Gyuhao Oiran/Geisha AU: Japanese feudal era, Prostitution, Akanezora by Remioromen
Malam itu adalah malam bulan purnama.
Malam dimana aku bertanya-tanya,
apa gerangan yang engkau lihat di mata
yang memandang ke bulan jauh di langit sana,
bagai menanti sesuatu yang tak nyata?
“SILAKAN, TUAN! SILAKAN, SILAKAN!”
“Eh? Ah??” Kim Mingyu membiarkan lelaki paruh baya itu mengundangnya masuk ke kedai teh miliknya.
Bukan hal yang asing bagi lelaki itu untuk dikerumuni para penjaja kesenangan malam hari. Para wanita berbedak dan bergincu tebal tertarik pada wajah dan tubuhnya yang tinggi tegap, sementara para pemilik wanita itu tertarik pada bahan kimononya yang mahal dan gagang pedangnya yang terukir simbol keluarga Kim. Dari rambut sampai kaki, ia berbau uang yang banyak, walau ia tidak menginginkan hal itu terjadi.
Ketika lelaki paruh baya itu mendekat dan mulai mengajaknya ke toko, Seungcheol meringis di sisinya. Mingyu melempar kerutan tak senang pada pengawal yang telah mengabdi pada keluarganya selama 20 tahun itu. Seungcheol hanya meringis makin lebar. Jelas-jelas lelaki itu ingin sedikit hiburan bagi dirinya sendiri setelah menempuh perjalanan hanya berdua saja dengan Mingyu dari rumah utama di ibukota menuju salah satu kediaman mereka di pinggir daerah yang dikepalai seorang daimyo yang menjadi teman dekat keluarga Kim. Tiga hari dua malam telah berlalu. Mungkin itulah batas bagi seorang Choi Seungcheol.
“Ayolah,” bujuknya. “Kita nggak perlu nginap. Satu hio…eh, dua hio, cukup.” Disikutnya pundak Mingyu main-main. “Tapi karena kita sudah tiga hari di jalan, tiga hio lah biar lega.” Saat ia tertawa, Mingyu memandangnya jijik.
“Bisa nggak sih kamu nggak mikir pakai cawatmu itu?”
“Kata orang yang ngerusak pemandangan pagiku dengan tenda di balik hakama-nya.”
“Seung—”
“DUA ORANG, TUAN-TUAN? SILAKAN, SILAKAN! KEBETULAN SEKALI, HARI INI PARA FAVORIT KAMI SEDANG TIDAK ADA TAMU!” lelaki paruh baya itu tersenyum amat lebar sambil mengusap-usap kepalan kiri dengan tangan kanannya. Segera saja, para pegawai kedai teh itu menyambut mereka. Seorang wanita membungkukkan badan dengan hormat. Wanita lain yang lebih muda membenarkan sandal zori yang mereka tanggalkan di genkan. Para pelayan lelaki bergegas menyiapkan dua kamar terbaik untuk mereka atas perintah sang pemilik. “HEI, PANGGILKAN NOMOR SATU KITA!”
Wanita yang tadi membungkuk lah yang menjawab. “Mohon maaf, Tuan, tapi dia sedang mempersiapkan diri,” jelasnya.
“Aah…begitu? Mohon maaf, Tuan-Tuan, jika berkenan menunggu sebentar, kami akan sangat menghargainya,” rayunya manis. “Kami pastikan dia tidak akan mengecewakan. Dia sangat cantik dan langka. Rambutnya sewarna bulan purnama!”
Bola mata Seungcheol melebar. “Oh? Orang dari Barat?” konfirmasinya.
“Bukan, Tuan. Seperti kita. Dia lahir di Utara yang dingin,” sang pemilik kemudian tertawa lepas. “Namun kecantikan dan rambutnya jauh lebih indah dari salju paling murni sekalipun!”
“Menarik…,” Seungcheol mulai tertarik. Mingyu kenal pengawalnya sangat baik. Mereka sudah bersama seumur hidup Mingyu yang merentang 22 tahun lamanya. Terlalu kenal sehingga ia mulai was-was saat tahu Seungcheol amat tertarik.
“Cheol,” diingatkannya.
“Gimana, Gyu? Kamu mau yang berambut pirang?”
“Bukan itu—”
“Oke, kalo gitu aku yang ambil.”
“BAIK! SILAKAN, TUAN, MARI SAYA ANTAR KE RUANGAN TUAN! HEI, ANTARKAN TUAN INI KE KAMAR OHANI!”
“Ohani? Hani? Itu namanya?” gumam Seungcheol, mengikuti seorang pelayan lelaki yang menjadi penunjuk arahnya.
“Mau berapa hio, Tuan? Biar saya siapkan,” tanya sang pelayan.
“Tiga.”
“SEUNGCHEOL—” namun, Mingyu terhenti, lagi, ketika sang pemilik kini beralih padanya.
“Tuan, mohon maaf, ada sedikit kabar buruk. Ternyata Nomor Dua kami sedang melayani tamu. Maafkan kekeliruan kami. Kami ada…seseorang…tapi belum pernah kami biarkan melayani tamu karena…”
“Karena…?” Mingyu mengerutkan alisnya.
“…Eeehh, bisa dibilang, ada sedikit masalah pada sifatnya. Belum terdidik sempurna untuk menghibur tamu. Pun dia masih suci, Tuan.”
Nah, itu baru mengejutkan.
“Seseorang yang suci? Di tempat ini?“
“Benar, Tuan,” sang pemilik meringis dalam penyesalan. “Tapi kami tidak ada yang lain. Semua sedang melayani tamu. Apabila Tuan berkenan, kami bisa membantu untuk informasikan ke kedai sebelah agar menyiapkan yang terbaik milik mereka-“
“Tidak usah,” sergah Mingyu, cepat. “Bawa aku ke kamarnya.”
“Saya permisi, Tuan.”
Bunyi pintu geser ditutup. Mingyu berdiri di tengah kamar yang dibuat remang-remang jingga dan senyaman mungkin. Tatami yang terawat sangat baik dan jelas mahal. Partisi kertas bergambar burung bangau bertaburan bunga Sakura yang indah di suatu sudut. Di tengah ruangan ada dua bantal duduk dan dua bantal siku terbuat dari bahan yang lembut dan sebuah lentera dengan kerangka kayu jati, terukir indah dan halus.
Di balik partisi itu, Mingyu tahu, ada futon yang akan digelar ketika malam semakin larut dan bukan petikan shamisen lagi yang dicari para tamu. Bau dupa dari hio yang dihidupkan akan menguar memabukkan, membuat para tamu kehilangan kendali akan waktu hingga titik api terakhir jatuh dan padam, menandakan sesi mereka telah berkurang lagi satu tusuk. Kain yang berantakan. Rambut kusut masai. Gincu, meleber kemana-mana, meninggalkan jejak di kulit dan futon. Keringat yang dengan cepat mengering terkena angin malam dari jendela yang digeser sedikit.
Mingyu tahu biasanya akan seperti itu. Namun, malam ini mungkin berbeda. Gadis suci yang tak memiliki pengalaman apapun! Ia takkan menyentuhnya. Apalagi, Mingyu sedang tidak bergairah.
Maka, ia duduk. Pedang telah disimpan di pojokan. Tamu lain diwajibkan menitipkan pedang mereka di bawah tadi, sebelum mereka memasuki kamar para gadis. Hal itu tidak berlaku bagi simbol keluarga Kim. Nyawa mereka terlalu berharga untuk tidak dilindungi mata pedang barang sedetik pun. Mingyu duduk di salah satu bantal duduk, memandangi bulan dengan lengan bertumpu di bantal siku. Seharusnya ia tadi meminta kiseru dan cacahan tembakau untuk melewatkan waktu.
“Permisi, Tuan, saya Ohachi.”
Sesosok siluet nampak di pintu kertas tengah membungkuk padanya sambil duduk.
“Masuklah,” Mingyu mulai bosan, sejujurnya. Ia akan meminta gadis itu untuk bermain instrumen sambil menikmati ocha dan wagashi—kashiwa mochi di daerah sini katanya enak—lalu mempersilakannya pergi. Itu niatnya.
Saat pintu bergeser terbuka dan ia menatap sosok itu, kini merunduk sambil duduk di hadapannya setelah menutup pintu, Mingyu akhirnya menyuruhnya mengangkat wajah.
…Bukan gadis.
Sama sekali bukan gadis. Ohachi adalah sesosok pria. Tubuhnya jauh lebih kecil dari Mingyu, obi yang dililit di sekitar pinggangnya memperjelas perbedaan itu. Ramping, halus, seolah Mingyu bisa memecahkannya dengan sekali sentuhan saja. Kulitnya putih dan mulus. Lehernya jenjang, dipercantik oleh kerah kimononya yang rendah. Rambutnya berwarna hitam dan agak panjang sedikit, dihiasi tusukan konde dan aksesoris yang manis. Cantik.
Mingyu terkejut oleh pemikirannya sendiri.
Cantik. Bagaimana seorang lelaki bisa secantik ini?
“Kamu…Ohachi?”
“Saya, Tuan.”
“Mendekatlah.”
Maka ia menurut. Ohachi berdiri dengan lutut tertekuk, berjalan sopan perlahan, lalu kembali duduk. Kini ia bersimpuh di bantal duduk persis di seberang Mingyu. Kimononya bermotif kupu-kupu besar warna merah di atas warna dasar hitam, membuatnya makin elegan. Anggun. Dewasa. Bila tidak diberitahu sang pemilik, Mingyu takkan percaya lelaki bernama Ohachi itu masih suci.
Ia hendak menurunkan lagi pandangannya atas dasar kesopanan, namun Mingyu mengangkat tangan, menghentikan niat itu. Mereka kini saling bertatapan, memudahkan Mingyu untuk menelitinya, menyelidiknya, dengan seksama dari jarak dekat. Mata yang memandangnya balik itu kelam dan dalam. Ada sekelumit rahasia jauh di dalam sana, namun ia juga bisa menemukan sekerlip…harapan. Sebuah penantian.
“…Aku pernah melihatmu,” keluar dari celah bibir Mingyu menyerupai bisikan malam. Ohachi melebarkan matanya sedikit. Hanya itu satu-satunya pertanda bahwa lelaki itu terkejut. “Tadi. Barusan. Aku melihatmu. Dari bawah, dari jalan ramai di bawah. Aku melihatmu melamun memandangi langit dari jendela. Aku melihatmu dan langkahku berhenti.”
Mingyu mendekat, lalu mengulurkan tangan untuk menyentuh sisi wajah Ohachi. Yang disentuh bahunya menegang, melirik tak pasti ke tangan yang terlalu dekat itu.
“Mata ini…mata ini yang memandangi bulan seolah ingin kembali pulang, bukan? Seperti Putri Kaguya,” Mingyu tertawa pelan. Ia menatap lelaki itu dengan lembut.
“Ohachi,” ujarnya. “Pasanglah tiga hio. Aku ingin mendengar cerita yang dimiliki sepasang mata seindah ini.”
Malam itu adalah malam bulan purnama.
Malam dimana aku telah jatuh cinta.
旅の途中無知のナイフで無闇やたらに切り付けた
心の傷が痛むけど丸くなんかなりたくない
Throughout my travels, I’ve recklessly and blindly cut, with the knife of ignorance
The wounds on my heart hurt, but I don’t want that pain to subside
瞳とは未来そのものだから
輝かせて
Your eyes are the future
So let them shine