Gyushua ABO AU Spin Off: School AU, ABO, Underage, Huge Age Gap, Teacher/Student, Japanese School Setting (Sen: Sensei), DREAM by Seventeen
“Selamat pagi semua.”
“Pagi, Se~n~”
“Seperti biasa, kita ambil absen dulu ya,” lelaki itu tersenyum. “Angkat tangan bila nama Anda dipanggil. Ahn Yonsung—”
Lelaki itu berusia 35 tahun. Tinggi tegap dan tubuhnya padat berisi. Dengan rahang yang terbentuk indah bagai dipahat dari marmer serta lengan-lengan yang besar, banyak orang membelalak terkejut ketika mengetahui apa yang ia pilih sebagai profesi sangatlah jauh berbeda dari dugaan mereka.
“GURU??”
Seo Myungho buru-buru membekap mulut kala menyadari nadanya meninggi saat mereka tengah makan siang bersama di sebuah kedai kecil dekat sekolah tempat Wonwoo dan Mingyu bekerja. Wonwoo meringis, membuat hidungnya tertarik ke atas, sementara Mingyu menundukkan kepala karena malu.
“Emm…apakah sebegitu anehnya?” tanyanya ragu-ragu. Meski ia sudah lama mengenal Jeon Wonwoo sebagai teman kuliah sekaligus rekan kerja, tapi tidaklah demikian halnya terhadap Seo Myungho. Sahabatnya baru akhir-akhir ini saja sering mengajak suaminya itu ketika mereka bertemu selepas jam mengajar. Katakanlah, Mingyu masih sungkan terhadap suami sahabatnya itu.
“Maaf, maksudku—bukan aneh, tapi…,” Myungho berdeham. Ia melirik sedikit ke arah suaminya, hanya untuk menerima kedikan bahu santai. Myungho merengut, memonyongkan bibirnya begitu lucu, membuat Wonwoo ingin mencium bibir tersebut, tidak peduli di depan mereka sekarang ada Mingyu. He can look. Wonwoo won’t mind. “Yah, kukira kamu seenggaknya model, gitu.”
Giliran Mingyu yang hampir menyemburkan es kopi Americano dari mulutnya. “M-M-Model?? Saya???” ia pun kelabakan. “Saya—eh—t-tidak yakin cocok menjadi model—”
“Gyu,” itu Wonwoo, mengernyitkan sebelah alisnya. “Lo tuh punya cermin nggak sih di rumah?”
“Eh…? Ada, sih…,” si lelaki berkedip tak paham.
Wonwoo kemudian menghela napas. “Udahlah. Emang lo nggak cocok jadi model. Lo mah cocoknya jadi guru aja, biar makin rajin anak-anak ke sekolah,” selorohnya, sambil kembali memutar garpu di piring pastanya. “Biar Bang Cheol bahagia terus soalnya adeknya jadi alesan kita kebanjiran murid baru tiap tahun.”
Ia tertawa lugas, meninggalkan Mingyu (masih) kebingungan dan Myungho tersenyum maklum atas kepolosan sahabat suaminya itu.
“—kemudian. Oh, Vernon Chwe?”
“Hadir.”
“Oke. Lalu…terakhir, Joshua Hong?”
Hening.
“Joshua Hong?”
Mingyu mendongak dari buku absensinya persis ketika Vernon menendang bagian belakang bangku seseorang yang tengah tertidur. Walau Vernon sudah berusaha, sayangnya anak itu tidak terbangun jua dari mimpi panjangnya. Mingyu tersenyum lemah, sebagian menyayangkan kelasnya yang mungkin agak membosankan, sebagian lagi paham mengapa anak itu terlelap. Meja Joshua tepat di sebelah jendela yang sengaja dibuka lebar-lebar. Cuaca pagi itu begitu hangat, dengan angin sejuk bertiup sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut si anak yang dicat cokelat muda. Bila ada satu orang saja yang menguap, Mingyu yakin seisi kelas, termasuk dirinya, akan ikut menguap.
Namun, sebagai seorang pengajar, ia tak bisa membiarkan anak itu terus tidur begitu saja ketika kelas pertama bahkan belum dimulai. Mingyu pun dengan tenang berjalan mendekati meja si anak, membawa bersamanya perhatian seluruh kelas. Vernon memutar bola mata, menyerahkan nasib teman sekelasnya itu ke tangan sang guru.
“Joshua Hong,” panggilnya. Intonasinya mengalun lembut. Kim Mingyu memang hampir tidak pernah menaikkan nada bicaranya ke angkara di situasi seperti apapun. Salah satu sebab murid-murid dan orangtua mereka menyukainya.
Si anak tidak bangun juga.
Mingyu kemudian berlutut, tidak memedulikan debu di lantai yang menempel ke celananya. Dengan begini, tinggi mereka pun sejajar. Mata Joshua akan satu level dengan matanya bila anak itu membukanya.
“Joshua,” panggilnya lagi.
Masih, tidak ada jawaban.
Menghela napas, Mingyu pun mengetuk meja si anak. “Joshua Hong. Kelas sudah mau dimulai. Ayo bangun,” panggilnya lagi, agak tegas kini.
“Joshua.”
“Mmh…”
Erangan. Dan Kim Mingyu, berlutut di depan meja anak muridnya dengan satu lengan bertumpu di sana, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana bulu mata hitam yang lebat itu membuka perlahan, memperlihatkan bijih kembar kecokelatan yang berkilau di balik kelopaknya. Bagaimana hembusan angin mengacak rambutnya yang halus, membingkai wajah yang mungil dan masih memiliki sisa lemak bayi itu. Bagaimana pipi anak itu bersemu kemerahan dan bibirnya yang ranum—
—Stop.
Diam-diam, Kim Mingyu meneguk ludah. Pipinya sendiri samar-samar merona. Apalagi, feromon anak itu mendadak lepas bebas tanpa kendali. Aroma vanilla, mentega dan rempah-rempah diumbar dengan murah hati tanpa disadarinya.
Omega cantik yang terbangun bak putra mahkota di atas menara.
Ketika kelas mulai gelisah akan bombardir feromon tersebut, Kim Mingyu, dalam sekejap mata, melepas jas yang ia kenakan dan membungkus Joshua dengannya, memberikan tameng feromon Alphanya—meski sedikit—untuk menghalau feromon Joshua.
“Sen…?” belum sepenuhnya sadar, anak itu mengerjap-ngerjapkan mata.
Mingyu tersenyum. Lalu, tangannya mengelus lembut kepala anak itu. “Kalau sudah bangun, tahan feromon Anda,” lirihnya. Bisikan yang diharapkan hanya bisa didengar oleh si anak. “Jangan menyebarkannya kemana-mana…”
Sedetik. Dua detik.
“—Ah.”
Kesadaran pun akhirnya datang ke si anak. Seketika itu juga, feromon Joshua langsung buyar, melesap masuk kembali, dikukung dengan ahlinya oleh sang Omega. Seluruh kelas menghembuskan desah yang sempat tertahan. Para Beta yang mati-matian menutupi hidung dan menahan dua teman Alpha mereka, kini bisa melepasnya dengan lega. Kedua Alpha mengusrek hidung mereka, nampak kurang nyaman tapi tidak bisa protes karena tahu seberapa pentingnya bantuan para teman Betanya. Dalam hati, Mingyu mengingatkan diri untuk menanyakan pada mereka mengenai kebiasaan yang baru mereka terapkan ini semenjak Joshua Hong—salah satu Omega, gender terlangka di dunia—menjadi teman sekelas mereka.
Malu-malu, Joshua meraih jas yang disampirkan padanya, membekapnya di dada, sebelum ia berdiri dan membungkuk pada seluruh kelas. “Maaf ya, aku nggak sengaja…,” sesalnya. Teman-temannya menyahut dengan kalimat pemakluman, menyatakan bahwa mereka tidak apa-apa, tidak perlu diambil pusing, meski Joshua sadar sepenuhnya bahwa dirinyalah yang bersalah.
Saat anak itu menunduk sedih, di situ lah ia menyadari keberadaan jas yang ia peluk sedari tadi.
“Mm, ini…punya Sen?” tolehnya ke arah gurunya.
Mingyu mengangguk, tersenyum.
“Ma-makasih, Sen. Maafin aku…,” buru-buru Joshua mengulurkan jas tersebut kembali ke empunyanya. “Nggak bakal bocor lagi kayak tadi. Janji.”
“Baiklah,” senyuman Mingyu melebar. “Tapi saya akan lebih senang jika Anda tidak tidur di kelas saya setelah ini.”
Wajah Joshua Hong merah padam. Di mata sang Alpha, Omega itu nampak manis sekali. Benar-benar Omega terindah yang pernah ia temui seumur hidupnya.
Setelah itu, kelas pun berjalan seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Meskipun begitu, ada satu hal yang mengganjal di sanubari Kim Mingyu: bahwa kini ia bisa mencium sisa feromon Joshua Hong yang menempel di jasnya. Wangi yang ia ragukan akan hilang begitu saja sampai ia mencapai apartemennya nanti malam.
Fakta yang membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari seharusnya.
“Parah banget lu. Udah gue bangunin, kagak bangun-bangun.”
“Ya maap…”
“Untung Sen nggak marah.”
“Mm.”
“Mana lu pake nyebarin feromon pula.”
“Itu kan nggak sengaja!”
“Tapi gue kaget juga sih pas Sen langsung lempar jas nutupin lo gitu. Sen Alpha kan ya? Jangan-jangan naksir elu.”
“Ngarang aja lo.”
“Second gender shits, man. Who knows?”
“Ya nggak mungkin lah, Bego. Gue 15, dia 35. Mau ditangkep apa gimana?”
Vernon ketawa.
“Lagian, Mingyu udah nikah tau.”
“Hah? Masa?”
“Eh? Harusnya udah nikah kan…?”
“Kok lu bisa nyimpulin kayak gitu?”
“Soalnya Mingyu pake kalung yang ada cincinnya di balik kemejanya.”
“Hee…”
…Dan aku pernah liat dia nyium cincin itu.
gemes bgt shuanya sama sensei mingyu yang nahan insting alphanya
all applause gyusen for handling himself well di depan kegemesan ini 🫢