gue jadi pengen makan lo lagi kan!” protes Mingyu.
Tiap Wonwoo merona malu, pasti wanginya menguar kemana-mana. Memang Wonwoo adalah makanan terlezat bagi kebanyakan siluman, makanya dirinya sering rentan diincar. Untungnya, siluman yang memutuskan berada di dekatnya—Junhui, Jihoon, Mingyu—atau yang berada di sekitar desa, memerhatikannya dari kejauhan—Seokmin, Soonyoung, Minghao, serta ketiga Jizo: Seungkwan, Hansol, Chan—juga dukun kenamaan mereka—Jeonghan—serta sang dewa gunung—Seungcheol—semua bertekad melindungi Jeon Wonwoo, aman dalam naungan desa kecil mereka. Bahkan si murid pindahan, sang iblis—Jisoo—yang mereka kira adalah musuh pada awalnya, malah dengan santai berkata kalau ia juga menyukai Wonwoo dan tidak berniat memakannya.
“Goblok,” jitak Jihoon ringan di kepala Mingyu. “Yang boleh makan Won ya suaminya doang lah. Lo makan aja Kappa lo itu.”
Perkataan itu membuat Wonwoo makin menunduk malu, sementara Mingyu mengerang sambil mengusap-usap bekas jitakan Jihoon di kepalanya.
“Tadi gue dipanggil Sen.”
“Hmm?”
Mereka tengah duduk santai di pinggir kolam Kappa. Seperti biasa, ketika Mingyu menghampiri kolam, Minghao pasti sedang mandi. Entah bagaimana momennya selalu pas, sehingga Minghao yang tadinya mendecakkan lidah, paling benci ketika didatangi orang lain saat mandi, lama-kelamaan hanya melengos, acuh tak acuh. Sudah terbiasa akan kedatangan Mingyu yang mengantar balik anak mereka hampir setiap hari.
Bahkan, saat ini, mereka duduk dalam ketelanjangan. Anak mereka berkecipak di dalam kolam, mengisi air di piringnya yang memuai oleh panas matahari dan bermain sendiri di rumahnya: kolam dalam yang keruh dan menyimpan berbagai tulang bekas makanan sang Kappa.
“Sen nanya soal si bocil pas gue lagi mangku dia, nanya anak siapa.”
“Terus?”
“Ya gue bilang aja anak gue.”
Minghao mendengus. “Heboh dong,” ujarnya tak peduli. Ia melompat masuk ke kolam, lalu menarik lengan besar Mingyu, mengajaknya masuk ke kolam juga. Mingyu membiarkan Minghao mengatur posisi mereka. Rupanya Minghao ingin dipeluk Mingyu dari belakang. Punggungnya bersandar ke dada bidang sang Inugami, sedangkan kepalanya merebah santai di pundaknya. Manja. Diduselnya sisi leher Minghao sebagai gestur gemas, sambil lalu dijilatnya tanda kepemilikan permanen yang ditinggalkan Mingyu di leher Minghao saat pertama mereka kawin.
“Sedikit. Toh nggak ada yang salah kan? Dia emang anak gue sama lo,” kecupannya lembut menyusuri pundak mulus Minghao. Kulit Kappa selalu licin oleh air yang senantiasa membasuh mereka. Tanpa ketersediaan air, Kappa akan kering dan mati. “Palingan sih jadi sumber gossip aja. Sekarang gue udah dikenal di sekolah jadi papa muda.”
“Jadi banyak yang naksir nggak?” desah sang Kappa. “Kalo udah ada yang punya, biasanya makin banyak yang kepengen milikin.”
Mingyu mendengus geli. “Kalopun iya juga nggak ngaruh. Gue cuma mau lo aja,” digamitnya dagu Minghao agar tatap mereka bersirobok. “Lo mate gue seorang, Hao.”
Kalau jantungnya melonjak sedikit dan bagian bawah bibirnya bergetar, Minghao terlalu ahli untuk menyembunyikannya. Ia hanya tidak tahan untuk tidak berbalik, melingkarkan lengan di leher Mingyu dan menciumi bibirnya sampai keduanya hampir kehabisan napas.
“Papa! Papa!”
Kecupan terlepas oleh helaan napas yang lembut. Kappa Mini sudah berenang menyusuri kolam dan kini menghampiri kedua orangtuanya itu. Minghao menyambut anaknya ke dalam pelukan. Mingyu, terenyuh oleh pemandangan domestik di hadapannya, pun mengalungkan lengan ke Minghao, memeluknya bersama dengan anak mereka.
Sang Inugami mendongak menatap langit. Di kejauhan sana, Soonyoung sang Kamaitachi dan partnernya, sang Amefurikozou Seokmin, terkekeh pelan memandangi mereka. Mingyu tidak berkata apapun, hanya balas tersenyum pada mereka sebelum merunduk, mengecupi kening Minghao dan anaknya dengan amat lembut.
Keluarga kecilnya yang manis dan hangat.